Ditipu tidak membuat kadar cintanya berkurang malah semakin bertambah, apalagi setelah tau kejadian yang sebenarnya semakin menggunung rasa cintanya untuk Nathan, satu-satunya lelaki yang pernah memilikinya secara utuh.
Berharap cintanya terbalas? mengangankan saja Joana Sharoon tidak pernah, walaupun telah hadir buah cinta.. yang merupakan kelemahan mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Base Fams, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
◉ 29
Di dalam kamar inapnya, Joana membisu menatap langit-langit dengan pandangan kosong. Kepergian putranya menyisakan duka yang sangat dalam. Joana merasakan jiwanya terguncang dan hatinya hancur berkeping-keping. Ini sangat menyakitkan. Kehilangan buah cinta, sama halnya dengan mimpi buruk yang menyisakan kepedihan yang mendalam, dan butuh waktu yang lama untuk menyembuhkannya.
"Maafkan Mommy, Nak." Lirihnya dalam penyesalan. Tanpa sadar, air matanya bergulir membasahi pipinya. "Maaf, karena Mommy tidak bisa menjagamu dengan baik." Joana merapatkan bibirnya, menangis dalam diam.
Tok.. Tok.. Tok..
Ketukan pintu terdengar. Joana langsung mengusap air matanya. Tak lama kemudian nampak seorang perawat masuk ke ruangan membawakan menu makan siang untuk Joana, bertepatan itu Nathan keluar dari dalam toilet.
"Sudah waktunya anda makan siang, Nyonya." Perawat itu meletakkan wadah makanan di atas meja. "Jangan lupa, setelah makan anda harus minum obat."
Joana bergeming. Bahkan ia tidak menoleh dan tidak mengatakan apapun untuk merespon kalimat perawat tersebut.
"Terimakasih, suster." Ujar Nathan.
"Sama-sama, Tuan. Sore nanti dokter Anna akan visit, tolong pastikan istri anda untuk menghabiskan makannya dan minum obat."
Setelah memberikan pesan, perawat itu pun pamit dan keluar. Nathan melangkah mendekati Joana. Tanpa bersuara, Nathan membantu Joana duduk. Ia mengambil wadah berisi makan siang Joana lalu membuka penutupnya.
Joana tidak melepaskan pandangannya barang sedetik pun dari suaminya. Ia memerhatikan raut wajah yang ditampilkan Nathan. Sejak tadi, ia merasakan perubahan pada suaminya. Pria itu lebih banyak diam. Sekedar memeluknya untuk memberikan kekuatan pun tidak dilakukan pria itu, membuat Joana bertambah sedih dan juga terluka.
"Aku tidak berselera makan, Nathan." Tolaknya ketika Nathan menyendokkan bubur untuknya.
"Kau harus makan." Tidak ada bujukan atau rayuan dengan kata-kata lembut yang kerap dilakukan pria itu. Justru sebaliknya, pria itu menunjukkan sikap dingin, sikap yang tidak disukai Joana.
"Aku tidak mau." Tolaknya lagi dengan tegas.
Joana merapatkan mulutnya sambil menatap suaminya dengan pandangan nanar.
"Kenapa kau keras kepala sekali, Joana. Apa kau tidak mendengar perkataan perawat tadi? Kau harus makan dan meminum obatmu. Apa kau ingin berlama-lama tinggal disini?"
Nada suaranya pelan, tapi entah kenapa kalimat itu terdengar sangat menyakitkan. Joana menitikkan air matanya. "Ada apa denganmu, Nathan? tidak biasanya kau bersikap seperti ini." Pada akhirnya Joana memberanikan diri untuk bertanya dan mengungkap kerisauan. Sungguh perubahan sikap Nathan yang dingin membuat Joana benar-benar tersiksa.
"Buka mulutmu." Nathan tidak mengindahkan pertanyaan Joana.
Joana menahan tangan Nathan yang hendak menyuapinya. "Aku sedang bertanya padamu, Nathan. Kenapa kau tidak menjawabnya?" Tuntutnya. Kesabarannya sedang diuji, tapi melihat sikap Nathan, Joana tidak bisa menahannya lagi.
"Apa yang perlu aku jawab?" Alih-alih menjawab pertanyaan Joana, justru pria itu balik bertanya.
Joana mengerutkan keningnya dan Joana mengulang pertanyaan. "Sebenarnya ada apa denganmu?" Percayalah, ingin rasanya Joana berteriak, tapi ia terlalu lelah untuk melakukannya.
Sepasang suami istri itu saling melempar pandang. Joana terdiam, menunggu Nathan menjawab pertanyaannya.
"Aku ingin kita berpisah."
Tubuh Joana menegang seketika begitu mendengar kalimat Nathan. Ia terdiam. Ia mencoba mencerna dan menelaah ucapan Nathan. "Berpisah?" Joana terkekeh sumbang, selaras dengan air matanya yang mengalir begitu saja. "Maksudmu, kau ingin menceraikan-ku?"
Nathan membuang napasnya, "aku rasa perkataanku sudah jelas, Joana." Jawabnya. "Apa perlu aku menjelaskan lagi? baiklah... jawabannya, ya aku ingin menceraikan-mu."
Katakan apa yang lebih menyakitkan dari ini? jawabannya tidak ada. Ucapan Nathan menggoreskan luka di hatinya, semakin memperburuk keadaannya. Ia sudah kehilangan buah cintanya dan sekarang Ia harus menerima kenyataan pahit lainnya. Joana mengerjapkan matanya. Seketika mulutnya terasa kelu. Jantungnya berhenti sesaat, digantikan gemuruh yang datang, menyesakkan dada.
Joana memandangi wajah Nathan, dengan bercucuran air mata. Secara tidak langsung ia memperlihatkan kesedihan dan kerapuhannya, akan tetapi tidak ada reaksi apapun yang ditunjukkan pria itu, mimik mukanya datar, nyaris tanpa iba, hatinya benar-benar membeku. Tidakkah cukup kesedihannya karena kepergian putra mereka, membuat pria itu merasakan apa yang dirasakannya? kenapa pria itu justru menambahkan lukanya? Apa kesalahannya sehingga ia harus menghadapi lagi kenyataan yang menyakitkan dalam hidupnya?
"Apa kau sedang mempermainkan-ku, Nathan?" Suara Joana bergetar memecah keheningan, setelah beberapa menit berlalu keduanya sama-sama terdiam. Nathan tidak menjawab pertanyaannya. Pria itu membisu layaknya batu, membuat Joana marah. Joana mencengkram kuat jaket Nathan, dan Nathan membiarkannya. "Kau mempunyai mulut, tapi kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku?" Tanya Joana setengah berteriak.
Nathan menarik paksa tangan Joana sehingga cengkraman Joana terlepas dari jaketnya. "Anggap saja seperti itu." Nathan menjawab pertanyaan Joana dengan enteng. Seolah-olah apa yang terjadi diantara mereka hanya permasalahan kecil yang bisa cepat selesai.
Joana mengusap air matanya dengan kasar. Ia tersenyum hambar seraya bertepuk tangan. "Selamat Nathan. Selamat karena kau telah berhasil merenggut semua yang ada pada diriku." Joana menjeda kalimatnya, ia menarik napasnya panjang untuk menetralisir perasaannya. "Cinta, kebahagiaan serta mimpiku, kau telah berhasil merampasnya, Nathan. Kau berhasil membuatku melambung dengan segala perhatianmu. Dimatamu, aku tak ubahnya seperti mainan. Setelah kau bosan, kau membuang-ku." Lanjutnya Joana kemudian ia mengusap air matanya. "Sekarang yang menjadi pertanyaanku, kenapa harus aku orangnya?" Joana menyentuh kedua lengan Nathan. "Kenapa bukan orang lain, Nathan?" tanyanya lagi seraya mengguncang lengan suaminya. Kemudian ia melepaskan pegangannya. "Ah ya, aku tau jawabannya. Aku terlalu naif, ya karena kenaifan-ku yang begitu mudah luluh dengan perlakuan manismu. Sehingga membuatku tidak sadar jika kau hanya ingin mempermainkan-ku. Bukankah seperti itu, Nathan?"
Joana tersenyum getir, "kau tau. Kau tak ada bedanya dengan Victor, Nathan. Kau seorang penipu. Aku sangat membencimu!" Tidak ada tatapan cinta, sorot mata Joana mengisyaratkan kepedihan dan juga kebencian.
"Ya, benci lah aku sebanyak yang kau mau, sehingga kau bisa melupakan aku dan melupakan tentang kita."
"Ya, kau tenang saja Nathan. Itulah yang akan aku lakukan, brengsek." Joana melepaskan cincin pernikahannya, diraihnya tangan Nathan, lalu ia meletakkan cincinnya di telapak tangan pria itu. "Sekarang, lakukan apa yang ingin kau lakukan, Nathan. Kita tidak punya ikatan apapun lagi. Pergilah." Joana membuang wajahnya kesamping, seraya menggigit bibir bawahnya.
Nathan segera beranjak. Pria itu melangkah keluar tanpa menoleh lagi ke belakang. Bertepatan pintu tertutup, air mata Joana meluruh. Ia tertunduk. Tubuhnya bergetar dengan tangisan yang tak tertahan. "Ya Tuhan... " Lirih Joana meluapkan rasa sesak di dadanya.
Joana merenungi kenyataan yang di dapatinya. Sebenarnya Ia sudah tidak sanggup lagi menampung kesedihannya. kesedihan kehilangan putranya belum sembuh, ia kembali dihantam dengan kenyataan yang menyakitkan. Hancur, hatinya benar-benar hancur saat ini.
Keadaan tidak bisa disalahkan, begitu juga dengan takdir. Meskipun terasa berat, tapi Joana berusaha menerima apa yang dialaminya. Ia percaya, Tuhan tidak akan pernah meninggalkan umatNya. Joana yakin apa yang dialaminya saat ini, merupakan bukti cinta Tuhan kepadanya.
Sudah lama ia menangis, namun rasa sesak masih terasa di dadanya. Faktanya, seberapa lama ia menangis tak lantas membuatnya ia merasa lega. Sakit itu masih sangat dirasakannya. Tapi mau sampai kapan, ia harus seperti ini? Bukankah hidup akan terus berjalan.
mungkin ya masih ada setetes cinta untuk Nathan makanya Joana g bs dendam ataupun benci spenuhnya sm Nathan😏😏
tertohok kn hatimu Nat, ayo jawab ..
cowok sebrengsek Marco aja tau menghargai wanita
Mungkin sekarang bukan cinta ,tapi perasaan Marvel yang utama