Indira mengagumi Revan bukan hanya karena cinta, tetapi karena kehormatannya. Revan, yang kini memeluk Kristen setelah melewati krisis identitas agama, memperlakukan Indira dengan kehangatan yang tak pernah melampaui batas—ia tahu persis di mana laki-laki tidak boleh menyentuh wanita.
Namun, kelembutan itu justru menusuk hati Indira.
"Untukku, 'agamamu adalah agamamu.' Aku tidak akan mengambilmu dari Tuhan-mu," ujar Revan suatu malam, yang di mata Indira adalah kasih yang dewasa dan ironis. Lalu ia berbisik, seolah mengukir takdir mereka: "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku."
Kalimat itu, yang diambil dari Kitab Suci milik Indira sendiri, adalah janji suci sekaligus belati. Cinta mereka berdiri tegak di atas dua pilar keyakinan yang berbeda. Revan telah menemukan kedamaiannya, tetapi Indira justru terombang-ambing, dihadapkan pada i
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CEO yang Mendikte dan Kontradiksi Waktu
Aku duduk di bangku mobil mewah Gus Ammar Fikri, pikiran dan perasaanku campur aduk. Ia menjemputku di kampus sore itu, dan kini mobilnya melaju mulus, membawa kami entah ke mana yang jelas bukan ke rumah.
Ayahku, Mas Bimo, mungkin mengira kami sedang dalam perjalanan pulang, padahal kami baru saja keluar dari area kampus. Aku melihat jam di dasbor. Sudah hampir pukul empat sore. Tadi, di gerbang kampus, ia bilang hanya punya waktu sepuluh menit sebelum pertemuan investor.
Keheningan di mobil itu berat, bukan karena canggung, tetapi karena Ammar Fikri benar-benar fokus pada jalan, hanya sesekali melirik spion.
"Kita akan pulang jam lima sore, Saudari Indira," kata Ammar tiba-tiba, memecah keheningan. "Saya sudah mengatur waktu untuk kita membahas beberapa poin krusial yang saya catat saat pertemuan taaruf kemarin."
Jam lima? Tapi tadi Anda bilang sepuluh menit! Aku menelan kembali protes itu. Ammar Fikri tidak suka ditentang.
Ammar mulai berbicara, nadanya benar-benar seperti seorang CEO yang sedang melakukan briefing pada bawahannya.
"Saya sudah melihat referensi bacaan Anda dari media sosial dan data kampus. Anda menyukai filsafat dan sastra, tetapi Anda juga memiliki kecenderungan melarikan diri dari kenyataan. Ini berbahaya," Ammar memulai, tanpa menoleh.
"Maksud Anda, Gus?" tanyaku, terkejut karena dia sudah melakukan investigasi.
"Maksud saya, Anda membiarkan emosi mengalahkan logika syariah. Anda tahu hubungan Anda dengan pemuda non-Muslim itu salah, tetapi Anda terus memelihara harapan di dalamnya. Ini adalah defisit manajemen risiko yang sangat buruk, Saudari Indira. Sebagai calon pendamping, saya tidak bisa menerima defisit semacam itu."
Aku merasa seperti sedang disidang di ruang rapat. "Saya sedang berusaha untuk berubah, Gus."
"Usaha harus terukur," potongnya dingin. "Saya ingin tahu, bagaimana Anda akan mengatasi perasaan Anda? Beri saya rencana konkret. Apakah Anda sudah mengganti rutinitas Anda? Apakah Anda sudah mencari mentor baru? Saya tidak ingin Anda hanya 'berusaha'."
Aku merasa terdesak. "Saya... saya fokus pada kuliah. Saya menghapus semua jejak tentang dia. Dan saya fokus pada tanaman hias saya di rumah. Itu membuat saya tenang."
"Tanaman hias," Ammar mengulang kata itu, sedikit geli. "Baik. Itu sebuah distraksi fisik yang baik. Tapi bagaimana dengan distraksi intelektual? Saya tidak melihat ada upaya Anda untuk mengisi kekosongan pemikiran Anda dengan hal-hal yang benar-benar produktif. Anda harus mengambil studi tambahan, atau mulai belajar tentang fintech. Itu akan mengalihkan fokus Anda dari hal-hal yang tidak penting."
Aku menatap profilnya yang tegas. Dia tidak mendikte ku karena dia peduli, dia mendikteku karena dia ingin memastikan investasinya (perjodohan ini) tidak akan gagal.
"Saya akan mempertimbangkan saran Anda, Gus," kataku, berusaha menjaga nada bicaraku agar tetap profesional, sesuai keinginannya.
"Anda tidak hanya mempertimbangkan, Saudari Indira. Anda harus melakukannya. Saya sudah menjelaskan, taaruf ini adalah kesepakatan untuk mendapatkan waktu. Saya ingin Anda fokus pada studi dan pembangunan diri Anda. Jika Anda kembali goyah, kesepakatan ini berakhir, dan kita berdua kehilangan waktu berharga," ttegasnya
Tepat pukul lima sore, mobil Ammar berhenti di depan rumahku. Aku bersiap untuk Ammar yang akan mengucapkan pamit secara formal dan dingin.
Namun, Ammar mengejutkanku lagi.
"Mari kita turun, Saudari Indira. Kita harus memberi kesan baik pada orang tua Anda," katanya, mematikan mesin.
"Maksud Anda, Gus? Anda tidak ada rapat?" tanyaku, tidak bisa menahan rasa terkejut.
Ammar menoleh, senyum tipis senyum pertama yang kulihat terukir di bibirnya. Senyum itu tidak hangat, tapi sangat meremehkan.
"Saya adalah CEO perusahaan saya, Saudari Indira. Saya tidak diatur oleh rapat; sayalah yang mengatur rapat. Saya sengaja mengatakan saya punya waktu sepuluh menit agar Anda tidak merasa terlalu nyaman. Kenyamanan menciptakan variabel yang tidak perlu."
"Tapi sekarang Anda ingin santai?"
"Tentu saja. Di depan Om Bimo, saya harus menjadi menantu yang santai dan menyatu dengan keluarga. Ini adalah strategi hubungan publik yang baik. Anda mengerti?"
Kami turun dari mobil. Ayahku, Mas Bimo, dan Bunda Fatma sudah duduk santai di teras belakang, menikmati teh hangat di sore hari, dikelilingi oleh pot-pot tanaman hias yang tertata rapi.
"Loh Gus sudah pulang, apa kabar Gus?," tanya Ayah
"Alhamdulillah, Om. Baik seperti yang om lihat." jawab Ammar, suaranya tiba-tiba berubah menjadi lembut dan penuh hormat.
"Duduk Gus." ucap Ayah
Ia langsung menarik kursi di samping Ayah, duduk dengan postur tubuh yang jauh lebih rileks. Ia mulai mengamati barisan pot di teras.
"Om Bimo," panggil Ammar, suaranya tenang dan ramah. "Tanaman-tanaman di sini, indah sekali. Terawat dan tersusun rapi. Khususnya yang ini..." Ammar menunjuk Aglonema favoritku.
Ayah Bimo langsung tersenyum bangga. "Alhamdulillah, Ammar. Kebanyakan memang koleksi Indira, Nak. Dia yang memilih, dia yang menyiram, dia yang merawat. Dia teliti sekali dalam merawat tanaman."
Aku menatap Ammar, mencoba membaca perubahannya yang drastis. Ia adalah pria yang mampu mengubah persona dalam hitungan detik, yang menggunakan segala situasi, bahkan tanaman, untuk mengujiku.
Ammar menoleh padaku, ekspresinya kembali datar. "Menarik. Jadi Anda fokus pada distraksi fisik ini, Saudari Indira? Itu bagus. Tapi kita akan menambahkan distraksi intelektual yang lebih menantang. Kita akan bahas itu di sesi berikutnya."
Kemudian, ia kembali tersenyum ramah pada Ayah Bimo dan melanjutkan percakapan tentang varietas Aglonema. Aku sadar, taarufku dengan Gus Ammar Fikri bukanlah perjalanan mencari cinta, melainkan medan perang strategis di mana setiap kata dan gerakan adalah taktik.