Angelo, yang selalu menyangkal kehamilannya, melarikan diri setelah mengetahui bahwa ia mengandung anak Maximilliam, hasil hubungan semalam mereka. Ia mencari tempat persembunyian terpencil, berharap dapat menghilang dan menghindari konsekuensi dari tindakannya. Kehamilan yang tak diinginkan ini menjadi titik balik dalam hidupnya, memaksanya untuk menghadapi kenyataan pahit dan melarikan diri dari masa lalunya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Novianti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sleeping with his future wife
Maximillian menatap punggung Angelo yang tertidur pulas membelakangi dirinya. Senyumnya masih mengembang, tak pernah meninggalkan bibirnya sejak kejadian di gazebo taman belakang tadi. Cahaya lilin di meja kecil di samping tempat tidur mereka menerangi sebagian wajah Angelo, menampakkan bulu mata lentiknya yang terpejam. Udara malam Rusia yang dingin terasa menusuk kulit, namun kehangatan di dalam kamar melenyapkan rasa dingin itu.
Flashback....
Salju lembut masih turun, membungkus gazebo di taman belakang kediaman Angelo dalam selimut putih. Udara dingin menusuk tulang, namun Maximillian merasa hangat karena debar jantungnya sendiri. Di sekeliling mereka, pohon-pohon pinus menjulang tinggi, siluetnya terlihat jelas di bawah langit malam yang gelap, dihiasi bintang-bintang yang berkelap-kelip. Maximillian telah memberanikan diri menyampaikan niatnya untuk hidup bersama Angelo dalam ikatan suci.
Angelo tersenyum, senyum yang begitu tulus dan menawan di tengah salju yang turun, sebuah senyum yang mampu membangkitkan harapan sekaligus rasa takut yang luar biasa dalam hati Maximillian. Napas mereka berdua mengepul di udara dingin.
Tak lama, Angelo mengangguk, suaranya lembut, nyaris tak terdengar di antara desiran angin dan salju yang turun. "Ya, aku mau." Jawaban itu membuat Maximillian terpaku, percampuran rasa tak percaya, kejutan, dan kebahagiaan yang luar biasa menghantamnya. Dunia seakan berhenti berputar.
"Kau... kau bersungguh-sungguh, menerimaku?" tanya Maximillian, suaranya bergetar karena emosi yang tak terbendung. Jantungnya berdebar kencang. Napasnya memburu.
Angelo mengangguk lagi, matanya berbinar. "Ya, tapi berjanji lah untuk membahagiakan aku, dan jangan pernah mengkhianati aku." Suaranya tegas, namun di balik itu tersirat kerentanan dan kepercayaan yang mendalam.
Maximillian bangkit, dengan gerakan cepat namun penuh hormat, ia memeluk Angelo erat-erat. "Tentu... tentu aku akan membahagiakanmu, dan tidak akan pernah menyakitimu apapun yang terjadi." Janjinya terucap dengan penuh keyakinan, suaranya bergetar karena haru. Bulan purnama menyembul dari balik awan, menerangi wajah mereka yang dipenuhi kebahagiaan.
Flashback off...
Maximillian mendekat, memeluk Angelo dari belakang dengan lembut. Hangat tubuhnya perlahan mencairkan dingin yang menusuk tulang di tengah salju yang masih turun rintik-rintik di awal tahun baru. Mereka terlelap bersama, di bawah selimut tebal bulu angsa, di kamar yang dipanaskan oleh perapian yang masih menyala.
Angelo, yang ternyata belum tertidur, tersenyum merasakan kehangatan tubuh Maximillian di punggungnya. Dia merasakan bahagia yang tulus dari pria itu, sebuah kebahagiaan yang tak pernah dia bayangkan akan kembali hadir dalam hidupnya. Perjuangan Maximillian, perhatiannya yang tulus saat Angelo berada dalam keterpurukan, semua itu telah meyakinkannya. Tidak ada keraguan lagi di hatinya.
"Ku harap, ini adalah pilihan terbaik," gumam Angelo dalam hati, sebelum akhirnya memejamkan mata, luluh oleh kelembutan dan kehangatan yang diberikan Maximillian.
Keesokan harinya, mereka bangun dari tidur nyenyak. Cahaya matahari pagi yang tembus dari jendela besar menampilkan pemandangan pepohonan yang diselimuti salju, begitu indah dan mempesona. "Sepertinya, kita harus segera pergi ke New York sekarang. Salju sudah semakin lebat, aku tak ingin ada badai salju yang membuat kita tertahan dan batal kembali," ucap Angelo, seraya menyesap susu hangat di meja makan yang tertata elegan. Aroma roti panggang dan buah segar memenuhi ruangan.
"Ya, itu lebih baik," jawab Maximillian, mengangguk setuju sambil mengiris pancake yang lezat.
"Butler," panggil Angelo, suaranya terdengar jelas dan berwibawa, "tolong katakan pada Sean, untuk menyiapkan helikopter. Aku dan Max akan pergi ke New York hari ini."
"Baik, Nona. Saya akan menyampaikan pesan Anda pada Sean," jawab Butler, seorang pria paruh baya dengan seragam rapi, mengangguk hormat sebelum berlalu dengan langkah tenang untuk menyampaikan perintah Angelo. Keheningan kembali menyelimuti ruangan, hanya diiringi oleh suara lembut api yang berkobar di perapian.
Setelah menunggu beberapa saat, helikopter pribadi mendarat di halaman kediaman mereka. Angelo dan Maximillian langsung menaiki helikopter yang mewah itu, meninggalkan hamparan salju yang mulai menebal di Rusia. Pemandangan pegunungan yang tertutup salju terlihat begitu indah dari ketinggian, sebelum akhirnya pemandangan itu berganti dengan hamparan awan putih yang luas.
Sementara itu, di New York, Janet dan Jacob kembali memeriksa persiapan pernikahan mereka di gedung Empire State Building. Awalnya Theodore, yang ingin menangani semuanya, namun Jacob dan Janet menolak. Mereka tak ingin merepotkan Theodore, apalagi pria itu kini harus memikul beban pekerjaan kantor yang berlipat ganda karena ketidakhadiran Maximillian.
"Maafkan saya, Tuan, gedung ini sudah dipesan oleh seseorang untuk acara pernikahan pada tanggal tersebut," suara manajer gedung terdengar tegas dari balik pintu ruang pertemuan, diselingi suara protes dari seseorang yang juga ingin membooking gedung tersebut untuk acaranya di tanggal yang sama. Suara-suara berdebat samar-samar terdengar, namun cukup jelas menandakan adanya perseteruan.
"Aku akan membayarnya dua kali lipat!" sahut suara pria itu, terdengar tinggi dan sedikit kasar. Suaranya penuh dengan kekesalan.
"Maafkan saya, Tuan, berapa pun yang Anda bayarkan, saya tidak akan bisa menerimanya. Gedung ini sudah dibooking dan kontraknya sudah ditandatangani," jawab manajer gedung dengan nada yang tetap sopan namun tegas.
"Sepertinya, ada yang ingin merebut tempat kita," bisik Janet pada Jacob, wajahnya menunjukkan kekhawatiran. Ia melirik ke arah pintu ruang pertemuan, tampak sedikit cemas.
Jacob mengangguk, rahangnya mengeras. Ia meraih tangan Janet, memberikan ketenangan dan keyakinan. Dengan langkah pasti, Jacob membawa Janet masuk ke dalam gedung untuk menghadapi siapa pun yang berani mengacaukan rencana pernikahan mereka. Ekspresi wajahnya berubah menjadi serius dan penuh kewaspadaan.
Begitu memasuki ruang pertemuan, wajah Janet langsung menegang. Di seberang ruangan, berdiri seorang pria yang sangat dikenalnya—Arnold, mantan tunangannya yang telah lama menghilang dari hidupnya. Tatapan tajam Arnold bertemu dengan tatapan Janet, memicu gelombang emosi yang rumit. Suasana yang tadinya tegang kini berubah menjadi dingin dan mencekam.
"Siapa yang ingin merebut tempatku?" Suara Jacob terdengar dingin dan menusuk, bergema di ruangan yang tiba-tiba terasa sunyi. Aura kepemilikan dan kemarahan terpancar jelas dari sorot matanya. Manajer gedung, yang berdiri di samping mereka, tampak pucat pasi, tubuhnya gemetar.
"Tuan, selamat datang. Apakah Anda ingin memeriksa persiapan pernikahan Anda? Tenang saja, semuanya sudah selesai, namun jika Anda ingin memeriksanya kembali, saya akan menemani Anda untuk melihatnya," ucap manajer gedung tergagap, berusaha menenangkan situasi yang semakin menegang. Ia tampak ketakutan, menyadari kehadiran Jacob yang terkenal akan kewibawaannya dan ketegasannya.
"Oh, jadi kau yang membooking gedung ini untuk pernikahanmu, penghianat?" Arnold menyeringai, suaranya terdengar mengejek dan penuh kebencian. Ia menatap Janet dengan tatapan penuh dendam, seolah-olah ingin menghancurkan kebahagiaannya.
Janet terdiam, tubuhnya menegang. Ia tak menyangka akan bertemu Arnold di sini, di tempat yang seharusnya menjadi hari paling bahagia dalam hidupnya. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, menahan emosi yang bercampur aduk.
Jacob, yang selama ini tampak tenang, kini mengeraskan rahangnya. Tangannya mengepal, urat-urat di tangannya tampak menonjol. "Siapa yang kau bilang penghianat, bajingan?" suaranya menggelegar, penuh amarah yang siap meledak. Suasana semakin tegang, di ambang pertengkaran besar. Aroma bahaya memenuhi ruangan.
Angelo mau jg nkah sm max.....aws aja kl max ky sng mntan yg bjingn....
Laahhh.....janet mlh ktmu mntan...bkln gelut ga y????🤔🤔🤔
tmbh lg trauma msa lalu,pst bkin dia mkin down....mga aja max bsa bkin dia lbh smngt.....
lgian,udh ada ank sndri knp mlah adopsi????sukur2 kl ga iri pas udh dwsa,kl iri kn mlah bhya....
jgn blng kl goerge d jbak skretarisnya pke ssuatu,trs dia tau dn nyri istrinya????
tp mmdingn gt sih,drpd jd skandal....
kl angelo nkah sm max,brrti janet jd adik ipar....tp kn janet bkln nkah sm jacob,pdhl jacob pmannya angelo....
🤔🤔🤔
ppet trs smp angelo brsdia buat nkah sm max.....