NovelToon NovelToon
Suami Setengah Pakai

Suami Setengah Pakai

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: Aluina_

Aku terbiasa diberikan semua yang bekas oleh kakak. Tetapi bagaimana jika suaminya yang diberikan kepadaku?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aluina_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 8

Benih aneh yang tertanam di hatiku malam itu ternyata adalah sesuatu yang berbahaya: kebingungan. Kebencianku yang murni dan lurus kini mulai tercemar oleh nuansa-nuansa abu-abu yang tidak kuinginkan. Aku berusaha keras mencabut benih itu, menyiramnya dengan ingatan tentang bagaimana aku dipaksa masuk ke dalam pernikahan ini. Tapi sikap Mas Danu membuat semuanya menjadi sulit.

Dia menepati janjinya. Dia tidak pernah datang ke kamarku di malam hari untuk "menjalankan tugas". Dia memberiku ruang. Namun, di saat yang sama, kehadirannya menjadi semakin terasa dengan cara-cara yang halus dan tak terduga.

Jika aku pulang lembur dan belum makan, seringkali aku menemukan sepiring makanan tertutup tudung saji di atas meja makan dengan secarik kertas bertuliskan, 'Panaskan dulu sebelum dimakan'. Saat lampu mobilku mati sebelah, keesokan paginya sudah kembali menyala normal. Saat aku mengeluh sakit punggung karena terlalu lama duduk di depan komputer, tiba-tiba ada balsem pereda nyeri di atas meja kerjaku di kamar.

Dia tidak pernah mengatakan apa-apa. Semua dilakukan dalam diam. Perhatian-perhatian kecil ini seperti tetesan air yang terus-menerus jatuh di atas batu hatiku yang keras. Perlahan, tanpa kusadari, batu itu mulai berlubang. Aku mulai terbiasa dengan kehadirannya yang sunyi. Aku bahkan mulai menantikannya.

Aku benci diriku sendiri karena merasa seperti itu. Ini terasa seperti pengkhianatan terhadap penderitaanku sendiri. Aku seharusnya tetap marah. Aku seharusnya menjaga jarak. Tapi bagaimana aku bisa membenci seseorang yang memperlakukanku dengan kebaikan yang tulus, bahkan di tengah situasi yang paling buruk sekalipun?

Hubungan kami berubah menjadi semacam gencatan senjata yang aneh. Kami mulai bertukar sapa di pagi hari. Sesekali kami mengobrol ringan di meja makan jika kebetulan bertemu—obrolan tentang pekerjaan, tentang berita, tentang hal-hal sepele yang tidak menyentuh inti permasalahan di antara kami. Ini adalah normalitas palsu yang kami bangun bersama untuk bertahan hidup.

Dan tentu saja, normalitas palsu ini tidak luput dari pengamatan mata elang Kak Binar.

Awalnya, dia tampak senang. Mungkin dia mengira aku akhirnya "menerima takdir" dan "beradaptasi" seperti yang diharapkan semua orang. Dia seringkali memamerkan keharmonisannya di depanku.

"Mas, tolong ambilin minum, dong. Binar haus," rengeknya manja saat kami bertiga kebetulan berada di ruang keluarga.

"Sayang, nanti malam kita nonton film baru, ya? Aku udah download," katanya lagi sambil bergelayut di lengan Mas Danu.

Aku tidak bereaksi. Aku hanya akan mengalihkan pandangan ke ponsel atau buku, menunjukkan bahwa aku tidak peduli. Tapi lama-kelamaan, aku menyadari bahwa ketidakpedulianku justru membuatnya jengkel. Dia ingin aku cemburu. Dia ingin aku menderita melihat kemesraan mereka. Ketika aku tidak memberinya reaksi yang ia inginkan, ia mulai mengubah taktiknya.

Titik baliknya terjadi pada suatu Sabtu sore. Aku sedang bersantai di teras belakang, menikmati secangkir teh sambil membaca buku, saat Mas Danu menghampiriku.

"Arini, lusa aku harus ke Singapura untuk rapat mendadak selama tiga hari," katanya. "Kamu... butuh sesuatu? Mau titip apa?"

Aku mengangkat wajah dari buku. Ini pertama kalinya dia secara langsung menawarkan sesuatu padaku. "Nggak usah, Mas. Makasih."

"Cokelat? Atau parfum? Apa saja," tawarnya lagi, sedikit memaksa.

Aku tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, Mas. Aku nggak butuh apa-apa."

Percakapan kami singkat dan sederhana. Tapi dari sudut mataku, aku bisa melihat gorden jendela kamar Kak Binar yang menghadap ke teras sedikit bergerak. Dia mengawasi kami.

Malam itu, saat makan malam, suasana terasa berbeda. Kak Binar lebih diam dari biasanya.

"Gimana butik, Bin? Lancar?" tanya Ayah, mencoba memecah keheningan.

"Lancar," jawabnya singkat. Lalu, dengan nada yang dibuat sesantai mungkin, ia berkata, "Oh ya, Mas. Aku dengar kamu mau ke Singapura, ya?"

"Iya, Sayang. Rapat mendadak dengan investor," jawab Mas Danu.

"Wah, asyik dong," kata Kak Binar. Matanya kemudian melirik ke arahku. "Arini pasti senang, ya. Bisa sekalian minta oleh-oleh mahal. Mumpung suaminya ke luar negeri."

Aku hampir tersedak nasi. Sindirannya begitu tajam dan tak terduga.

"Binar, apa maksudmu?" tegur Mas Danu, nadanya tidak senang.

"Lho, kan benar? Tadi sore aku lihat kalian ngobrol serius banget di teras. Pasti lagi bikin daftar belanjaan, kan?" lanjutnya, senyum manis tersungging di bibirnya, tapi matanya menyorotkan api.

"Aku nggak minta apa-apa, Kak," sahutku dingin.

"Oh, masa?" Kak Binar tertawa kecil, tawa yang terdengar sumbang. "Jangan malu-malu gitu, ah, sama suami sendiri. Wajar kok kalau kamu minta dibelikan tas branded atau perhiasan. Anggap saja sebagai ... kompensasi."

Kata "kompensasi" itu diucapkannya dengan penekanan, seolah ingin mengingatkanku pada posisiku.

"Binar, cukup," kata Mas Danu tegas. Wajahnya mengeras.

"Kenapa, Mas? Aku kan cuma bercanda," elaknya, memasang wajah polos. Tapi semua orang di meja itu tahu, itu bukan candaan. Itu adalah serangan.

Sejak malam itu, "serangan-serangan" kecil dari Kak Binar menjadi semakin sering. Dia seperti radar yang sangat sensitif terhadap setiap interaksi antara aku dan Mas Danu.

Jika Mas Danu memujiku, "Masakanmu enak, Arin," Kak Binar akan langsung menimpali, "Iya, tapi agak keasinan sedikit, ya? Mas Danu kan tensinya suka naik kalau makan asin."

Jika aku tertawa karena lelucon Ayah, dan Mas Danu kebetulan tersenyum ke arahku pada saat yang sama, Kak Binar akan langsung menghela napas dan berkata, "Aduh, kepalaku pusing lagi. Mas, tolong pijitin sebentar." Ia akan merebut semua perhatian kembali ke dirinya.

Dia menjadi ahli dalam sabotase-sabotase halus. Dia tidak pernah marah-marah secara terbuka. Dia menggunakan senjatanya yang paling ampuh: statusnya sebagai istri pertama yang "sakit" dan "rapuh".

"Arin, bisa tolong buatkan jus jeruk untuk Mas Danu?" pintanya suatu hari.

Saat aku kembali dengan segelas jus, ia akan mencegatku. "Eh, tunggu. Kayaknya Mas Danu lagi nggak pengen jeruk, deh. Biar aku aja yang minum. Makasih ya, kamu baik banget."

Dia sengaja menciptakan situasi di mana aku terlihat seperti pelayan, dan dia adalah nyonyanya. Dia ingin memastikan hierarki di rumah itu tetap terjaga. Dia adalah sang ratu, dan aku hanyalah dayang-dayang.

Kecemburuannya mencapai puncaknya pada suatu malam, sebulan setelah pernikahan kami. Sudah sebulan penuh Mas Danu menepati janjinya untuk tidak menyentuhku. Dan entah kenapa, hal ini justru membuat Kak Binar semakin gelisah. Mungkin karena dia tidak bisa mengontrol situasi itu. Mungkin dia merasa, penolakan Mas Danu untuk "memulai program" adalah bukti bahwa suaminya itu mulai peduli padaku, bukan hanya sebagai inkubator.

Malam itu, aku sedang di kamarku saat mendengar suara pecahan kaca dari kamar sebelah, diikuti oleh suara teriakan Kak Binar.

"Aku nggak peduli! Aku nggak mau tahu!"

Aku refleks keluar kamar, begitu pula Ayah dan Ibu. Mas Danu keluar dari kamarnya dengan wajah frustrasi. Di dalam, aku bisa melihat serpihan vas bunga berserakan di lantai.

"Ada apa ini?" tanya Ibu cemas.

"Binar, tenang dulu, Sayang," bujuk Mas Danu.

"Tenang gimana, Mas?! Sudah sebulan! Sebulan! Tapi nggak ada kemajuan apa-apa!" raung Kak Binar. "Apa jangan-jangan kamu memang sengaja mengulur waktu, hah? Kamu kasihan sama dia, kan? Kamu mulai suka sama dia, kan?!"

Tuduhan itu menggantung di udara, membuat kami semua membeku.

"Jangan ngawur kamu, Binar!" balas Mas Danu, suaranya meninggi karena marah. "Aku melakukan ini karena aku menghargai Arini! Aku tidak mau memaksanya!"

"Menghargai?" Kak Binar tertawa histeris. "Sejak kapan kamu peduli soal menghargai dia? Tujuan pernikahan ini apa, Mas? Kamu lupa? Kita butuh anak! Anak! Bukan drama percintaan baru di bawah atap rumah kita sendiri!"

Dia menatapku yang berdiri mematung di ambang pintu, matanya menyala-nyala karena amarah dan cemburu buta.

"Dan kamu!" tunjuknya padaku. "Jangan mentang-mentang suamiku baik sama kamu, kamu jadi lupa diri! Kamu di sini itu ada tujuannya! Jadi, berhenti bersikap sok suci dan jual mahal! Kalau kamu memang mau menolong, lakukan tugasmu dengan benar!"

"BINAR, JAGA MULUTMU!" bentak Mas Danu dan Ayah hampir bersamaan.

Air mataku mulai menggenang. Hinaan itu begitu telak dan menyakitkan. 'Jual mahal'. Seolah aku ini pelacur.

"Kenapa? Aku salah ngomong?" pekiknya lagi, kini air matanya mulai berlinang. Ia kembali memainkan perannya sebagai korban. "Aku sakit, Mas! Aku menderita! Aku cuma mau punya anak! Apa itu salah? Kenapa kalian semua malah lebih membela dia daripada aku?!"

Ia mulai terisak-isak, tubuhnya bergetar hebat. Mas Danu, meski terlihat sangat marah, akhirnya luluh juga. Ia menghampiri istrinya, mencoba menenangkannya.

"Sudah, sudah... bukan begitu maksudku," katanya lebih lembut, meski terlihat jelas ia melakukannya karena terpaksa.

Aku tidak sanggup lagi melihat sandiwara itu. Aku berbalik dan masuk ke dalam kamarku, membanting pintu sekeras mungkin. Aku merosot di balik pintu, isak tangis yang kutahan akhirnya pecah.

Malam ini, aku menyadari satu hal yang mengerikan. Kak Binar tidak menginginkan aku menjadi madunya. Dia menginginkan aku menjadi budaknya. Dia tidak keberatan berbagi suami, selama suaminya tetap memujanya sebagai satu-satunya cinta. Dia tidak suka jika aku bahagia. Dia tidak suka jika aku diperlakukan dengan baik. Dia ingin aku menderita, sama sepertinya, atau bahkan lebih.

Kecemburuannya bukan hanya pada suaminya. Kecemburuannya adalah pada setiap kemungkinan kebahagiaan kecil yang mungkin kudapatkan. Dan malam itu, aku tahu perang sesungguhnya baru saja dimulai. Lawanku bukanlah Mas Danu, tapi kakakku sendiri. Kakak yang manipulatif, yang akan melakukan apa saja untuk memastikan aku tetap berada di bawah bayang-bayangnya, selamanya.

1
Ma Em
Akhirnya Arini sdh bisa menerima Danu dan sekarang sdh bahagia bersama putra putrinya begitu juga dgn Binar sdh menyadari semua kesalahannya dan sdh berbaikan , semoga tdk ada lagi konflik diantara Arini dan Binar dan selalu rukun 🤲🤲.
Ma Em
Arini keluargamu emang sinting tdk ada yg normal otaknya dari ayahmu ibumu juga kakakmu yg merasa paling benar .
Sri Wahyuni Abuzar
ini maksud nya gimana yaa..sebelumnya arini sudah mengelus perutnya yg makin membuncit ketika danu merakit ayunan kayu..kemudian chatingan sm binar di paris (jaga keponakan aku) ... lhaa tetiba baru mau ngabarin ke ortu nya arini bahwa arini hamil...dan janjian ketemu sama binar di cafe buat kasih tau arini hamil..
kan jadi bingung baca nya..
Sri Wahyuni Abuzar
danu yg nyetir mobil ke rumkit..ayah duduk di kursi samping danu..lalu binar dan ibu nya duduk di kursi belakang..pantas kalau arini bilang dia seperti g keliatan karena duduk di depan..di kursi depan bagian mana lagi yaa bingung aku tuuh 🤔
Noivella: makasih kak. astaga aku baru sadar typo maksudnya kursi paling belakang😭😭
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!