Kayanara tidak tahu kalau kesediaannya menemui Janu ternyata akan menghasilkan misi baru: menaklukkan Narendra si bocah kematian yang doyan tantrum dan banyak tingkahnya.
Berbekal dukungan dari Michelle, sahabat baiknya, Kayanara maju tak gentar mengatur siasat untuk membuat Narendra bertekuk lutut.
Tetapi masalahnya, level ketantruman Narendra ternyata jauh sekali dari bayangan Kayanara. Selain itu, semakin jauh dia mengenal anak itu, Kayanara semakin merasa jalannya untuk bisa masuk ke dalam hidupnya justru semakin jauh.
Lantas, apakah Kayanara akan menyerah di tengah jalan, atau maju terus pantang mundur sampai Narendra berhasil takluk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 9
Chat yang tak kunjung dibalas membuat Janu gelisah. Berkali-kali dia mengecek ponselnya, hanya untuk melenguh kecewa saat notifikasi yang muncul bukan dari Kayanara.
"Duh, apa ada salah ngomong ya?" gumamnya. Mulai overthinking tentang obrolan mereka selama perjalanan pulang.
Belum genap seminggu mereka kenal dan Janu sudah banyak sekali membeberkan soal dirinya dan anak-anaknya—terutama Narendra—kepada perempuan itu. Janu hanya takut Kayanara merasa tidak nyaman.
Ini juga agak aneh sebenarnya. Karena dengan perempuan-perempuan lain sebelum Kayanara, dia tidak pernah seterbuka ini soal kehidupan pribadinya. Dia hanya merasa Kayanara memiliki medan magnet yang kuat, membuatnya secara alami mencurahkan isi kepala tanpa banyak pertimbangan. Netra serupa kacang almond milik perempuan itu seperti mengandung daya magis. Membuatnya tak bisa lepas, justru menenggelamkannya makin dalam.
"Hah...." Janu membuang napas dengan begitu dramatis. Ponsel yang dayanya bahkan sampai dia jaga agar tidak habis, berakhir dia relakan masuk ke laci nakas. Waktu telah menunjuk pukul 12 tepat, sudah waktunya dia beristirahat.
Ketika tubuhnya hampir menemukan posisi rebah yang nyaman, pintu kamarnya terbuka perlahan. Narendra muncul dari sana dengan muka bantal, memeluk guling kesayangannya erat-erat, berjalan gontai menghampirinya.
Tanpa permisi, anak itu kemudian naik ke kasur, membuat Janu mau tak mau menggeser tubuhnya agar si bungsu bisa ikut berbaring. Lalu tanpa mengucap sepatah kata apa pun, anak itu memeluknya posesif, ndusel di keteknya seperti anak kucing yang mencari kehangatan dari sang induk.
"Kamu mau tidur di sini?" tanya Janu. Pasrah saja membiarkan keteknya diinvasi oleh si bungsu.
"Iya," gumam anak itu. Matanya sudah terpejam, tetapi kesadarannya masih penuh.
"Emang Abang nggak apa-apa kamu tinggalin sendirian?"
Mahen dan Naren memang tidur di satu kamar. Kamar mereka cukup luas, muat untuk dua kasur single serta dua set lemari pakaian. Di sana ada juga satu set komputer gaming, di mana dua bocah kesayangannya itu biasa menghabiskan waktu bermain game bersama kalau dirinya sedang sibuk dan tidak bisa menemani main game di ruang keluarga. Naren jarang sekali meninggalkan Mahen tidur sendirian, kecuali sedang marahan.
"Abang udah tidur dari jam 9," sahut Naren masih dengan posisi nyaman di ketek Janu.
"Oh ya? Terus kenapa kamu belum tidur?" Janu memiringkan tubuhnya, membuat wajah Naren semakin tenggelam di keteknya yang wangi parfum mahal.
"Nggak bisa tidur."
"Kenapa?"
"Mikirin Ayah."
"Hmmm?" Janu menelengkan kepala, bingung.
Naren menyembulkan kepala, menatap lelaki itu dalam waktu yang cukup lama. "Ayah," panggilnya, dengan tatapan yang semakin intens.
"Iya, kenapa?" Janu masih menanggapi dengan sabar.
"Ayah punya cewek lagi, ya?"
Pertanyaan tiba-tiba itu jelas membuat Janu gelagapan. Namun, sebagaimana dirinya yang selalu tampak tenang, kali ini pun dia berusaha mengendalikan diri dengan baik.
"Kenapa tiba-tiba nanya begitu?" tanyanya balik. Intonasinya tenang, setengah malam yang diam-diam merangkak semakin naik.
"Iya atau enggak?" Naren mempertegas. Seakan tidak ingin menerima jawaban yang tidak pasti.
"Nggak," jawab Janu tanpa berpikir banyak.
Naren tampak memicingkan mata, pertanda tidak puas dengan jawaban ayahnya. "Masa sih? Tapi kelihatannya punya tuh?" selidiknya.
"Nggak usah ngawur." Enggan diserang lebih jauh, Janu bergerak cepat, memiting leher Naren agar kembali ndusel ke keteknya.
Naren jelas berontak. Seluruh tenaga dikerahkan agar bisa lepas dari pitingan ayahnya. Ketika berhasil, dia kembali melontarkan pertanyaan yang sudah lama berjejal di kepalanya.
"Ayah kenapa sih harus punya cewek lagi? Kenapa harus nikah lagi?" tanyanya. Dan karena sang ayah tak kunjung menjawab, ia melanjutkan, "Kalau soal kebutuhan biologis, Ayah kan bisa bayar jablay, uang Ayah banyak." Sambungnya dengan tampang polos tak berdosa.
"Hush!" Janu menepuk pelan bibir putranya. "Siapa yang ngajarin ngomong begitu?"
Sambil merengut dan mengusap bibirnya, Naren menjawab, "Abang sama Bang Mahen sering ngomongin soal jablay."
Mendengar penuturan sang anak, Janu geleng-geleng kepala. Tak habis pikir bungsunya sudah sampai pada tahap mengerti hal-hal semacam itu. Dan lagi, tahunya dari putra sulungnya yang kelihatan lempeng-lempeng saja pula. Yah, boys Will always be boys.
"Itu obrolan orang dewasa, anak kecil kayak kamu seharusnya nggak nguping."
Naren yang sudah merengut, menjadi semakin cemberut setelah mendengar ucapan ayahnya. "Hello, I'm 19 already. Udah punya KTP, udah punya SIM, udah bisa bikin anak juga. Itu artinya Naren udah dewasa!" cerocosnya penuh semangat yang berkobar, seperti lautan api yang habis terkena hujan bensin hingga membara semakin liar.
Karena omongannya yang melantur, Naren kembali dihadiahi tepukan di bibirnya. "Makin malam makin melantur aja omongannya. Udah, sini tidur." Lantas tubuhnya kembali didekap lebih erat oleh ayahnya. Dia sampai bisa mendengar suara detak jantung ayahnya yang sedikit lebih cepat daripada biasanya.
Tidak pasrah begitu saja. Naren juga masih berusaha berontak. Tangannya bergerak ribut. Bibirnya nyerocos tanpa henti.
"Lepasin, Ayah!" teriaknya. Namun, ayahnya seakan tuli dan malah menggunakan kedua kaki untuk semakin mengunci tubuhnya.
"Ayah, lepasin! Naren nggak bisa napas!" teriaknya semakin menjadi-jadi.
"Ayah!"
"Allahuakbar, Ayah, Naren beneran nggak bisa napas!"
Janu masih tidak peduli. Dekapannya justru semakin erat. Kemudian, dia membisikkan sesuatu yang secara ajaib berhasil membuat Naren berhenti berontak.
"Tidur, Narendra Sukmajaya."
Tidak ada yang lebih horor ketimbang saat seseorang memanggil nama lengkapmu dengan intonasi yang seperti itu. Naren si bocah kematian tidak ada akhlak pun tidak sanggup menanggung damage yang ditimbulkan, makanya dia langsung bungkam dan menenggelamkan wajahnya dalam-dalam di ketek sang ayah.
"Nah, good boy," komentar Janu, sambil menepuk-nepuk puncak kepala Naren dengan lembut.
Pemberontakan malam itu usai. Janu mendekap Naren erat, menepuk-nepuk punggungnya sambil menyanyikan lagu pengantar tidur dengan suaranya yang merdu.
Sementara di luar sana, pintu kamar yang tidak ditutup sempurna membuat Mahen bisa melihat pergulatan yang terjadi sebelumnya.
Tadinya, dia pergi ke kamar Janu untuk ikut tidur bersama, hitung-hitung menebus rindu karena sudah lama tidak melalukannya. Namun, Mahen malah berakhir berdiri mematung di depan pintu kamar Janu setelah mendengar Naren yang lagi-lagi menolak ide bahwa Janu memiliki kekasih.
Setiap kali Naren menentang keputusan ayahnya untuk dekat dengan perempuan, Mahen selalu menemukan dirinya tenggelam dalam rasa bersalah. Sebab secara tidak langsung, dia turut andil dalam membentuk sikap defensif adiknya.
Belasan tahun lalu, ketika usianya masih belasan dan dia masihlah bocah ingusan, Mahen pernah bertengkar hebat dengan Naren. Itu adalah pertengkaran paling parah yang pernah terjadi. Dan dalam pertengkaran itu, dia tidak sengaja mengatakan sesuatu yang dirinya pun tidak tahu akan membekas selamanya di orak Naren.
Tanpa memikirkan efek jangka panjang, Mahen kala itu berteriak dengan emosi yang meledak-ledak, "Kita nggak punya ibu kan karena kamu, Naren! Bunda meninggal karena lahirin kamu, makanya kamu jangan jadi anak yang nakal!"
Waktu itu, Naren langsung terdiam. Bocah yang memang sudah terlahir pecicilan itu mendadak berubah menjadi lebih pendiam setelahnya, lebih banyak menyendiri dan terlihat melamun dalam beberapa kesempatan.
Tahun-tahun yang telah berlalu tenyata tidak mampu menghapus ingatan buruknya. Naren malah semakin vokal menyuarakan penolakan atas kehadiran perempuan lain ke dalam keluarga mereka.
Sementara Mahen, dia harus menanggung rasa bersalah karena telah melukai hati Naren begitu dalamnya. Meski sudah meminta maaf, Naren tetap tidak goyah. Anak itu justru semakin kekeuh membangun tembok yang begitu tinggi. Menolak mentah-mentah siapa pun yang mencoba masuk dan mencuri tempat di hatinya.
Mahen menarik napas susah payah, lalu menyandarkan punggungnya ke tembok di sisi pintu dan perlahan-lahan membawa tubuhnya merosot ke lantai. Dia terduduk lesu, memeluk kedua lututnya dengan kondisi hati yang lebam-lebam. Lirih, ia berbisik, "Maafin Abang, Ren." Sambil terus meresapi rasa bersalahnya yang tak berujung.
Bersambung.....