Ketika Olivia, gadis kota yang glamor dan jauh dari agama, dipaksa menikah dengan Maalik—kepala desa yang taat, dunia mereka berbenturan. Tapi di balik tradisi, ladang, dan perbedaan, cinta mulai tumbuh… pelan-pelan, namun tak terbendung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon komurolaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
[ BAB 29 ] Olivia, Game, dan Kesabaran Maalik
Olivia merenggangkan tubuhnya perlahan, lengannya terulur di udara seakan ingin mengusir sisa-sisa lelah yang masih menempel. Kali ini tubuhnya terasa lebih segar, meski matanya masih berat. Ia melirik jam dinding—jarum panjang sudah hampir di angka sembilan, jarum pendek mendekati angka empat. Pukul 15.45.
“Lama juga gue tidur…” gumamnya lirih.
Ia segera bangun, menuruni ranjang, dan berjalan keluar kamar. Suasana rumah begitu tenang, namun samar-samar terdengar suara percakapan ramai dari arah belakang. Olivia mengernyit, rasa penasaran mendorong langkahnya ke arah sumber suara.
Begitu tiba di pintu belakang, matanya mendapati pemandangan di gazebo halaman rumah. Di sana, Maalik duduk bersama beberapa orang pria. Mereka tampak serius membicarakan sesuatu, suara mereka bercampur dengan tawa kecil di sela percakapan.
Maalik tiba-tiba menoleh, seolah merasakan kehadiran istrinya. Begitu melihat Olivia berdiri di ambang pintu, ia langsung memberi isyarat sebentar kepada para tamunya, lalu bangkit menghampiri sang istri.
“Masih pusing?” tanyanya lembut, matanya penuh perhatian.
Olivia menggeleng pelan. “Nggak…” jawabnya singkat.
“Mau mandi?” tawar Maalik sambil tersenyum kecil.
Olivia kembali menggeleng. “Ngapain mereka di belakang?” tanyanya, menoleh sekilas ke arah gazebo.
“Kami sedang membahas soal pengecoran jalan,” jelas Maalik lembut. “Ada rencana memperbaiki akses jalan desa yang rusak, supaya lebih mudah dilewati warga. Jadi tadi mereka datang untuk musyawarah.”
Olivia hanya ber-oh ria, tak terlalu menanggapi serius. Namun mata Maalik tiba-tiba berubah, ekspresinya mendadak lebih waspada. Pandangannya menurun, memperhatikan pakaian istrinya.
Olivia hanya mengenakan dress tipis berwarna terang, modelnya super pendek hingga menampakkan paha jenjang dan bahu mulusnya. Maalik spontan menghela napas dalam-dalam, lalu tanpa banyak bicara, ia segera meraih tangan istrinya dan menggiringnya masuk ke ruang tengah.
“Mau mandi, hmm? Kalau iya, saya siapkan air hangat,” ujarnya lembut, suaranya terdengar agak terburu-buru. Tangannya menggenggam erat tangan Olivia, seolah tak ingin tubuh indah itu menjadi pemandangan bebas di mata orang lain.
“Nggak mauuu…” tolak Olivia manja, kepalanya sedikit menggeleng.
Maalik menatapnya penuh kesabaran, lalu tersenyum tipis. “Terus, mau apa hmm?” tanyanya lembut, mencoba mengalihkan.
Belum sempat Olivia menjawab, terdengar suara memanggil dari arah pintu dapur.
“Permisi, Pak Desa! Kami sudah dapat solusinya…” teriak salah satu warga.
“Baik, Jo. Sebentar saya ke sana,” sahut Maalik sambil menoleh ke arah suara. Lalu ia kembali menatap Olivia, mengusap lembut kepala istrinya. “Saya ke mereka dulu, ya. Kamu tunggu di sini sebentar… atau kalau mau, tunggu di kamar aja dulu.”
Olivia hanya diam, menatap suaminya yang segera melangkah kembali ke gazebo, meninggalkannya di ruang tengah dengan segenggam rasa hangat yang aneh—antara kesal, malu, sekaligus… diperhatikan.
Setelah Maalik kembali ke gazebo, Olivia memilih masuk lagi ke kamar. Pandangannya jatuh pada tablet milik Maalik yang tergeletak rapi di meja kerja. Dengan santai, ia mengambilnya, menyalakan layar, dan mulai mengutak-atik aplikasi di dalamnya. Tak lama kemudian, ia menemukan sebuah game masak-masakan dan langsung larut di dalamnya.
Olivia naik ke ranjang, merebahkan diri dengan posisi tengkurap. Rambutnya tergerai berantakan di atas bantal, jemarinya sibuk menekan layar, sesekali mengerucutkan bibir karena serius. Sesekali ia bersuara lirih, seolah benar-benar tengah mengomandoi dapur dalam permainan itu.
Waktu berjalan tanpa terasa. Jarum jam sudah menunjuk pukul 17.00. Suara riuh dari halaman belakang menghilang, menandakan para warga yang tadinya berdiskusi sudah pulang. Maalik pun kembali ke rumah, langkahnya otomatis menuju kamar.
Begitu pintu kamar dibuka, pandangan Maalik langsung jatuh pada sosok istrinya. Seketika dadanya berdesir, darahnya terasa berlari lebih cepat. Olivia masih tengkurap di atas ranjang, dress tipisnya tersingkap hingga batas bawah bokong, memperlihatkan paha mulus yang terulur tanpa sengaja. Pemandangan itu membuat Maalik cepat-cepat menundukkan wajah sambil beristigfar dalam hati, berusaha mengendalikan diri.
“Ya Allah…” bisiknya lirih, menenangkan gelora yang bergejolak. Olivia, sadar atau tidak, benar-benar sedang menguji kesabaran dan iman suaminya.
Maalik berdehem pelan, suaranya cukup untuk membuat Olivia menoleh sekilas. Tatapan mereka bertemu sebentar, lalu gadis itu kembali fokus pada tabletnya, seakan tak terjadi apa-apa.
“Waktunya mandi, Olivia…” ucap Maalik perlahan, mendekat sambil menahan nada suaranya agar tetap lembut.
“Bentar…” jawab Olivia singkat tanpa menoleh, jemarinya masih sibuk menekan layar. “Gue lagi masak sup… bentar lagi matang.”
Maalik terdiam sebentar, menghela napas pendek. Senyum tipis terbit di wajahnya melihat keseriusan istrinya hanya karena game sederhana itu. Ia lalu duduk di tepi ranjang, mencondongkan tubuh sedikit, mengamati Olivia yang tampak benar-benar antusias.
“Kalau masak beneran mau nggak sekonsentrasi ini?” tanyanya pelan sambil mengusap rambut Olivia yang terurai di bahu.
Olivia mendengus kecil, masih fokus. “Nggak tau. Masak beneran kan ribet, ini gampang tinggal klik-klik.”
Maalik tertawa kecil mendengar jawabannya. Ia menunduk, mengelus puncak kepala istrinya. “Ya sudah, kalau begitu, habis masak di game, mandi beneran, ya.”
Olivia hanya menggumam, “Hmm…” sambil tetap menatap layar. Namun rona merah tipis sudah menjalari pipinya karena kelembutan suara dan sentuhan Maalik barusan.
aku nungguin terus kelanjutan ceritanya
udah GX sabar bgt..
beberapa bab cuma ngomong gitu doang