Di dermaga Pantai Marina, cinta abadi Aira dan Raka menjadi warisan keluarga yang tak ternilai. Namun, ketika Ocean Lux Resorts mengancam mengubah dermaga itu menjadi resort mewah, Laut dan generasi baru, Ombak, Gelombang, Pasang, berjuang mati-matian. Kotak misterius Aira dan Raka mengungkap peta rahasia dan nama “Dian,” sosok dari masa lalu yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan. Di tengah badai, tembakan, dan pengkhianatan, mereka berlomba melawan waktu untuk menyelamatkan dermaga cinta leluhur mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Vicky Nihalani Bisri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CH - 23 : Harmoni dalam Nada Baru
Bulan-bulan berlalu sejak Aira dan Raka mengetahui kabar kehamilan mereka, dan kehidupan mereka kini dipenuhi dengan ritme baru yang penuh harapan.
Aira kini memasuki bulan keempat kehamilannya, perutnya mulai membuncit kecil, dan dia sering tersenyum sendiri setiap kali merasakan gerakan lembut dari bayi mereka.
Rumah kecil mereka di daerah Candi kini dihiasi dengan sentuhan baru, sebuah sudut kecil di ruang tamu yang mereka siapkan sebagai tempat untuk peralatan bayi, lengkap dengan keranjang anyaman untuk menyimpan mainan dan buku cerita anak-anak yang mereka beli.
Pagi itu, Aira duduk di sofa dengan sebuah buku panduan kehamilan di tangannya, membaca tentang perkembangan bayi di usia empat bulan. Dia mengenakan dress longgar berwarna pastel yang nyaman, rambutnya dibiarkan tergerai dengan jepit kecil di samping.
Raka, yang baru saja selesai membuatkan sarapan, masuk ke ruang tamu dengan nampan berisi dua piring roti panggang dengan telur mata sapi dan segelas jus jeruk untuk Aira.
“Pagi, istriku,” sapa Raka, tersenyum hangat sambil meletakkan nampan di meja kecil di depan sofa.
“Aku bikin sarapan yang ringan buat kamu, kata dokter kan kamu harus makan yang sehat dan enggak terlalu berat,” katanya, nadanya penuh perhatian.
Aira tersenyum, matanya berbinar saat melihat Raka.
“Pagi, suamiku. Makasih ya, kamu selalu perhatian banget,” katanya, lalu mengambil segelas jus jeruk dan menyesapnya dengan puas.
“Aku… aku tadi baca tentang perkembangan bayi kita. Katanya, di usia segini, dia udah bisa denger suara dari luar. Aku… aku pengen nyanyi buat dia,” tambahnya, suaranya lembut.
Raka duduk di samping Aira, tangannya memegang tangan istrinya dengan lembut.
“Itu ide yang bagus banget, Aira. Aku yakin bayi kita bakal suka denger suara kamu, suara kamu kan lembut banget,” katanya, tersenyum sambil mengelus perut Aira dengan penuh kasih.
“Aku juga mau ikut nyanyi, boleh?” tanyanya, nadanya penuh antusias.
Aira tertawa kecil, wajahnya memerah.
“Boleh banget, Raka. Tapi… kamu nyanyi apa? Aku mau nyanyi lagu ‘Bunda’ yang dari Melly Goeslaw, aku suka banget liriknya,” katanya, matanya berbinar.
Raka tersenyum, mengangguk.
“Aku suka lagu itu, Aira. Aku… aku bakal nyanyi bareng kamu, ya. Atau… mungkin aku coba nyanyi lagu ‘Anakku’ dari Kahitna? Aku pikir liriknya cocok banget buat kita,” katanya, nadanya penuh harapan.
Mereka berdua akhirnya bernyanyi bersama, suara mereka yang sederhana tapi penuh cinta memenuhi ruang tamu kecil itu.
Aira memulai dengan “Bunda,” suaranya lembut dan penuh emosi saat menyanyikan lirik tentang kasih sayang seorang ibu.
Raka memandang Aira dengan mata penuh cinta, lalu ikut menyanyi saat gilirannya tiba, memilih “Anakku” dari Kahitna dengan suara yang hangat dan penuh perasaan.
Aira tersenyum, merasa ada getaran lembut di perutnya, seolah bayi mereka menikmati melodi yang mereka ciptakan bersama.
“Raka… aku ngerasa dia gerak tadi pas kita nyanyi,” kata Aira, matanya berkaca-kaca karena bahagia. “Aku… aku ngerasa dia suka denger kita nyanyi bareng,” tambahnya, suaranya gemetar.
Raka tersenyum lebar, tangannya memegang perut Aira dengan lembut.
“Aku juga ngerasa, Aira. Aku… aku seneng banget kita bisa bikin dia seneng. Aku pengen kita sering-sering nyanyi buat dia, ya,” katanya, nadanya penuh kebahagiaan.
Setelah sarapan, Aira dan Raka memutuskan untuk pergi ke dokter kandungan untuk pemeriksaan rutin. Mereka pergi ke sebuah klinik di daerah Tembalang, tempat dokter kandungan langganan Aira, Dokter Maya, biasa praktik.
Di ruang tunggu, Aira duduk dengan tangan memegang perutnya, sementara Raka memegang tangannya erat, sesekali mengobrol tentang nama-nama yang mereka pikirkan untuk bayi mereka.
“Aira, aku pikir… kalau anak kita perempuan, aku suka nama ‘Rinai’. Kedengerannya lembut, kayak hujan kecil yang bikin tenang,” kata Raka, tersenyum sambil melirik Aira.Aira tersenyum, mengangguk.
“Aku juga suka nama ‘Rinai’, Raka. Tapi… kalau laki-laki, aku suka nama ‘Banyu’. Artinya air, kan? Aku pikir itu cocok sama cerita kita yang selalu berhubungan sama laut sama hujan,” katanya, matanya berbinar.Raka tertawa kecil, mengangguk.
“Banyu… aku suka. Kita pake Rinai sama Banyu, ya, tergantung jenis kelaminnya. Aku… aku enggak sabar buat ketemu anak kita,” katanya, nadanya penuh antusias.
Saat dipanggil masuk ke ruang dokter, Aira dan Raka disambut oleh Dokter Maya dengan senyum hangat.
“Selamat pagi, Aira, Raka. Gimana kehamilannya? Ada keluhan apa-apa?” tanyanya, sambil menyiapkan alat USG.
Aira tersenyum, menjelaskan bahwa dia merasa lebih baik meskipun masih sering mual di pagi hari.
Dokter Maya mengangguk, lalu memulai pemeriksaan USG. Layar kecil di samping ranjang menunjukkan gambar bayi mereka, sebuah bentuk kecil dengan detak jantung yang teratur.
Aira dan Raka saling pandang, air mata haru mengalir di pipi mereka saat mendengar detak jantung anak mereka untuk pertama kalinya.
“Bayinya sehat, Aira. Perkembangannya bagus, dan detak jantungnya kuat,” kata Dokter Maya, tersenyum.
“Oh ya, kalian mau tahu jenis kelaminnya? Sekarang udah bisa keliatan, loh.” Aira dan Raka saling pandang, lalu mengangguk serentak.
“Mau, Dok,” kata Aira, suaranya penuh antusias.
Dokter Maya tersenyum, menggerakkan alat USG dengan hati-hati.
“Selamat, ya, Aira, Raka. Kalian bakal punya anak perempuan,” katanya, nadanya penuh kebahagiaan.
Aira menutup mulutnya dengan tangan, air mata haru mengalir di pipinya.
“Rinai… kita bakal punya Rinai,” bisiknya, lalu memeluk Raka erat.
Raka membalas pelukan itu, air mata kebahagiaan juga terlihat di matanya.
“Rinai… aku enggak sabar ketemu kamu, Nak,” kata Raka, suaranya serak karena haru, tangannya memegang perut Aira dengan penuh kasih.
Setelah pemeriksaan selesai, Aira dan Raka memutuskan untuk merayakan kabar ini dengan makan siang di sebuah warung kecil di pinggir kota, tempat yang menyajikan gudeg dengan ayam kampung yang lezat.
Mereka duduk di meja kayu sederhana, tangan mereka bergandengan erat, sesekali saling tersenyum sambil membayangkan masa depan mereka bersama Rinai.
“Raka… aku ngerasa hidupku lengkap banget sekarang,” kata Aira, suaranya lembut.
“Aku… aku takut, tapi aku juga seneng banget. Aku pengen Rinai tahu betapa kita sayang sama dia, betapa kita sayang satu sama lain.” Raka tersenyum, mencium punggung tangan Aira.
“Aira, kamu bakal jadi ibu yang luar biasa. Aku… aku juga takut, tapi aku yakin kita bisa lewatin ini bareng. Rinai bakal jadi anak yang bahagia, aku janji aku bakal jadi ayah yang baik buat dia,” katanya, nadanya penuh janji.
Sore itu, mereka kembali ke rumah dengan hati penuh harapan. Aira dan Raka menghabiskan waktu dengan menata sudut kecil untuk Rinai, mereka membeli sebuah ranjang bayi kecil dari toko online, dan Raka mulai melukis dinding di sudut itu dengan gambar ombak dan dermaga kecil, sebagai simbol dari cerita cinta mereka.
Aira duduk di sofa, menonton Raka melukis dengan senyum penuh cinta, tangannya memegang perutnya dengan lembut.
Malam itu, setelah makan malam, mereka duduk di halaman depan rumah, menikmati angin sejuk sambil menatap langit Semarang yang dipenuhi bintang.
Aira bersandar di dada Raka, mendengarkan detak jantung pria itu yang terasa menenangkan.
“Raka… aku ngerasa hidup kita kayak melodi yang indah sekarang,” katanya, suaranya lembut.
Raka tersenyum, memeluk Aira erat.
“Iya, Aira. Ini harmoni kita, harmoni yang kita ciptain bareng Rinai. Aku… aku pengen kita terus bikin melodi indah bareng, enggak peduli apa pun yang datang. Aku sayang kamu, selamanya,” katanya, nadanya penuh cinta.
Di bawah langit malam yang indah, Aira dan Raka saling berpelukan, merasa bahwa nada baru dalam hidup mereka, kehadiran Rinai, akan menjadi harmoni paling indah yang pernah mereka ciptakan bersama.
padahal niatnya ya itu author bikin cerita yang bisa nyentuh, memaknai setiap paragraf, enggak sekedar cerita dan bikin plot... kamu tahu, aku bikin jalan cerita 3 hari itu menghabiskan 15 bab 🤣🤣
mampir bentar dulu yaa... lanjut nanti sekalian nunggu up 👍
jgn lupa mampir juga di 'aku akan mencintaimu suamiku' 😉