"Syukurlah kau sudah bangun,"
"K-ka-kamu siapa? Ini… di mana?"
"Tenang dulu, oke? Aku nggak akan menyakitimu.”
Ellisa memeluk erat jas yang tadi diselimuti ke tubuhnya, menarik kain itu lebih rapat untuk menutupi tubuhnya yang menggigil.
"Ha-- Hachiiih!!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
dari Alana
Panggilan telepon dari Alana, adiknya, membuatnya sedikit heran. Nadanya terdengar mendesak.
"Sam! Kamu sibuk banget, ya? Sampai-sampai aku nggak penting lagi buat kamu?" suara Alana terdengar di ujung telepon.
Sam menghela napas panjang. "Alana, ngomong apa sih kamu? Aku lagi banyak kerjaan. Ada apa ini?"
Alana tidak langsung menjawab. Napasnya terdengar tersengal, seperti menahan amarah. "Kepala sekolah minta kamu datang ke sekolah aku. Kenapa kamu nggak dateng juga?!"
Sam mengernyit. "Masalah apa lagi sekarang, Alana? Kamu bikin masalah apa?!"
Alana mendengus. "Pokoknya kakak dipanggil pak kepala sekolah. Titik."
"Alana, aku udah fasilitasi apa yang kamu mau tapi kamu selalu bertindak sesukamu. Sekarang kakak yang harus bertanggung jawab atas sikapmu!" suara Sam meninggi.
"Udah, kak. Aku nggak mau dengerin ceramah kamu. Pokoknya kakak harus datang ke sekolah."
"Alana!" Sam memotong dengan suara keras, membuat Alana terdiam.
Sebelum Sam sempat berkata lebih jauh, Alana kembali bersuara, "Surat dari kepala sekolah udah aku titipin ke Ellisa beberapa hari lalu. Tapi kamu nggak peduli, kan? Kamu terlalu sibuk sama kerjaan atau mungkin sama dia!"
Sam terdiam sejenak, mencoba meredam emosi yang mulai memuncak. "Kenapa nggak kamu kasih langsung ke aku?"
"Karena kamu nggak pernah ada di rumah, Sam! Aku juga punya batas sabar, tahu!"
Telepon terputus tiba-tiba, meninggalkan Sam dalam diam. Dia mengusap wajahnya dengan kasar, frustasi dengan situasi yang semakin rumit.
"Ellie," panggilnya saat kembali ke kamarnya, di mana Ellisa sedang menyeruput coklat hangatnya.
Ellisa menoleh, melihat ekspresi serius Sam. "Ada apa, Kak?"
"Kamu nerima surat dari Alana, nggak?"
Ellisa mengangguk pelan. "Iya, aku nerima. Tapi kamu tahu kan, kamu nggak pulang ke rumah. Jadi, aku simpen di meja kerja kamu." Ellisa mengambilkannya.
Sam menghela napas, menahan rasa bersalah yang mulai muncul. "Aku nggak lihat. Aku terlalu fokus sama urusan kantor."
"Maaf ya kak, harusnya aku memberitahumu lebih awal," ucap Ellisa, khawatir.
"Nggak papa, Ellie. Akunya yang terlalu sibuk. Sekarang aku harus ke sekolah Alana."
Sam menggerutu sepanjang persiapannya. "Alana selalu saja bikin masalah. Kepala sekolah sampai memanggilku beberapa kali. Aku bener-bener nggak habis pikir sama dia."
Ellisa mendekat, "Kak, mungkin Alana nggak sepenuhnya salah. Dia cuma—"
"Ellie, jangan belain dia!" potong Sam dengan nada tinggi. "Dia itu selalu nyusahin aku! Bukannya fokus sekolah, malah sibuk cari masalah!"
Ellisa terkejut dengan nada bentakan itu. "Tapi, Kak, Alana itu masih muda. Wajar kalau dia bikin kesalahan. Yang penting, kamu coba dengar alasan dia dulu."
Sam menggeleng dengan frustrasi. "Kamu nggak ngerti, Ellie. Dia itu nggak pernah belajar dari kesalahan. Aku capek terus-terusan harus ngurusin dia."
"Tapi kamu kan kakaknya, Kak. Kalau bukan kamu yang sabar sama dia, siapa lagi?"
"Ellie, cukup! Aku nggak butuh nasehat soal gimana caranya jadi kakak!" bentak Sam lagi, kali ini lebih keras.
Ellisa terdiam, menunduk, dan meremas ujung bajunya dengan canggung. "Aku cuma nggak mau kalian terus bertengkar. Aku tahu kamu sayang sama Alana, tapi mungkin cara kamu menunjukkannya terlalu keras untuk dia."
Sam menatap Ellisa dengan tajam, tapi perlahan sorot matanya melunak. Dia mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba meredam amarahnya.
"Maaf, Ellie," gumam Sam akhirnya. "Aku nggak bermaksud bentak kamu."
Ellisa tersenyum tipis.
"Maafin aku ya," ucap Sam lirih sambil menarik Ellisa ke dalam pelukannya. Rasa bersalah jelas terpancar di wajahnya, meski nada suaranya masih menyimpan sisa emosi yang sulit ia kendalikan.
"Kamu tahu, Kak? Waktu itu Alana datang membawa surat itu, tapi dia nggak kelihatan marah sama sekali."
Sam menatap Ellisa bingung. "Maksud kamu?"
"Dia pulang ke rumah sambil membawa makanan dan mainan buat Elmira," jelas Ellisa. "Lalu dia bilang, 'kasih surat ini ke Kak Sam,' sambil senyum. Dia terlihat seperti mengerti kalau kakaknya sedang sibuk."
Sam mendengus sinis. "Dia paling cuma nyogok kamu, Ellie."
Ellisa menggeleng pelan, tak sepakat dengan pernyataan itu. "Nyogok? Aku nggak mikir sejauh itu, Kak."
"Itu karena kamu terlalu baik, Ellie," balas Sam dengan nada yang masih menyimpan skeptisisme. "Kamu nggak punya pikiran buruk sama sekali, jadi gampang percaya."
Ellisa menatap Sam, "Kak, jangan bilang begitu. Alana itu adik kamu. Mungkin dia nggak selalu benar, tapi aku yakin dia nggak bermaksud buruk."
Sam mendesah panjang, "Iya, iya, oke. Kamu benar. Aku cuma... kadang nggak tahu gimana cara menghadapi dia. Rasanya setiap hal kecil yang dia lakukan bikin aku marah."
Ellisa terkekeh kecil, lalu melanjutkan ceritanya. "Waktu itu Alana sempat main sama Elmira. Dia juga cerita banyak tentang teman-temannya. Katanya, dia lagi belajar bikin lukisan untuk acara sekolah. Dia bahkan nunjukin sketsa kecil yang dia bawa di bukunya."
"Lukisan?" Sam mengernyitkan dahi, tak menyangka. "Dia nggak pernah bilang apa-apa soal itu ke aku."
"Kadang dia merasa nggak cukup baik di mata kamu. Tapi, sebenarnya dia cuma butuh sedikit perhatian."
Sam terdiam, mencerna kata-kata Ellisa. "Kalau begitu, mungkin aku harus mulai belajar lebih sabar sama dia."
"Alana bilang, dia rindu dengan suasana keluarga," kata Ellisa pelan. "Dia senang bermain dengan Elmira dan berbagi cerita denganku."
Sam merasa tersentuh. "Kamu benar-benar bisa memahami perasaannya ya, Ellie," katanya dengan suara lembut.
"Um," Ellisa mengangguk kecil, "Mungkin karena kita sama-sama tidak punya keluarga," ujarnya dengan suara rendah, hampir seperti bisikan.
Kata-kata itu menghantam Sam tepat di hatinya. Dia menatap Ellisa, yang kini terlihat kecil dan rapuh, tenggelam dalam pikirannya sendiri. "Ellie," Sam memanggil namanya perlahan.
Ellisa mengangkat wajahnya, dan mata mereka bertemu. Ada rasa kehilangan yang mendalam di matanya, dan Sam tahu bahwa luka itu lebih dalam dari yang pernah dia duga.
"Jangan sedih," kata Sam sambil mencium kening Ellisa. Sentuhannya hangat, penuh dengan ketulusan. "Kita sekarang kan keluarga."
"Tapi..." Ellisa berbisik, "Aku kadang masih merasa asing di sini. Seperti aku cuma numpang."
Sam menggeleng, menepis pikiran itu dari udara di antara mereka. "Ellie, kamu bukan numpang. Kamu adalah bagian dari kami. Kamu penting. Aku akan berusaha untuk menyayangi kalian semua sebagai sebuah keluarga."
Ellisa terdiam sejenak, air mata menggenang di sudut matanya. "Kamu yakin bisa, Kak? Kadang aku lihat kamu sendiri juga kesulitan menghadapi semua ini."
"Aku nggak pernah bilang ini mudah," jawab Sam jujur. "Tapi aku akan belajar. Aku akan berusaha lebih keras. Untuk kamu, untuk Elmira, dan bahkan untuk Alana. Kita ini keluarga, Ellie. Dan aku nggak akan biarkan kamu merasa sendirian lagi."
Perkataan itu membuat hati Ellisa sedikit lebih ringan. Senyum kecil mulai terbentuk di wajahnya. "Terima kasih, Kak."
Sam mengusap puncak kepala Ellisa dengan lembut, mencoba menghapus sisa kesedihan dari wajahnya. "Kita keluarga. Keluarga saling dukung, kan? Mulai sekarang, kita akan jalani bareng-bareng."
Ellisa mengangguk,
BTW gantian ke cerita ku ya Thor. Poppen. Like dn komen kalo bs. /Grin/