Andra dan Trista terpaksa menikah karena dijodohkan. Padahal mereka sudah sama-sama memiliki kekasih. Pernikahan kontrak terjadi. Dimana Andra dan Trista sepakat kalau pernikahan mereka hanyalah status.
Suatu hari, Andra dan Trista mabuk bersama. Mereka melakukan cinta satu malam. Sejak saat itu, benih-benih cinta mulai tumbuh di hati mereka. Trista dan Andra terpaksa menyembunyikan kedekatan mereka dari kekasih masing-masing. Terutama Trista yang kekasihnya ternyata adalah seorang bos mafia berbahaya dan penuh obsesi.
"Punya istri kok rasanya kayak selingkuhan." - Andra.
"Pssst! Diam! Nanti ada yang dengar." - Trista.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desau, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 23 - Bisa Dilakukan
Rumah terasa sedikit berbeda malam itu. Tidak terlalu tegang, tidak pula terlalu tenang, tapi cukup membuat Trista dan Andra berhati-hati. Tika, yang kini bekerja di rumah mereka, berkeliling seperti biasa. Tidak berlebihan, tidak mencurigakan, namun justru membuat keduanya makin waspada.
Tika menyapu ruang tengah, cekatan, rapi, dan tidak banyak bicara. Setiap kali Trista atau Andra lewat, dia hanya mengangguk sopan.
“Silakan, Mbak.”
“Permisi, Mas.”
Normal, tapi bagi Trista dan Andra, normal itu justru jadi alarm tersendiri.
Trista masuk ke kamarnya lebih cepat malam itu. Ia butuh waktu untuk menenangkan diri setelah ketegangan bersama Regan. Ia duduk di ranjang, menarik napas panjang, mencoba mengusir rasa takut dan rasa bersalah sekaligus.
Sementara itu, Andra di kamar paling ujung rumah tampak gelisah. Dia bolak-balik seperti ikan arwana kepanasan. Padahal jam belum terlalu malam.
“Gila… aku kangen dia…” gumam Andra sambil mengacak rambutnya sendiri. Setelah hari yang panjang dengan Ajeng, Andra benar-benar ingin bicara dengan Trista, menatapnya, memastikan semuanya baik-baik saja. Tapi Tika berada di ruang tengah tadi, jadi ia tidak bisa keluar.
Andra membuka pintu sedikit dan mengintip lorong. Sepi. Lampu redup. Tidak ada suara sapu, tidak ada langkah Tika. Mungkin perempuan itu sudah masuk ke kamarnya.nSudah aman?
Andra berpikir cepat. Kalau dia lewat lorong, itu terlalu mencolok. Jarak kamar mereka lebih dari setengah rumah, selain itu ada kamera yang terus mengawasi. Tapi ada jendela. Jendela kamarnya langsung menghadap ke taman samping, dan jendela kamar Trista juga menghadap ke arah yang sama.
“Gila, Dra… mau ngapain sih…” gumamnya sambil mendorong jendela. Tapi dia tetap membuka jendela itu. Angin malam menyapu wajahnya. Pohon kamboja bergoyang pelan, dan suara jangkrik terdengar samar. Andra melangkah keluar perlahan, hati-hati, mencari pijakan di sepanjang tembok pinggir.
Dia bukan ahli parkour. Jangankan parkour, naik kursi aja suka goyah. Tapi demi Trista? Dia siap jatuh tiga kali pun jadi.
Dengan kedua tangannya menempel ke dinding, Andra bergerak seperti tokoh drama yang sedang kabur dari penjara. Pelan, merayap, sesekali menahan napas kalau daun menggesek kakinya. Sangat menegangkan baginya.
“Gila… capek banget…” gerutunya, padahal baru lima langkah.
Sementara itu di kamar Trista, perempuan tersebut sedang memandangi ponselnya, bimbang apakah dia boleh menghubungi Andra atau tidak. Ia takut Tika mungkin masih berkeliaran, atau, lebih buruknya Regan menghubungi tiba-tiba. Ia menghela napas, memejamkan mata sebentar.
“Tuhan… aku capek banget…”
Tok tok.
Suara itu muncul dari arah jendela. Trista membuka mata cepat. “Apa itu?”
Trista mendekat pelan. Dan ketika ia membuka tirai, Andra ada di luar jendela. Seperti cicak yang bertengger di tembok, wajahnya merah, napas ngos-ngosan, tangannya memegang bingkai jendela seolah hidupnya bergantung pada besi itu.
Trista hampir menjerit. “H–HEY! GILA! Kamu ngapain di situ?!”
Andra memaksa tersenyum sambil terengah. “Surprise?”
Trista menutup mulutnya sendiri, berusaha tidak tertawa keras-keras. “Kamu gila ya! Mau mati?! Kalau jatuh gimana?!”
“Aku jatuh tadi,” kata Andra jujur. “Tapi cuma dua kali.”
“KAMU JATUH?!” Trista nyaris teriak lagi.
“Ssst! Pelan! Nanti Tika dengar!” Andra setengah memohon, setengah ketakutan kalau perjuangannya akan sia-sia.
Trista membuka jendela lebih lebar dan menarik Andra masuk. Lelaki itu jatuh setengah berguling ke lantai kamar.
“Aduh…” Andra meringis sambil memegang pinggangnya.
Trista menutup jendela cepat-cepat sebelum lampu luar menangkap bayangan mereka. Ia memegang bahu Andra. “Kamu kenapa sih nekat banget?!”
“Aku kangen,” jawab Andra tanpa mikir.
Sederhana. Jujur. Dan tepat sasaran.
Trista langsung terdiam. Pipi memanas.
Ia menatap Andra yang duduk berantakan di lantai, wajahnya belepotan debu, rambut acak-acakan, dan napas ngos-ngosan seperti habis dikejar anjing komplek.
Trista merasa gemas. Ia menutup wajahnya sambil tertawa pelan. “Ampun… kamu konyol banget,” katanya sambil tetap menahan tawa.
“Ya, tapi berhasil kan?” Andra memamerkan senyum penuh kemenangan. “Aku bisa lihat kamu. Itu sudah cukup.”
Trista menghela napas panjang. “Kamu bikin aku deg-degan dan takut. Bisa-bisanya kamu naik lewat jendela…”
“Ya gimana? Kalau aku lewat pintu, ketemu Tika. Kalau ketemu Tika, ketahuan. Kalau ketahuan, tamat riwayat."
Trista mengangkat alis. “Tika nggak segitunya juga…”
“Kamu nggak lihat cara dia ngelirik aku waktu aku lewat tadi…” ujar Andra dramatis. “Seolah dia tahu semua dosa yang aku lakuin.”
Trista terkekeh lagi. Tapi wajahnya kemudian melembut, menjadi lebih serius. “Andra… aku takut.”
Andra menatapnya, mendengar nada itu. “Tentang Regan?”
Trista mengangguk pelan. “Dia… makin posesif. Dan dia bilang… dia nggak akan melepaskanku.”
Andra terdiam. Rahangnya mengeras. Ia mendekat, meraih tangan Trista, menggenggamnya erat. “Aku di sini. Kamu nggak sendirian. Lagi pula, aku juga tak bisa memutuskan Ajeng. Dia sedang terkena masalah berat sekarang. Jadi aku juga harus menutupi hubungan kita darinya.”
"Benarkah? Kok jadi tambah rumit begini coba." Trista memijat pelipisnya.
"Makanya. Padahal kita suami istri loh!" sahut Andra.
Trista menatap Andra lama, mata memanas, perlahan senyuman mengambang karena mengingat kedatangan suaminya itu cara kedatangannya terlalu absurd.
“Kamu rela manjat jendela cuma buat bilang kangen?”
“Kalau perlu, besok aku bawa tangga lipat.”
Andra berkata santai, seolah itu ide bagus.
“Dih! Kangen apa mau jatah?!" timpal Trista. sambil memukul lengan suaminya itu pelan.
Andra tertawa juga, akhirnya melepaskan semua tegang yang sejak tadi ia tahan. Dia lumat bibir Trista sejenak.
Trista tertawa kecil, lalu melirik jendela. “Btw, gimana cara kamu kembali nanti?”
Andra menatap jendela. Menatap Trista. “…mati aku.”
Trista langsung ngakak. Namun itu tak berlangsung lama, karena Andra langsung membawanya telentang di ranjang. Tanpa sepengatahuan Tika, mereka bisa bercinta untuk yang kesekian kalinya.
Bagi Andra, jika ada keinginan, maka semuanya pasti bisa dilakukan.
Bisa jadi terkena gangguan transvestisme.
Transvestisme adalah kepuasan yang muncul ketika mengenakan pakaian yang lazim dikenakan oleh lawan jenis.
Penderita transvestisme merasa bergairah ketika mengenakan salah satu atribut pakaian, seperti celana dalam atau memakai satu set pakaian lawan jenisnya.
Agar tidak ketahuan, sebagian pria/wanita yang menderita kelainan ini akan menggunakan pakaian dalam lawan jenisnya di balik pakaian yang digunakan sehari-hari.