Viola yang punya sebuah butik baju cukup besar dan ternama, harus menikah dengan Arga Bagaskara. pemuda berusia 18 tahun yang masih duduk di bangku SMA kelas akhir itu.
Viola mengabaikan kehadiran sang suami, karena berpikir Arga masih bocah dah belum dewasa.
bagaimana kisah selanjutnya, ikuti terus ya kisah mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chustnoel chofa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 24
Arga memarkir sedan hijau metalik di halaman berkerikil sekolah mekanik, tepat di bawah rindang pohon trembesi. Begitu mesin dimatikan, ia menghela napas panjang. “Satu semester lagi… habis itu bebas,” gumamnya, mencoba menyemangati diri. Sejujurnya, sejak menikah, ruang kelas terasa seperti lorong waktu yang berjalan lambat; pikirannya terus saja tertarik pada bayangan bengkel dan Viola.
Ia baru membuka pintu ketika sebuah suara tajam memanggil dari samping.
“Arga! ”
Seorang gadis berambut lurus sepunggung—berponi rapi, kemeja putih dimasukkan ke rok pensil hitam—mengejar langkahnya. Celine. Mantan pacar yang, sampai detik ini, masih sulit dibedakan apakah ia bekas kekasih, bekas teman, atau sekadar bekas kenalan yang belum rela jadi kenangan.
Celine berhenti di depan mobil, matanya membesar. “Kamu bawa mobil? Serius? Sejak kapan kamu beli mobil baru?” Nada suaranya campuran kagum dan selidik.
Arga mendesah, menutup pintu agak keras. “Pagi, Celine,” sapanya datar, menghindari kontak mata. Ia mengangkat tas ransel ke pundak. “Nggak, ini bukan mobil baruku.”
Celine menyilangkan tangan, alisnya terangkat. “Lalu? Pinjam? Kok bisa‑bisanya kamu muncul bawa sedan begini? Dulu naik motor bebek saja sudah syukur, ingat nggak?”
“Masih ingat, kok,” balas Arga singkat. Ia menoleh sekilas, mempertimbangkan untuk langsung pergi, namun akhirnya berhenti. “Mobil ini milik istriku.”
Kata “istriku” meluncur dengan nada tegas—sengaja ia tekankan.
Celine membelalak, seolah mencoba mencerna informasi baru. “Istri? Jadi… kamu sudah menikah?” Bibirnya tercekat setengah detik, lalu tiba‑tiba tersenyum miring. “Wah, cepat juga. Siapa perempuan yang beruntung itu?”
Arga melepas napas pelan, kesabarannya terkikis. “Namanya Viola. Dan iya, kami menikah beberapa bulan lalu. Sekarang, kalau kamu maaf, aku harus masuk. Ada briefing pra‑ujian.”
Celine melangkah setengah menghalangi. “Arg, aku cuma tanya, kok. Nggak boleh? Kita kan pernah dekat. Aku penasaran saja, kamu jadi sukses tiba‑tiba.”
Arga menatapnya, kali ini tanpa topeng. “Kesuksesan orang itu urusannya sendiri, Cel. Aku kerja keras, bukan ‘tiba‑tiba’. Dan mobil ini…” Ia menepuk kap dengan ujung jari, “…hasil tabungan istriku. Aku bangga padanya, seperti dia bangga padaku. Selesai?”
Nada dinginnya menggantung di udara. Celine menggigit bibir, kelihatan tersentil. “Ya sudah,” ujarnya, mencoba santai. “Selamat, deh. Semoga langgeng.”
“Terima kasih. Aku juga doakan yang terbaik buatmu.” Arga menunduk singkat, lalu berjalan melewati Celine tanpa menoleh lagi.
Celine berdiri terpaku, menyaksikan Arga menjauh ke arah gedung teori. Sekilas, ia tampak hendak memanggil lagi, namun kata‑kata urung terucap. Ia akhirnya berbalik, melangkah ke parkiran motor dengan helaan napas berat.
Arga sendiri melaju cepat menaiki tangga. Di setiap anak tangga, ia ulangi mantra kecil: “Satu ujian lagi. Habis itu fokus bengkel, fokus Viola.” Jantungnya terasa ringan setelah percakapan singkat namun tegas barusan. Ia sadar, menutup bab lama memang tidak selalu nyaman—tapi menatap masa depan bersama Viola jauh lebih penting daripada menengok bayangan semalam.
**
**
Ruang kerja di lantai dua butik sebetulnya menenangkan—dinding warna sage, rak mood‑board penuh potongan majalah mode, dan jendela besar yang menatap deretan angsana di trotoar. Namun bagi Viola pagi itu, seluruh ruang terasa seperti layar kosong yang menunggu ia coret kata “Arga” di setiap sudutnya.
Pensil mekanik terselip di antara jari, berhenti di tengah garis leher rancangan gaun. Sejak setengah jam lalu, tak satu sketsa pun rampung; alih‑alih, lembar kertas dipenuhi goresan hati berbentuk awan, mobil, bahkan stiker imajiner bertulisan “Ekstra pangsit goreng”.
Viola merapatkan pundak, pipi kiri disenderkan ke telapak tangan. Bibirnya terangkat pelan. Ia teringat cara Arga menepuk kantong celananya—“Ekstra pangsit, dicatat”—dan geli sendiri.
Pintu digeser. Risa melangkah masuk sambil menenteng gulungan kain linen plum. “Selamat pagi, Queen V—eh?” Ia berhenti, tersenyum geli. “Waduh, ini tampaknya bukan Viola, melainkan hologram istri yang lagi buffering.”
Viola terkesiap. “Hah? Apa?” Ia buru‑buru menegakkan badan, tangan menindih kertas agar coretan hati tak terbaca. “Maaf, tadi… aku cuma mikir motif bordir.”
“Motif bordir berbentuk awan dan tulisan ‘pangsit goreng’?” Risa meletakkan gulungan di meja, mencondongkan badan mencontek sketsa. “Hmm, konsep haute cuisine couture—menarik!”
Viola menampar pelan lengan sahabatnya. “Ih, jangan kepo!”
“Lho, aku cuma observasi. Bosku ini lagi jatuh cinta akut, ya?” goda Risa, menaik‑turunkan alis. “Sejak tadi senyum‑senyum sendiri kayak dapat chat rahasia.”
Viola menghela napas, tak sanggup menyangkal. "jangan menggoda aku."
Risa duduk di kursi seberang, menopang dagu. “Itu aneh? Yang aneh kalau menikah tapi nggak kebayang‑bayang,” tukasnya lembut. “Tapi coba diatur. Ingat, kita punya tenggat klien gaun lamaran minggu depan.”
Viola meringis, menepuk tumpukan pola kertas. “Aku tahu, aku tahu. Otakku aja yang bandel.” Ia menepis udara seakan mengusir pikiran, lalu mengambil pensil warna. “Oke, mulai sekarang fokus. Kamu bantu pilih palet tone emerald buat kebaya, ya?"
"Siap."
Viola mendongak, matanya membesar senang. “Ide bagus! Arga pasti sok protes, tapi aku tahu dia diam‑diam suka.”
Risa bertepuk tangan pelan. “Nah, energi cinta tersalurkan untuk produktivitas. Win‑win.”
Mereka tertawa serempak. Dan meski pipi Viola masih semburat merah muda setiap kali nama Arga terlintas, pensil di jemarinya kini bergerak mantap menuntaskan garis kerah cheongsam—membuktikan bahwa inspirasi terbaik memang kerap datang dari getaran hati paling sederhana.
Bersambung
ga itu karena kamu masih sekolah sedangkan istri lo dah mempan jadi kaya ada jembatan
coba kamu biarpun dah sekolah ada bisnis sukses lulus sekolah ga ada tuh jembatan" ,
jadi dhani Thor yg bikin Vi trauma
aihhh cembukur ini mah tapi gengsi mengakui
tapi yg di bilang betul jg sama aja selingkuh kah dah nikah
adakah sesuatu
aihhh penasaran