para mahasiswa dari Institut Seni Indonesia tengah melakukan projek pembuatan filem dokumenter ke sebuah desa terpencil. Namun hal tak terduga terjadi saat salah satu dari mereka hilang di bawa mahluk ghoib.
Demi menyelamatkan teman mereka, mereka harus melintasi batas antara dunia nyata dan alam ghoib. Mereka harus menghadapi rintangan yang tidak terduga, teror yang menakutkan, dan bahaya yang mengancam jiwa. Nyawa mereka menjadi taruhan dalam misi penyelamatan ini.
Tapi, apakah mereka sanggup membawa kembali teman mereka dari cengkeraman kekuatan ghoib? Atau apakah mereka akan terjebak selamanya di alam ghoib yang menakutkan? Misi penyelamatan ini menjadi sebuah perjalanan yang penuh dengan misteri, dan bahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 05
Udara dingin malam menusuk tulang, kegelapan yang pekat seakan menjadi entitas tersendiri, menyelimuti Daffa dan Fahri. Visi mereka terbatas, hanya cahaya senter yang menjadi penuntun di tengah kegelapan mencekam.
"Sudahlah, kita masuk saja! Gak ada apa-apa juga kok," ajak Fahri, suaranya sedikit gemetar, berbeda dari sikapnya yang biasanya berani. Ketakutan yang tersembunyi di balik sikapnya yang biasanya gagah kini terlihat jelas. Namun, Daffa tetap teguh pada niatnya.
Mereka telah melangkah jauh dari rumah, cahaya senter menerangi pepohonan di halaman rumah, bayangan-bayangan aneh bermunculan, menambah rasa takut yang semakin menggelayut.
Tiba-tiba, alunan gamelan mengalun dari dalam rumah, suara yang tak terduga di tengah keheningan malam. Fahri tersentak, kesal dan ketakutan bercampur aduk.Ia berjalan kembali ke dalam rumah.
"Sudahlah, Queen, Wati! Jangan bercanda tengah malam gini!" teriaknya, suaranya dipenuhi kekesalan. "Gak lucu, tau! gue capek nih!"
"Apa sih, Fahri... Kukira lu yang memainin musik itu!" Queen dan Wati muncul dari balik pintu kamar, suara mereka terdengar terkejut.
Fahri dan Daffa terperangah. Mereka mengarahkan cahaya senter ke arah gamelan, tapi tak ada seorang pun di sana. Keheningan kembali menyelimuti, hanya alunan gamelan yang masih bergema samar-samar.
"Ayo!" ajak Daffa, suaranya tegas, mencoba mengusir rasa takut yang mulai merayap.
Mereka meninggalkan ruangan itu, langkah kaki mereka bergema pelan di lorong. Di ambang pintu, Daffa berhenti, telinganya menangkap suara tangisan dengan jelas.
"Lu dengar?" tanyanya.
Fahri mencoba mendengarkan dengan saksama. "Ya... serius? Ya... ya... gue dengar."
Mereka kembali melangkah ke luar, cahaya senter Daffa menjelajahi kegelapan, mencari sumber suara tangisan itu. Pohon-pohon kecil mengelilingi rumah, bayangan-bayangan aneh bermunculan di antara dedaunan.
"Astaghfirullah!" Seruan Fahri memecah kesunyian.
Ia menjatuhkan cahaya ponselnya, bersembunyi di balik Daffa. Sosok yang dilihatnya baru saja membuatnya ketakutan setengah mati. Sebelumnya, ia selalu menyangkal keberadaan setan, tapi kini...
Di antara pepohonan, sesosok nenek tua muncul. Ia mengenakan kebaya merah dan kain jarik, rambut putihnya yang kusut menutupi sebagian wajahnya. Tatapan matanya tajam, menusuk ke arah Fahri, menciptakan aura dingin yang mencekam. Sosok itu menghilang begitu cepat di balik pepohonan.
"Lu kenapa?" tanya Daffa, kebingungan melihat perubahan sikap Fahri yang tiba-tiba.
"Pulang aja yuk..." jawab Fahri, suaranya masih gemetar.
Tiba-tiba, Pak Parno muncul dari balik pohon, "Kalian sedang apa?" Suaranya membuat mereka berdua tersentak kaget.
Daffa mencoba menjelaskan, "Tidak ada apa-apa, Pak. Tadi kami mendengar suara tangisan perempuan. Para wanita meminta kami untuk memeriksa."
Pak Parno mengangguk, "Mungkin suara tetangga. Sudahlah, kembali ke kamar kalian. Masih malam."
Mereka mengangguk, bergegas kembali ke dalam rumah, meninggalkan kegelapan yang terasa semakin mencekam. Fahri masih gemetar, langkahnya berat, setiap langkah seakan menggemakan detak jantungnya yang berdebar kencang. Percaya atau tidak? Pertanyaan itu terus menghantuinya, bayangan makhluk halus tadi masih terpatri jelas di benaknya, mencengkeram pikirannya dengan erat.
"Ah, mungkin tadi hanya nenek-nenek lagi lewat aja. Lagian, gak ada serem-seremnya juga!" gumamnya, mencoba meyakinkan diri sendiri, suaranya terdengar sedikit gemetar, mencoba menutupi rasa takut yang masih membayangi.
Ia berusaha keras menepis penglihatannya barusan, menyangkal apa yang baru saja dilihatnya. Sikap keras kepala Fahri muncul lagi, menolak mengakui sesuatu yang menurutnya tak masuk akal. Namun, di balik penyangkalannya, seutas keraguan kecil mulai menggeliat, mengintip dari balik tembok penolakannya.
------
Mentari belum sepenuhnya menyapa, namun Queen sudah terbangun. Ia berjalan menuju kamar mandi di belakang rumah, sebuah bangunan terpisah yang mengharuskannya melewati kegelapan pagi. Udara dingin menusuk kulit, kabut tipis menyelimuti halaman, membuat segalanya tampak samar. Langkah kakinya melewati kamar Daffa.
“Kreek.” Suara pintu berderit memecah kesunyian. Queen menoleh.
“Queen, lu udah bangun?” Suara Daffa, muncul dari balik pintu, mengejutkannya.
Queen tertegun. “Wah… lu… nyapa gue?” Ia mengangguk-angguk tak percaya.
Queen dan Daffa, satu jurusan, satu kelas, namun selama ini bagai dua dunia yang tak pernah bersentuhan. Daffa, mahasiswa berprestasi yang dikenal pendiam, hanya berbicara jika benar-benar perlu. Keheningan pagi ini, ditembus oleh sapaan tak terduga, membuat pertemuan singkat mereka terasa istimewa, sebuah awal yang tak terduga.
Daffa mengerutkan dahi, sedikit bingung dengan ucapan Queen. Ia mengusap tengkuknya, jari-jarinya terasa sedikit kaku.
"Emangnya ada apa sih?" tanyanya, suaranya terdengar masih penasaran.
Queen menggeleng, senyum tipis mengembang di bibirnya.
"Lu ingat gak, kapan terakhir kali lu negur gue? Bahkan, kita nggak pernah bertemu pandang di kelas. Lu selalu menunduk, menatap buku elu."
Daffa mengusap rambutnya, seakan mencoba meredakan kebingungannya sendiri. "Masa sih? Maaf, gue emang kalau lagi fokus suka nggak perhatikan sekitar."
Seketika, Daffa menahan tawanya, tangannya menutupi mulutnya, bahu bergetar menahan geli.
"Kenapa lu ketawa?!" tanya Queen, suaranya terdengar sedikit kesal.
Daffa tak mampu lagi menahan tawanya. Melihat rambut Queen yang acak-acakan seperti sarang burung, ia tertawa lepas. Rambut pixie Queen yang pendek, saat bangun tidur memang selalu terlihat seperti terkena puting beliung.
"Itu… rambut apa sarang burung," Daffa mencoba berkata di antara tawanya, suaranya terdengar tertahan, namun matanya berbinar-binar.
Queen cemberut, segera menutupi rambutnya yang acak-acakan dengan handuk. Pipinya merona.
"Ternyata lu bisa ketawa juga ya," ujarnya, suaranya sedikit terbata, "Cakep juga lu kalau ketawa…"
Matanya melotot, seakan baru menyadari ucapannya sendiri. Ia menutup mulutnya dengan tangan, kemudian berlari ke belakang, meninggalkan Daffa yang terpaku di tempat.
Daffa terdiam sesaat, celingukan, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Namun, sebuah senyum tipis, senyum yang tak pernah ia sadari sebelumnya, muncul di bibirnya. Ia menggeleng pelan, sebuah perasaan hangat memenuhi dadanya.
Mentari pagi menyinari pendopo, menyinari Arjuna dan Wati yang tengah bersiap untuk latihan Reading. Arin, sang sutradara, berdiri tegak di hadapan mereka, tatapannya tajam, menilai kesiapan kedua aktornya.
"ACTION! " suara Arin bergema.
Wati memulai dialognya, "Mas… aku sangat merindukanmu! Akhirnya, setelah sekian lama, kita bisa bertemu juga." Suaranya terdengar lembut, namun kurang bertenaga.
Arjuna membalas, "Iya sayang, aku sangat rindu padamu!" Suaranya datar, tanpa emosi.
Keduanya saling mendekat, berpelukan, pelukan yang terasa hambar, tanpa kehangatan.
"Cut!!" Arin menghentikan adegan tersebut. Kekecewaan tergambar jelas di wajahnya.
"Apa ini?! Setelah sekian lama latihan, hanya begini hasilnya? Kalian datar banget! Ini kisah tentang sepasang kekasih yang terpisah jarak, harus ada kebahagiaan, harus ada haru! Ekspresinya harus hidup!"
Arin berbicara panjang lebar, suaranya meninggi, mencoba menjelaskan dengan sabar. Namun, kecemasannya tampak jelas.
Ia menunjuk Arjuna, "Ini… apa? Datar banget! Gak ada ekspresi!" Suaranya bergetar.
BERSAMBUNG....