Arc pertama dari perjalanan seorang pemuda bernama Cassius dalam mencari kekuatan untuk mengungkap misteri keruntuhan kerajaan yang dulu merupakan tempat tinggalnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mooney moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pelatihan oleh Jormund 2
Cassius mengangguk dan memejamkan mata.
Napas pertama—tarik, tahan... buang. Ia merasa pusing, tubuhnya sedikit bergoyang.
Kedua—lebih stabil, tapi hawa dari luar seperti mengacaukan fokusnya.
Ketiga—ia mulai merasakan sesuatu, seperti arus lembut yang mengalir dari pusat tubuhnya.
Keempat—perutnya mulai hangat. Dada terasa lebih lapang. Ia tidak lagi mencoba mengontrol hawa panas yang ada di luar. Sebaliknya, tubuhnya mulai mengeluarkan reaksi yang sejajar dengan panas di sekitarnya.
Vala melirik Jormund dengan pandangan tenang. “Dia mulai menyatu.”
Jormund mengangguk pelan. “Memang belum sempurna. Tapi dia sudah membuka pintu.”
Latihan Keempat adalah Simulasi Bara Hidup.
Jormund mengangkat tangannya. Dari telapak tangannya, muncullah wujud api kecil. Seperti kobaran lilin yang berubah bentuk menjadi makhluk mungil berbetuk bulat, seakan memiliki mata yang menyala seperti bara.
“Fire Wisp,” kata Jormund. “Makhluk kecil ini terbuat dari api spiritual. Ia menyerang hanya ketika ia merasakan ketidakseimbangan energi."
Cassius menatapnya dengan kewaspadaan.
“Jangan kau pikir kau bisa bertarung melawannya. Satu-satunya cara menghindari serangannya... adalah dengan tetap stabil. Kalau energimu goyah, dia akan tahu.”
Wisp mulai terbang, mengitari Cassius. Awalnya hanya pelan, seperti mengamati. Lalu tiba-tiba menyambar. Cassius berteriak pelan, tangannya terkena semburan panas di lengan.
"Jaga napasmu!" seru Vala cepat.
Cassius mengatur kembali napasnya, merasakan pusat tubuhnya. Wisp menyerang lagi, tapi kali ini Cassius tidak menghindar secara fisik. Ia bertahan dengan ketenangan.
Wisp terbang perlahan. Lalu... berhenti menyerang. Ia hanya mengitari Cassius, tampak penasaran. Seperti api yang menjilat lilin, tenang dan tidak melukai.
Dari kejauhan, Mulgur duduk di atas batu besar, menggigit buah aneh berwarna merah cerah yang tampak berair.
"Kalau dia terus begitu, bisa-bisa dia jadi lebih panas dari Vala," celetuknya sambil mengunyah, mulut belepotan cairan buah.
Vala mendengus, menyipitkan mata ke arahnya, tapi ada senyum kecil yang tak ia sembunyikan.
Jormund tertawa pendek, tapi cepat kembali serius. Ia melangkah ke sisi Cassius yang masih duduk tenang.
“Ini harusnya bukan latihan yang akan selesai dalam sehari. Tapi hari ini, kau sudah melangkah lebih jauh dari yang pernah aku harapkan. Besok kita akan ulangi sekali lagi, dan kalau sudah tidak ada masalah kita akan ke tahap berikutnya.”
Matahari mulai meninggi di atas pelataran. Peluh membasahi wajah dan tubuh Cassius. Namun tak ada lelah di mata itu. Hanya rasa ingin tahu yang tumbuh makin dalam.
Dan bagi Jormund, itu adalah pertanda paling penting bahwa api telah mulai menerima cassius.
Dari kejauhan, tampak Mulgur yang sudah tertidur dengan mulut terbuka dan buah yang setengah dimakan masih menempel di pipinya. Suara dengkurannya terdengar aneh, seperti angin yang melewati celah akar.
Jormund berdiri dan mengayunkan tangannya dengan cepat seperti seolah meraih sesuatu di udara. Api di lingkaran pun padam, menyisakan bara arang hangat yang tak lagi memancarkan gelombang panas.
“Baiklah, cukup sekian untuk hari ini.” Ia menatap Cassius dengan tajam, lalu berbalik.
“Sampai saat itu, istirahatlah. Dan ingat-ingat apa yang sudah kau pelajari hari ini.”
Dengan langkah mantap, Jormund berjalan menjauh, bayangannya menyatu dengan cahaya mentari yang mulai berada di atas kepala.
Hari pertama latihan Jormund pun usai dan Cassius tahu, ia belum membakar apa-apa. Tapi dirinya sendiri mulai berubah, sedikit demi sedikit menjadi sesuatu yang lebih dari sebelumnya.
Jormund perlahan berjalan menjauh, tubuh tuanya menyatu dengan bayangan reruntuhan dan asap tipis yang masih mengepul dari bekas lingkaran bara. Suasana latihan menjadi hening, hanya tersisa suara angin lembut dan gelegak uap samar dari tanah yang masih hangat.
Cassius memutar lehernya pelan, sendi-sendi berderak halus. Meski tubuhnya berpeluh dan bajunya menempel ketat karena keringat, matanya masih menyala penuh semangat. Nafasnya kini tenang, tapi di balik ketenangan itu ada dorongan lain, rasa haus untuk memahami lebih dari satu bentuk kekuatan.
Ia melirik ke arah batu besar tempat Mulgur masih tertidur, mulutnya sedikit terbuka dengan bekas buah yang kini sudah mengering di pipi. Sesekali dengkurannya berubah seperti suara kayu lapuk yang digesek, tidak beraturan dan membuat satu-satunya burung yang bertengger di dekatnya terbang kabur.
Cassius berjalan pelan ke arah Mulgur, mencondongkan tubuh, dan dengan suara yang cukup nyaring, tapi masih santun, ia berkata, “Mulgur. Hei, bangun. Aku tahu kau pura-pura tidur.”
Tidak ada respons. Cassius menatap Vala yang kini sedang membersihkan pedangnya dengan kain lembut.
“Dia memang benar-benar tertidur seperti beruang yang hibernasi, atau hanya ingin mengelabuhiku saja?” tanya Cassius sambil menyenggol bahu Mulgur dengan ujung sepatunya.
Vala mendekat sedikit, menyandarkan pedangnya di dinding datar dan menyilangkan tangan. Matanya yang tajam memperhatikan dengan ketertarikan halus.
“Apa kau tak merasa lelah setelah latihan barusan?” tanyanya, nada suaranya tenang tapi sarat rasa ingin tahu.
Cassius menggeleng, lalu menoleh dengan sudut senyum kecil. “Tidak terlalu. Dan aku tidak suka membiarkan janji menggantung terlalu lama.”
Ia menunduk, kali ini menepuk kepala Mulgur dengan sedikit tenaga. “Bangun, Mulgur. Kau pernah berjanji akan mengajarkanku sihir air dan es, ingat?”
Mulgur menggumam pelan, tubuhnya bergoyang sedikit, lalu tiba-tiba duduk tegak dengan wajah dan janggut yang berantakan seperti rumput liar tertiup badai.
“Hah? Apa? Apa sudah berhasil? Atau kau berubah jadi daging panggang?” gumamnya setengah sadar.
“Tidak,” jawab Cassius datar, “tapi aku ingin belajar menenggelamkanmu di dalam sihir yang kau janjikan.”
Mulgur mengedip pelan, lalu menatap wajah Cassius. Beberapa detik lalu matanya akhirnya fokus. “Ah… ya, ya. Sihir air dan es. Kau memang tidak sabaran, ya? Tubuhmu belum cukup dingin, padahal baru saja keluar dari sauna naga.”
Cassius hanya mengangkat alis. “Kalau kau tidak bisa, aku bisa kembali setelah tidur sambil memakan buah dan menyisakannya di mulutku.”
Mulgur mencibir. “Hmph. Kau mengejekku, ya?”
Vala hanya mengamati sambil menghela napas ringan, namun senyumnya kembali muncul sedikit. “Aku tidak tahu kau juga bisa sihir selain Loomb dan teknik berpedang yang kau ceritakan,” ucapnya.
Cassius menjawab tanpa menoleh. “Aku pernah diajarkan sihir dasar oleh ayahku. Tapi yang satu ini… bukan sesuatu yang diajarkan di ruang belajar biasa.”
Mulgur berdiri dengan gerakan malas, lalu meregangkan punggungnya hingga terdengar bunyi retakan seperti batang kayu dipatahkan.
“Baiklah, baiklah. Tapi jangan salahkan aku kalau kepalamu beku atau kau malah berubah jadi manusia air dan es.”
“Selama tidak jadi ikan,” sahut Cassius dengan nada tenang.
“Bisa kuusahakan. Tapi tak janji,” balas Mulgur sambil merapikan bajunya.
Vala yang awalnya hendak pergi, justru memutuskan untuk tetap tinggal, kini duduk di sisi tempat latihan sambil menyilangkan kaki. “Aku ingin lihat sejauh mana seorang manusia bisa menangani elemen yang saling bertolak belakang dalam sehari.”
Cassius tersenyum tipis. “Aku juga ingin tahu itu.”