--Balas dendam terbaik adalah dengan menjadi pemenang sejati--
Setelah dicampakkan ayahnya dan diputus status sebagai Tuan Muda saat usia delapan tahun karena kutukan, Xavier bangkit sebagai sisi yang berbeda setelah dewasa. Mengusung nama besar Blood dengan menjadi panglima perang sejati dan pebisnis andal di kekaisaran.
Namun ... pada akhir dia tetaplah sampah!
---Ekslusif di NOVELTOON---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ɛpɪsoʊd 29
“Aku menginginkanmu ... Nona Aegle!”
----
“Ah, tidak!" Xavier meralat sekejap setelah ungkapannya barusan. “Atau lebih mesra kupanggil dirimu ... istriku sayang, Yang Mulia Putri Ashiana!”
DEG DEG DEG!
Jantung Aegle bertabuh-tabuh dalam tempo yang sangat cepat.
“A-apa ka-kau bilang?!” tergagap dia bertanya.
SRET!
WUSH!
Topeng di wajahnya terlepas hanya satu tarikan tangan Xavier. Mata yang kini polos tanpa dibingkai itu sempurna nyalaknya.
Wajah yang sekian lama tersembunyi ... jelas sudah, sempurna tampilan tanpa penutup.
Seraut wajah mirip Ashiana Philaret.
“Kembalikan topengku!” teriak Aegle.
PLUK!
Tapi Xavier malah melemparnya ke arah yang tak bisa dijangkau.
Aegle terus meronta-ronta, tapi Xavier kembali mengunci dua tangannya.
“Sepertinya kau terkejut sekali aku mengetahui rahasiamu ... Istriku?”
Aegle menelan ludah. Membeku, sangat beku sampai mulutnya tiba-tiba menjadi kaku.
Dalam posisi yang sedekat itu, Xavier memulas senyum, senyuman yang seperti sengaja dibuat hanya untuk memperolok ketidakberdayaan wanita itu di saat ini.
“Suaramu halus dan indah, sikapmu tegas walau kadang sedikit plin-plan---terutama soal uang. Dan yang paling menonjol ... kau adalah seorang ahli sihir sejati dengan kekuatan mana yang sangat spesial.”
Rasanya seperti dihujani es batu yang deras dari ketinggian tidak terukur, tidak sedikit pun dalam diri Aegle yang bisa menghardik semua kalimat itu.
“Bagaimana bisa kau menyembunyikan anugerah itu begitu rapat bahkan sampai bertahun-tahun, Putri Ashiana Philaret?”
Tatapan mata darahnya seakan menusuk semua titik pori-pori Aegle hingga tidak berdaya. Namun dia harus melawan semua tekanan walau mustahil akan berhasil.
“Aku bukan istrimu!” Masih mencoba menyangkal.
Sekuat keinginannya untuk terlepas, sekuat itu pula Xavier terus menahan dalam posisi sama.
“Tidak ada dua Ashiana di Kekaisaran ini!” debat Xavier. “Ashiana adalah Ashiana!”
“Tapi aku adalah Aegle! Aku tidak gila seperti dia! Bukankah itu jelas?!” Aegle meronta kasar dengan mengandalkan tenaga sisa. Mencoba melarikan diri dari situasi yang entah bisa disebut bunuh diri atau mungkin keberuntungan. Yang jelas wanita ini dalam posisi terjepit di bawah kendali seorang Xavier Blood, pria yang kini membuatnya seperti kecoak.
Sayangnya Xavier tidak terlihat akan mengalah. Dia tidak memiliki perasaan naif berlebih, selalu seperti itu, dingin dan membuat sulit berkutik. Aegle terendam dalam perlakuannya yang mendominasi.
“Jika bukan istriku, lalu apa? ... Keponakan Kaisar? Sepupu Arion dan Anolla? Atau ... sang putri gila?!” Olokan yang berisi setengah tekanan, berada masih di posisi sama. “Yang terakhir sepertinya paling cocok," tukas pria itu dengan seringai.
Aegle tidak menjawab, malah membuang wajah ke posisi menyamping. Tidak bisa dielak, jika saat ini dia benar-benar tertekan. Merasa kacau di atas panggungnya sendiri.
Sampai Xavier memutuskan untuk mengalah, karena Aegle menjadi bungkam. Hanya menegakkan badan tanpa berdiri, duduk di tepi ranjang untuk keleluasaan gerak wanita itu.
Benar saja, mendapat kesempatan, Aegle segera bangun lalu mundur hingga membentur kepala ranjang. Rupanya tidak berlari, karena merasa pasti tidak akan diberi celah untuk hal itu.
Xavier tak akan melepaskannya.
Mata Xavier terus mengawasi tanpa bergeser sedikit pun dari wajah yang kalut di hadapannya. Lalu dia memutuskan untuk bertanya, “Apa sebenarnya yang kau rencanakan ... Asha?” Kali ini nada yang terdengar tidak seseram tadi, lebih lembut dan perhatian.
Aegle masih bergeming, bahkan sampai beberapa waktu yang tidak wajar untuk sekadar memikirkan jawaban.
“Jika kau punya rencana hebat, kenapa tak libatkan aku---pria yang telah sah jadi suamimu? Apa perhatian dan perlakuanku padamu selama ini masih kurang meyakinkanmu? Kau tetap tidak merasakan aku ada di pihak siapa?”
Untaian pertanyaan yang terasa lumayan menyentil. Berhasil menarik miring Aegle lurus pada lelaki itu. Beberapa detik dihabiskannya untuk menatap dan memindai wajah Xavier demi menggali secarik makna, tapi dia tak menemukan apa pun selain perasaan resah dari dirinya sendiri.
Untuk sekarang tidak ada yang bisa dia yakini. Sampai akhirnya memaksa diri buka suara, suara yang keluar dengan getaran, “Bagaimana ... kau bisa tahu jika aku---”
“Adalah Ashiana?” potong cepat Xavier, melengkung sudut bibirnya. “Akhirnya kau mengakui siapa dirimu meski secara tak langsung,” ujarnya.
Dia tidak mempermasalahkan pertanyaan sebelumnya yang belum dijawab wanita itu. Memaklumi dulu karena sudah pasti masih dalam mode terkejut.
Aegle menelan ludah. Tidak ada jebakan apa pun dalam ucapan Xavier, tapi dia sudah terjebak sendiri dan hilang kata.
Sekarang terentak lagi dengan ... Xavier menggaet satu tangannya, lalu menyingkap lengan bajunya sampai ke pangkal sikut.
“Ini!” Itu jawaban Xavier, menunjuk sesuatu yang membuat Aegle kembali melebarkan mata.
PATS!
“Aku ceroboh!” pekikan hati Aegle. “Dia bahkan menyadari hal yang paling kecil.”
Tanda lahir biru di sendi bawah bagian sikut.
Itu yang dilihat Xavier, di episode ke-19.
Bukan bagian dada yang ranum atau bagian lain yang berbau vulgar, tapi sesuatu yang sangat penting.
“Tidak mungkin dua orang memiliki satu tanda yang sama persis dengan letak yang juga di tempat sama, bukan?” cecar Xavier seraya menatap tanda biru mirip pecahan kelopak bunga di tangan itu, lalu beralih ke mata Aegle yang masih nyalak.
“Karena itu aku mengetahui kalian orang yang sama. Selain itu ....” Sesaat dia menjeda hanya untuk memberi senyuman miring, kemudian menyambung, “Ada bukti-bukti lain yang pasti akan lebih mengejutkanmu.”
Bukti-bukti lain?
Bukti apa lagi?
Terus digempur dengan kejutan, hati Aegle bercicit kacau, “Aku sungguh terjebak. Ternyata dia lebih mengerikan dibanding apa pun. Sekarang aku sungguh tak bisa lari.”
Faktanya, Ashiana adalah Aegle dan Aegle adalah Ashiana. Keduanya satu orang yang sama.
Cepat dia menarik tangan dari genggaman Xavier, menekannya lekat di dada, lalu membuang wajah ke samping lagi.
Xavier tersenyum menyikapinya. “Seandainya dari awal kau jujur padaku, aku tidak akan mengungkap sisi lainmu dengan cara seperti ini.”
Tetap bertahan dalam posisi wajah menyamping, menatap Xavier rasanya serupa menelanjangi diri, Aegle atau Ashiana dalam keadaan seburuk itu.
“Apa kau tetap tak ingin memberitahu padaku alasanmu bertindak begini?”
Masih tidak mau bicara, Xavier akhirnya kalah oleh kediamannya.
“Baiklah, kali ini aku tak akan memaksa. Kau bisa beristirahat." Dia berdiri. “Maaf membuatmu kelelahan dengan penyembuhanku. Aku akan ke kamarku. Tapi besok, kau harus siapkan diri untuk memberiku penjelasan panjang. Kau berhutang banyak padaku. Jangan mencoba lari, karena sampai mana pun kau menghindar, aku pasti akan mendapatkanmu.”
Pintu dihampiri dengan langkah yang pasti. Namun saat satu telapak tangannya menyentuh handle, seruan Ashiana menginterupsi, “Kenapa jadi aku yang berhutang?! Aku yang menyembuhkanmu! Seperti yang kau janjikan, seharusnya kau yang membayarku, 'kan?!”
PATS!
Xavier terdiam, menatap jari jemari di pegangan pintu, tersenyum karena merasa lucu, kemudian berbalik badan dengan gerakan santai.
Ashiana menelan ludah, beringsut lagi. Tiba-tiba menyesal telah meneriaki, seharusnya dia biarkan saja lelaki itu pergi. Sekarang Xavier melangkah lagi mendekatinya. Wajah yang dingin dengan senyuman tak kalah dingin, terasa membekukannya.
“Putri Ashiana istriku ... atau Nona Aegle sang ahli sihir yang telah menyembuhkan kutukanku, bisa kau ulangi sekali lagi?”
Dengan tergagap Ashiana menjawab, “Ke-kenapa jadi ... jadi aku yang berhutang? Bu-bukan ... bukankah kau yang harusnya ... membayar jasaku?!”
Di luar dugaan, Xavier malah terkekeh.
Lalu ....
GREB!
“Argh!” Ashiana memekik karena terkejut.
Gerakan tak terbaca Xavier membuatnya kalah ke sekian kali. Sekarang dia ada di bawah kuasa pria itu lagi, dikungkung seperti tadi.
“Kau bilang aku harus membayar?”
“I-iya!" jawab Asha terbata, lekas membuang wajah kembali menyamping, merasa sumbang dengan jawabannya sendiri.
“Lalu kelalaianmu selama menjadi istriku, bagaimana kau akan bertanggung jawab? Bukankah itu pantas disebut hutang?”
😍😍😍
😘😘😘🔞🔞🔞