Demi menghindari perjodohan, Cakra nekat kabur ke sebuah vila- milik keluarga sahabatnya yang terletak di daerah pelosok Bandung.
Namun, takdir malah mempertemukannya dengan seorang gadis dengan kondisi tubuh yang tidak sempurna bernama Hanum.
Terdesak karena keberadaannya yang sudah diketahui, Cakra pun meminta pada Hanum untuk menikah dengannya, supaya orang tuanya tak ada alasan lagi untuk terus memaksa menjodohkannya.
Hanum sendiri hanyalah seorang gadis yatim piatu yang sangat membutuhkan sosok seorang pelindung. Maka, Hanum tidak bisa menolak saat pria itu menawarkan sebuah pernikahan dan berjanji akan mencintainya.
Lalu, apa yang akan Cakra lakukan saat ia mengetahui bahwa perempuan yang akan di jodohkan dengannya itu adalah sosok yang ia cintai di masa lalu?
Lantas bagaimana nasib Hanum kedepannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tinta Hitam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menjenguk
"Keadaan papa gimana, sekarang?" tanya Cakra, sesaat setelah panggilannya di angkat oleh Cecilia.
Papa baik-baik aja, kok. Kamu gak usah khawatir. Kalo kamu mau kesini, datang aja. Mama gak bakalan marah lagi.
Cakra menimang, "kalo Cakra ajak Hanum, gapapa?"
Ya gapapa. Justru kakak pengen banget ketemu sama istri kamu. Kamu sih bisa-bisanya belum ngenalin istri kamu itu ke kakak.
Cakra tersenyum kecil mendengar gerutuan kakaknya. "Iya, nanti aku kenalin dia ke kakak. Pasti kakak bakalan suka." Semoga.
Cantik gak? tanya Cecilia yang lebih terdengar seperti menggodanya.
Mengulum senyum, Cakra pun menjawab. "Cantik banget. Lebih cantik dari kakak, malah."
Dih? Gak percaya, kalo belum kamu bawa dia ke hadapan kakak.
Cakra bisa mendengar nada sebal dari ucapan perempuan yang usianya 3 tahun di atasnya itu. Dan Cakra terkekeh dibuatnya.
Cecilia memang tidak suka dibandingkan dengan perempuan lain soal kecantikan, tapi kali ini sepertinya kakaknya itu harus menerima fakta.
"Ya udah, liat aja nanti." Cakra terkekeh. Sebelum akhirnya panggilan itu pun terputus.
"Siapa yang cantik?"
"Astaga!" Cakra terkejut saat tiba-tiba Hanum sudah berada di belakangnya.
"Se-sejak kapan kamu disini?" tanya Cakra gugup. Kenapa pula dirinya harus gugup?
"Sejak kamu bilang cantik-cantik gitu. Siapa yang cantik?" tanya Hanum lagi. Antara penasaran dan ... cemburu kah?
"Itu-" Cakra gelagapan. Kenapa ia malah gugup? Seperti seseorang yang baru saja terciduk selingkuh.
"Siapa sih?" desak Hanum.
Cakra berdeham seraya mengusap-usap jakunnya. "Kalo aku bilang ... itu kamu. Kamu percaya?"
"Maksudnya? ... yang kamu bilang cantik itu, aku?" tanyanya seraya menunjuk dirinya. Hanum tidak ingin terlalu percaya diri, tapi rasa senang itu tak bisa ia kilah.
Cakra pun mengangguk, "iya,"
Hanum mengulum bibir untuk menahan senyumnya.
Perempuan mana yang tidak akan tersipu jika dibilang cantik oleh lawan jenis, apalagi orang itu adalah suaminya sendiri.
"Wajah kamu merah." celetuk Cakra, yang malah menggodanya.
"Engga, kok!" bantahnya sia-sia. Karena tidak tahu harus melakukan apa. Hanum mati kutu.
(Termasuk author yang bingung nyari kata-katanya lagi wkwk)
"Iya, merah. Jelas banget, itu." Cakra makin menjadi.
"Cakra iikh!" kesal Hanum.
Hanum ingin berbalik, tapi reflek Cakra meraih lengannya. Sambil terkekeh ia berkata, "Tunggu, aku mau ngomong."
"Ya ngomong aja." kata Hanum tanpa melihatnya.
Cakra gemas. Tanpa kata dia langsung membopong Hanum, membuat istrinya itu terpekik karena terkejut. Lalu Cakra membawanya ke sofa, menghiraukan kruk Hanum yang tergeletak begitu saja.
Cakra mendudukkan Hanum di pangkuannya. "Cakra!" kesal Hanum bercampur malu, memukul-mukul bahu suaminya. "Turunin!" pintanya.
"Gak. Udah duduk di sini aja. Lebih enak." ucap Cakra enteng, membuat wajah Hanum blushing parah.
Enak? Enak apanya? Kenapa pikiran Hanum jadi kotor begini semenjak banyak berinteraksi dengan Cakra?
"Tapi ... kan berat."
"Gapapa. Seberat apapun kamu. Aku pasti bakalan selalu sanggup berada dibawah kamu." celetuknya.
Hanum melotot. Menatap Cakra ngeri.
"Le-lepasin! Aku mau duduk di sofa aja!" pinta Hanum.
Cakra lantas tertawa melihat ekspresi istrinya yang terlihat ketakutan itu. "Becanda kok. Kamu kok serius banget."
"Candaan kamu nyeremin!"
"Haha maaf, maaf." katanya tanpa berniat menurunkan Hanum.
"Turunin aku dulu." pinta Hanum.
"Gak mau." kekeh Cakra. "Kenapa sih? Padahal nyaman banget, kan, posisi begini?"
Dalam hati Hanum mengiyakan. Tapi kan ..., Tau lah! Hanum pasrah aja.
"Mau ngomong apa? Cepet!" sewotnya.
Cakra mengulum senyum. Senang sekali mengerjai istrinya ini. "Jangan cemberut gitu, dong. Nanti cantiknya ilang,"
"Pa'an sih," ketus Hanum, menahan senyumnya. "Buruan ngomong, kalo enggak turunin aja akunya!"
"Iya iya, ini mau ngomong." Cakra menghentikan kejahilannya. "Nanti sepulang aku kuliah, kita ke rumah sakit ya? Jenguk papa,"
Mendengar ucapan itu Hanum lantas terdiam. Sejujurnya ia belum berani bertemu dengan orang tuanya Cakra, lagi. Hanum masih mengingat bagaimana kasarnya perkataan mereka terhadapnya.
Tapi mau gimana lagi. Bagaimanapun, mereka tetap orang tua Cakra yang otomatis adalah mertuanya. Dan sebagai menantu, dirinya memiliki kewajiban untuk menjenguk papa mertuanya itu.
"Jangan takut. Ada aku." seakan mengerti kekhawatiran istrinya, Cakra pun berucap menenangkan.
"Enggak kok." kilahnya, berusaha tersenyum. Walaupun tampak sia-sia di mata Cakra. "Terus kita harus bawa apa buat jenguk pa-pa?"
Cakra mengangkat satu alisnya. "Emangnya harus?"
"Ya haruslah. Masa kita pergi kesana cuman bawa tangan kosong?"
Cakra tampak berpikir. "Beli parsel buah aja, deh, yang simpel." Hanum pun mengangguk setuju.
Lagian, bawa apa lagi selain parsel buah untuk menjenguk orang yang sedang sakit?
"Oke. Kalo gitu aku berangkat dulu ya. Gapapa, kan, sendirian?" setiap kali ia akan meninggalkan Hanum, rasanya Cakra selalu merasa enggan. Pasti selama dirinya tidak ada, istrinya ini merasa kesepian.
Maka dari itu, sesering mungkin Cakra selalu memberikan pesan pada Hanum melalui WA tanpa sepengetahuan teman-temannya, kecuali Demian.
"Gapapa, kok. Lagian aku nyaman di sini. Kalo bosan aku selalu liat kendaraan dibawah sambil dihitung." katanya meyakinkan, yang malah terdengar polos ditelinga Cakra.
Terkekeh, Cakra pun membalas, "ya udah. Senyamannya aja. Tapi aku akan terus kirim pesan sama kamu. Dan kamu harus balas langsung ya, biar aku gak khawatir." pintanya dan di angguki cepat oleh Hanum.
Setelah sarapan dengan dua helai roti bakar serta susu putih, Cakra pun segera berangkat. Karena waktu ke mata kuliah pertama sudah hampir mepet. Untung saja jarak apartement ke universitas tempatnya belajar tidaklah jauh.
•
•
Pintu ruang rawat VVIP itu terbuka, mengalihkan tiga orang yang berada di sana.
Liliana langsung memalingkan wajah saat mendapati keberadaan putra bersama istrinya itu. Sedangkan Arya yang sedang di suapi makan, menatap datar keduanya.
Cecilia sendiri langsung menyambut keduanya ramah. Saat melihat langsung sosok istri adiknya itu, sejenak Cecilia terpekur melihat keadaan fisiknya. Namun, buru-buru Cecilia menyadarkan diri dan tersenyum hangat pada adik iparnya itu.
Adiknya benar, iparnya ini ternyata sangat cantik, lebih ke imut tepatnya.
"Hanum? Apa kabar? Ternyata kamu beneran cantik seperti yang Cakra bilang," sapanya ramah.
"Ba-baik," jawab Hanum kikuk, sekaligus penasaran. Siapa perempuan ini? Cantik sekali, pikirnya.
Seakan paham dengan kebingungan Hanum, Cecilia pun segera mengulurkan tangannya. "Kenalin, aku Cecilia, kakaknya Cakra, sekaligus kakak ipar kamu."
Hanum mengerjap. Cakra tak pernah bercerita kalau dia memiliki seorang kakak. Atau belum?
"Kenapa? Kok kaget gitu? Cakra gak bilang ya kalau dia punya kakak?"
Hanum reflek mengangguk. Cecilia pun menatap adiknya sebal.
"Maaf, kak. Lupa." ringis Cakra.
"Ya udah gapapa. Yang penting sekarang kita udah kenal. Tapi kita harus kenalan langsung dulu. Nama kamu siapa?" tanya Cecilia, yang malah terlihat random orangnya di mata Hanum.
"Ah ma-maaf, kak. Aku Hanum."Hanum langsung menerima uluran tangan kakak iparnya itu dengan perasaan tidak enak hati.
"Santai aja. Jangan gugup gitu." katanya, lucu sekali melihat ekspresi panik adik iparnya ini. "Aku gak galak kok." lanjutnya berbisik membuat Hanum tertegun.
Sedangkan Cakra hanya geleng-geleng kepala dibuatnya. Perasaannya lega, untungnya saja kakaknya mau menerima keberadaan Hanum.
"Kamu datang kesini ingin menjenguk papa atau hanya mau bicara dengan kakakmu itu?" ucapan Arya langsung mengalihkan perhatian mereka.
Hanum yang baru saja merasakan nyaman, kini dibuat gugup kembali melihat bagaimana pria itu menatapnya dengan tatapan tidak sukanya.
JANGAN LUPA LIKE DAN KOMEN