Diselingkuhi sedih? Sudah tidak jaman! Angkat kepalamu, gadis, mari kita balas dendam.
Betari diselingkuhi oleh kekasih yang dia pacari selama tiga tahun. Alih-alih menangis, dia merencanakan balas dendam. Mantan pacarnya punya ayah duda yang usianya masih cukup muda. Tampan, mapan, dan kelihatannya lebih bertanggungjawab. Jadi, Betari pikir, kalau dia tidak dapat anaknya, dia akan coba merebut ayahnya.
Namun ditengah misi balas dendamnya, Betari justru dikejutkan oleh semesta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Satu Atap Dua Cinta
Mimpi buruk Nando seakan baru dimulai ketika kini Betari berdiri di hadapannya, menyuguhkan wajah datar seolah mereka tidak pernah saling jatuh cinta. Gaun pengantin simpel berwarna putih gading masih melekat di tubuh rampingnya. Di tangannya, buket yang terdiri dari Calla Lily hitam, Gloriosa Lily, dan Waxflower, tampak seperti sedang menantang Nando dengan visualisasinya yang kontras.
“Saya bawa kopernya ke atas dulu.” Itu suara Melvis. Jas hitamnya sudah tidak melekat pas di badan, berpindah ke lengan sedangkan satu tangannya menggeret gagang koper milik Betari.
Nando memperhatikan setiap langkah ayahnya yang semakin lama semakin menjauh, menciptakan jarak yang bukan hanya memakan eksistensinya tetapi juga secara ajaib membuat Nando merasa ditarik mundur dari sisi Betari. Mereka hanya berdua sekarang, berhadapan di ruang tamu dengan jarak tidak lebih dari tiga langkah. Namun, Nando merasa, mereka berada di belahan bumi yang berbeda.
“Aku nggak nyangka sejauh ini usaha kamu buat membalas sakit hati ke aku, Be.” Sekian purnama, Nando angkat bicara. Alangkah lebih baik jika sehabis itu dia temukan Betari goyah dan mengaku. Tertawa pongah penuh kemenangan karena memang sudah berhasil menghancurkan hatinya—berhasil membalas dendam.
Akan tetapi, dada Nando serasa seperti ditusuk belati saat Betari justru tersenyum lembut. Sebuah senyum yang merembet ke matanya. Jenis senyum yang belum pernah Nando lihat seumur hidupnya.
“Kamu ini ngomong apa? Siapa yang sakit hati?” Suara lembutnya justru terasa menusuk Nando tepat di jantungnya. Wajah datarnya menghilang tersapu angin, diganti raut ramah-tamah selayaknya teman baik. “Aku menikah sama papamu karena memang mau, bukan buat membalas sakit hati atau apa pun kayak yang kamu bilang.”
“Bohong.” Nando harap suaranya bisa keluar dengan lantang, tetapi apa daya yang keluar justru seperti rintihan menyedihkan.
“Nando,” Betari maju satu langkah, agak mencondongkan tubuhnya ke depan. “Terserah soal yang lain, tapi aku mau kamu ingat satu hal ini. Kamu itu nggak penting, jadi nggak perlu berpikir kalau semua yang aku lakukan ini ada hubungannya sama kamu. Lagi pula, buat apa aku mengorbankan masa depanku yang cerah cemerlang cuma buat membalas perbuatan hina kamu? Itu sama sekali nggak masuk akal.”
Habis bicara, Betari menegakkan kembali tubuhnya, bibirnya tersenyum makin lebar. “Udah, ya, kita akhiri obrolan nggak berbobot ini. Mulai sekarang, aku harap kita bisa hidup akur sebagai ibu dan anak. Oke?” kata Betari sambil mengulurkan tangan.
Nando memandangi uluran tangan Betari dengan dada yang nyeri. Ibu dan anak? Nando lebih baik tidak pernah melihat Betari lagi seumur hidupnya daripada harus menerima gadis itu sebagai ibu tirinya.
Segala emosi yang berkecamuk di hati Nando membuatnya hilang kendali lagi. Tubuhnya bergerak sendiri tanpa instruksi. Langkahnya terayun lebar menerobos tubuh Betari, menyenggol bahu gadis itu hingga tubuh kecilnya terhuyung. Dia melesat meninggalkan rumah, lagi-lagi tanpa tujuan yang jelas.
Sementara di ujung tangga, Melvis menyaksikan ketegangan itu dalam diam. Tidak terdengar jelas apa yang sedang dibicarakan keduanya. Yang ada di pikirannya, Nando tidak menyukai dirinya menikah lagi dengan Betari karena usia yang terpaut terlalu jauh. Memanggil seseorang yang lebih muda dengan sebutan ibu jelas tidak akan nyaman untuk Nando. Tapi mau bagaimana lagi, semuanya sudah terjadi.
Akhirnya, Melvis melanjutkan langkahnya, menghampiri Betari. “Betari,” panggilnya.
Betari memutar badannya yang tadi terpaku ke arah pintu memandangi kepergian Nando. Kepada Melvis, dia tersenyum lembut. “Ya?” jawabnya.
“Kamarnya udah saya rapikan, silakan kalau kamu mau naik untuk istirahat.”
Betari mengangguk. “Iya,” ucapnya. Dia berjalan ke arah tangga setelah menyerahkan buket bunga ke tangan Melvis.
Di pertengahan tangga, Betari menghentikan langkahnya dan berbalik memandang Melvis yang masih tidak bergerak dari tempatnya. Lelaki itu tampak memandangi buket bunga di tangan, memunggungi dirinya. Betari menggigit bibir bawahnya. Entah apa ini adalah keputusan yang tepat, karena tiba-tiba saja dia malah merasa bersalah kepada Melvis.
Maaf udah melibatkan kamu. Bisiknya di dalam hati, lalu dalam sekali sentakan berbalik dan melanjutkan kembali langkahnya.
...*****...
Gerak-gerik Nando sudah terlihat aneh sejak beberapa hari terakhir, tetapi saat ditanya, dia selalu berkata tidak apa-apa dan langsung mengalihkan pembicaraan. Andara tidak bodoh-bodoh amat. Dia tahu ada sesuatu yang telah terjadi. Nando juga tidak pandai-pandai amat berbohong. Hanya saja, Andara tidak ingin mengubah image polos dan baik hati di depan Nando dengan mendadak cerewet bertanya ini itu, jadi meskipun geregetan, dia tetap mencoba sekuat tenaga menahan diri.
“Minggu depan aku harus periksa lagi ke dokter, kamu bisa anterin kan?” tanyanya berusaha mencuri perhatian Nando. Sejak datang ke rumahnya tadi siang, kekasihnya itu lebih banyak diam dan tampak merenung. Beberapa kali Andara sampai harus mengulangi kalimatnya karena Nando tampak tidak memperhatikan.
“Iya.” Nando menjawab disertai senyum yang dipaksakan.
Andara pura-pura buta, berlagak tidak tahu kalau Nando sedang mencoba memanipulasi emosinya sendiri. Dengan tenang, dia duduk di samping Nando, meraih tangannya, menuntunnya ke perutnya yang masih rata.
“Aku nggak sabar buat bisa ngerasain dia bergerak nanti,” ucapnya. Kalau sudah membicarakan soal kehamilan, matanya jadi berbinar-binar.
Tangan Nando terasa hangat di perutnya, tetapi tidak seperti biasanya, tidak ada usapan kecil yang dia terima. Sekali lagi, Andara berusaha mengabaikannya dan berlagak baik-baik aja.
“Oh, ya, aku juga udah siapin beberapa nama loh. Kamu mau lihat, nggak?” tanyanya antusias.
Lagi-lagi Andara menemukan Nando memaksakan senyum sambil menganggukkan kepala. Gemas sebenarnya, tetapi dia berusaha tetap kalem ketika mengeluarkan ponsel dan menyuguhkan beberapa nama di dalam catatan ponselnya.
“Kalau kamu punya opsi lain, tulis aja di situ. Nanti kita diskusiin lagi,” katanya lagi.
Nando iya-iya saja. Matanya sih tampak sibuk menatap layar ponsel Andara. Meski sebenarnya dia tidak benar-benar membaca apa yang tertulis di sana. Pikirannya justru kembali sibuk memikirkan soal Betari dan ayahnya. Dulu, dia sering membayangkan untuk tinggal satu atap dengan gadis itu. Membuka mata dengan melihat wajah cantiknya, menutup mata juga sambil mengucapkan selamat malam padanya. Sekarang semuanya terwujud, tapi dengan situasi yang berbeda.
Kemunculan Betari yang menginvasi pikirannya telah tanpa sadar membuat Nando kembali emosional. Dia menggenggam erat ponsel Andara sampai tombol power tertekan dan layar ponsel seketika redup. Giginya bergemeletuk kuat. Tenggorokannya lagi-lagi tercekat.
“Nando, kamu kenapa?” Lengannya terasa digoyang, Nando menarik kesadaran dan buru-buru memeriksa Andara. Netra gadis itu menatapnya penuh khawatir, membuat dadanya semakin terluka.
“Maaf, pikiran aku lagi agak kacau.” Ponsel Andara dikembalikan kepada sang empunya, lalu dia bangkit dari sofa. “Kayaknya aku butuh waktu buat sendiri dulu. Nanti kalau udah tenang, kita ngobrol lagi ya soal ini.”
Rasanya Andara ingin berteriak persis di depan muka Nando. Dia ingin memuntahkan segala amarahnya, membalikkan meja, menendang sofa, mengacak-acak semua yang ada di hadapannya. Tetapi sebagai gantinya, dia hanya bisa mengangguk patuh dan terpaksa tersenyum.
“Iya, aku ngerti. Take your time, aku siap nunggu sampai perasaan kamu membaik.”
Sialan, pasti gara-gara Betari lagi. Aku nggak bisa diam aja. Padahal sebelumnya, Andara pikir dia sudah berhasil merebut hati Nando sepenuhnya.
.
.
.
Bersambung.