NovelToon NovelToon
Rumah Iblis Bersemayam

Rumah Iblis Bersemayam

Status: tamat
Genre:Horor / Tamat / Spiritual / Rumahhantu / Matabatin / Iblis
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: Rijal Nisa

Sebuah rumah besar nan megah berdiri kokoh di tengah pedesaan yang jauh dari perkotaan. Rumah yang terlihat megah itu sebenarnya menyimpan banyak misteri. Rumah yang dikira biasa, nyatanya malah dihuni oleh ribuan makhluk halus.
Tidak ada yang tahu tentang misteri rumah megah itu, hingga satu keluarga pindah ke rumah tersebut. Lalu, mampukah mereka keluar dengan selamat dari rumah tempat Iblis bersemayam itu? Ikuti perjalanan mistis Bachtiar Purnomo bersama keluarganya!k

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rijal Nisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Part 26

"Mencari kekayaan? Maksud kamu apa?" tanya Andini.

"Desa ini masih percaya akan hal mistis seperti itu, di sini kalau sudah malam jumat tiba, kalian akan mencium aroma dupa yang berasal dari rumah-rumah warga, angin malam akan menerbangkan bau kembang kantil dan melati memenuhi seluruh pelosok desa," ujar Anggi, "konon, menurut cerita yang beredar. Warga di sini percaya kalau malam jumat para arwah akan pulang, dan mereka akan ikut makan bersama dengan keluarganya," lanjutnya bercerita.

Cerita Anggi membuat Sisi ngeri, belum lagi melihat wajah-wajah kusut orang di desa itu. Ah, menambah kesan horor saja, Andini hanya tersenyum kecil mendengar cerita Anggi.

Beberapa orang yang mereka temui tidak ada yang menyapa, semua sibuk sendiri, bahkan ada yang dengan sengaja bergosip tentang mereka dengan mata tak sedikit pun lepas dari menatap wajah mereka berdua.

"Anggi, desa ini ngeri juga ya. Betah benar kamu tinggal di sini," ucap Andini.

"Dulu sih bapak pernah mau pindah ke kota, tapi dilarang sama ibu. Katanya biar saja kita tinggal di sini, toh aku lahirnya juga di sini, Mbak?"

Gubrak!

Lagi asyik-asyiknya ngobrol, kaki Sisi malah kesandung batu yang membuat dia jatuh dan tersungkur ke tanah.

"Aduh!" pekiknya, Sisi duduk sambil memegangi lututnya yang lecet terkena kerikil di jalan yang tengah mereka lewati.

"Ups! Hahaha..." tawa Andini saat melihat temannya memasang wajah kesakitan.

"Resek banget lo jadi sohib, Din. Bukan dibantuin, eh malah diketawain," cicit Sisi kesal.

"Sini, Anggi bantuin, Mbak." Anggi mengulurkan tangannya untuk membantu Sisi berdiri.

Saat sedang membantu Sisi membersihkan debu di bajunya, rombongan pak Danang lewat di depan mereka.

Mata Anggi terbelalak melihat pak Danang dan Andi. Di belakang mereka sudah ada seorang lelaki yang diikat dengan tubuh sudah babak belur.

Salah satu dari anak buahnya terus mencambuki lelaki itu.

Tubuhnya penuh dengan bekas pecutan, Sisi bergidik ngeri melihat kejadian itu.

Mereka sedikit menepi memberikan jalan kepada rombongannya pak Danang.

"Gi, mereka mau ke mana?" tanya Sisi.

"Ke hutan jati kayaknya, Mbak," jawab Anggi berbisik.

Pak Danang dan Andi seolah tidak melihat keberadaan mereka bertiga. Mungkin karena sibuk dengan apa yang sedang terjadi sekarang, membuat perhatian mereka hanya fokus pada satu masalah.

"Ayo kita ikuti!" ajak Andini.

"Jangan!" cegah Anggi.

"Kenapa?" Andini dan Sisi kompak bertanya.

"Tidak ada wanita yang boleh masuk ke sana, kecuali mereka itu adalah orang-orang yang telah melakukan kesalahan. Selama ini yang pernah datang ke sana cuma warga terpilih saja, mereka orang-orang terdekat si korban. Merekalah orang yang akan menyaksikan kematiannya," jelas Anggi.

Dia benar, tidak ada yang boleh datang ke tempat tersebut jika dia adalah wanita. Apabila seorang anak yang melakukan kesalahan, maka bapaknya akan menjadi saksi atas kematian sang anak.

Untuk ibu korban tidak diperbolehkan ke sana, dengan alasan karena ia seorang wanita, dan seorang wanita memiliki perasaan yang sangat halus. Sudah pasti mereka tidak sanggup menyaksikan kematian anaknya sendiri.

Alasannya cukup masuk akal, tapi Sisi tetap penasaran dengan hal itu.

Sisi semakin penasaran, kesalahan besar apa yang sudah dilakukan oleh orang tersebut hingga dia pantas dihukum mati.

"Din, ayo kita ikuti mereka!" ajak Sisi.

Pertanyaan yang muncul di otaknya harus menemukan jawaban, meski untuk mendapatkan jawaban itu, dia harus mempertaruhkan nyawanya sendiri.

.

"Ikat dia di bawah pohon itu!" tunjuk pak Danang, wajahnya yang sangar memancarkan aura mematikan.

"Pak, tolong jangan apa-apakan anak saya, Pak. Saya mohon." Lelaki berjenggot itu memohon di samping kakinya pak Danang.

Tubuh kurus si bapak korban kemudian ditendang oleh lelaki jahat itu, pak Danang sangat kejam.

"Sudah saya katakan dari awal, tidak ada yang boleh melanggar aturan yang sudah saya tetapkan. Saya tidak akan memaafkan kamu Parman!" tegas pak Danang. Beliau menatap tajam ke arah lelaki yang sudah diikat di bawah pohon jati itu.

Pemuda yang dipanggil Parman tersenyum menyeringai, senyumannya itu menyulut emosi pak Danang.

"Andi, cepat ambil pisau itu!" suruhnya, ia menunjuk ke arah pisau yang dipegang Andi.

Pisau yang sudah diasah, begitu mengkilap dan tampak sangat tajam.

Pisau dilepas dari sarungnya, memperlihatkan putihnya yang berkilau di bawah remangnya cahaya mentari sore itu.

Rimbunnya hutan jati membuat cahaya matahari susah untuk masuk ke sana. Hanya terlihat sedikit cahaya saja yang menerpa tepat di ujung pisau itu, keadaan dalam hutan jati semakin gelap.

Baru saja pisau hendak menyatu di lehernya Parman, tiba-tiba sebuah keajaiban datang.

"Tunggu!" teriak Ijal.

Napasnya tersengal-sengal karena sudah berlari cukup jauh untuk mengejar mereka.

"Kurang ajar! Siapa yang berani mengganggu persembahan saya?"

Pak Danang begitu marah saat rencananya terhambat oleh teriakan Ijal.

Semua mata tertuju ke arah Ijal, pak Danang dan putranya tidak menyangka kalau Ijal akan datang ke sana, dan dia tidak sendiri. Di sana juga ada Mamat, pemuda itu meski dengan nyali setipis tisu, dia tetap mau ikut membantu Ijal menolong Parman dari maut.

"Syukurlah Ijal dan Mamat datang," lirih Anggi, dia baru bisa menghela napas lega.

Tadinya mereka sudah berpikir kalau Parman akan berakhir mengenaskan di sana.

"Ijal! Kurang ajar sekali kamu! Besar nyalimu hingga berani menghambat tugas saya," ucap pak Danang dengan nada emosi.

"Tunggu dulu, Pak! Bagaimana bisa Pak Danang menghukum Parman, sedangkan kami para warga tidak tahu kesalahan dia apa," ujar Ijal menyudutkan.

Pak Danang terdiam, reaksi para warga yang tadinya patuh, langsung berubah total.

Salah satu warga menjawab dengan berani, dia adalah orang yang ikut mencambuk Parman tadi saat di perjalanan.

"Ijal benar, Pak. Selama ini setiap orang yang dihukum, kami para warga selalu mengetahui kesalahannya apa, tapi tadi bapak tidak mengatakan kepada kami apa kesalahannya Parman."

"Iya, apa kesalahannya Parman, Pak?"

Para warga mulai menembakinya dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak mungkin bisa dijawabnya.

Parman kembali tersenyum, meski darah sudah mengalir di punggung dan pelipis matanya, tapi pemuda itu masih tetap menampakan semangat hidup di matanya.

"Dia sudah tahu siapa makhluk yang selama ini membuat warga gelisah siang malam," ucap Andini di dekat telinga kedua temannya.

"Serius lo, An?"

"Ssttt!" Andini menempelkan telunjuk di bibirnya Sisi, menyuruh gadis itu untuk bicara pelan. Kalau mereka ketahuan, bisa berabe nantinya.

Ayahnya Parman sudah tahu kalau anaknya semalam menyaksikan Andi sedang memangsa binatang ternak warga.

Parman bernasib buruk, dia malah ketahuan oleh pak Danang sedang mengintip aksi Andi.

Danang yang ketakutan langsung berlari ke rumah, dia kemudian menceritakan semuanya pada sang ayah.

Sore harinya Parman didatangi oleh Pak Danang dan beberapa anak buahnya, dan di sinilah mereka sekarang, di hutan jati yang sudah mulai gelap.

"Dia sudah menghidupkan obor di tengah malam, seharusnya itu tidak dilakukan," ucap pak Danang mencari-cari alasan.

"Maaf, Parman bersama kami dari tadi malam. Dia tidak pulang ke rumah, kami juga tidak menghidupkan obor, semua lentera mati." Mamat memberanikan diri untuk menjawab, ia tahu kalau itu semua cuma akal-akalan pak Danang.

Lelaki itu takut kalau ada yang tahu tentang jati diri anaknya.

"Sial! Apa lagi yang harus aku jawab? Tidak mudah ternyata menghadapi dua bocah ini, argh!" erang pak Danang. Kemarahannya hanya bisa disimpan di hati, semua warga menatapnya tanpa berkedip.

Beberapa orang sudah mulai pergi dari hutan jati, mereka tidak mau melakukan kesalahan dengan membunuh Parman.

"Pak, para warga sudah pergi," ucap Andi, cowok itu melirik ke arah sang ayah.

"Kamu tenang aja, walaupun Parman tidak berhasil kita bunuh, tapi bapak akan membuat mulut dia bungkam."

Pak Danang berjalan mendekati Parman, langkahnya segera dihadang oleh Ijal dan Mamat.

"Mau apa lagi, Pak? Parman tidak melakukan kesalahan apa pun, dia tidak pantas mati!" tegas Ijal.

Pak Danang menatap ijal dengan wajah merah padam, emosinya masih bisa dia tahan.

"Ingat! Jangan katakan apa-apa tentang yang kamu lihat semalam, kalau saya dengar ada yang mengatakan tentang Andi, saya pastikan mereka akan meregang nyawa di sini! Kali ini kamu bebas karena warga tidak ada yang percaya," ucap pak Danang. Dia lalu pergi dari sana bersama putra dan para pengikutnya.

Setelah kepulangan rombongan pak Danang, Anggi, Sisi, dan Andini segera keluar dari tempat persembunyian.

Mamat membuka tali yang mengikat parman, sedangkan Ijal membantu membersihkan darah yang terus mengalir di pelipis pemuda itu.

"Hei, kalian benar-benar hebat!" seru Andini.

Sisi langsung berdiri di dekat Ijal, Sisi sebenarnya diam-diam menyimpan rasa pada cowok itu sejak pertama kali melihatnya berdiri di depan rumah Anggi.

"Kalian bertiga ngapain di sini?" tanya Mamat.

Parman dan bapaknya yang tidak kenal siapa Sisi dan Andini, mereka cuma bisa diam mendengar obrolan kelima orang itu.

Sisi memajukan selangkah kakinya supaya lebih dekat lagi dengan Ijal.

Andini tiba-tiba mendapat penglihatan, tempat Sisi berpijak adalah tempat terciptanya sejarah kelam tentang hutan jati itu.

"Sisi, stop!" seru Andini mencegah sang sahabat.

Semua sia-sia saja, kaki Sisi sudah berpijak lebih dulu tepat di tanah itu.

"Aaa!!!"

Seketika suara jeritan keras melengking di udara, mereka semua terkejut.

Apa yang telah terjadi, tanah di dekat pohon jati tempat Parman diikat mendadak terbelah.

Andini segera mengambil tindakan, ia menyuruh mereka semua untuk keluar dari hutan itu.

Parman berlari dengan dibantu oleh Ijal, dan Mamat membantu bapaknya Parman.

Sedangkan tiga gadis itu menyelamatkan diri mereka masing-masing.

"Cepat pergi dari sini!" seru Andini.

"Kita harus keluar secepat mungkin." Sisi terus berlari.

Andini menyempatkan diri menoleh ke belakang, sosok wanita dengan wajah dan baju penuh darah keluar dari dalam tanah di depan pohon tempat Parman diikat.

Jeritannya yang melengking ternyata sampai ke pemukiman warga. Burung-burung yang sedang hinggap di pohon terbang kocar-kacir, kegaduhan itu ternyata telah menyita perhatiannya pak Danang.

Lelaki itu mulai panik kala menatap langit yang berubah warna semerah darah.

"Petaka! Siapa yang telah menginjakkan kaki di sana?" ucap pak Danang, matanya tak berhenti menatap langit.

Ternyata sejarah kelam hutan jati juga masih ada kaitannya dengan pak Danang.

1
Aksara L
Luar biasa
Aksara L
Biasa
Kakak Author
lanjut .. bagus banget ceritanya .../Pray/mampir ketempat aku dong /Ok/
🎧✏📖: semangat, kalo boleh baca ya judul baru 🤭
🥑⃟Riana~: iya kk
total 4 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!