Tidak semua cinta terasa indah, ada kalanya cinta terasa begitu menyakitkan, apalagi jika kau mencintai sahabatmu sendiri tanpa adanya sebuah kepastian, tentang perasaan sepihak yang dirasakan Melody pada sahabatnya Kaal, akan kah kisah cinta keduanya berlabuh ataukah berakhir rapuh
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Withlove9897_1, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hate Side Story 003
...***...
Kaal menjambak rambutnya kesal.
Apa yang sebenarnya sedang terjadi saat ini?
Kejadian kemarin masih melayang-layang di ingatannya. Wajah Melody yang tampak begitu kosong, kenyataan bahwa gadis itu memiliki kekuatan untuk melawan, serta kalimat 'aku tidak mau' yang berputar seperti siklus berulang dalam kepalanya.
Seberapa kali pun Kaal bertanya, tetap saja gadis itu tidak memberikan jawaban lain selain tiga kata itu.
Kaal tidak menaruh perhatian kepada pelajaran apapun yang sedang diajarkan guru saat ini. Kombinasi antara berbagai hal yang berdesakan dalam kepalanya tidak memberikan ruang barang sedikit saja untuk meninggalkan jejak di memorinya.
Begitu jam pelajaran berakhir, Kaal bergegas mencari dimana Melody berada.
Kaal segera menarik lengan Melody kasar saat menemukan gadis itu di koridor utama.
Ia dengan cepat membawa Melody ke tempat yang tidak akan menarik banyak perhatian.
Di lain pihak, Melody hanya mengikuti Kaal, masih sama seperti biasa menuruti kemana Kaal menyeretnya tanpa protes sedikitpun.
Sungguh menyebalkan.
Kaal menghimpit tubuh Melody sesaat setelah mereka mencapai gudang tempat peralatan olahraga yang terletak dibelakang gedung sekolah mereka.
Gadis itu sedikit berjengkit, merasakan besi yang dingin menyentuh punggungnya.
"Jika kau tetap berpikir untuk diam kali ini, percayalah aku tidak akan segan menghabisimu saat ini juga Melody." Ancam Kaal seraya mencekik leher Melody.
Melody memejamkan mata karena suplai udara yang berkurang ke paru-parunya. Tetapi kedua tangan gadis itu tidak berusaha menghentikan cengkraman Kaal di lehernya.
"Aku tidak mau, Kaal." Tutur Melody susah payah.
Mendengar namanya bergulir dari lidah gadis itu membuat perasaan hangat menjalar ke seluruh nadi Kaal.
Namanya tercecap sebagai sesuatu yang asing sekaligus lenyap di telinganya. Kaal menelan ludah, genggaman tangannya tidak lagi cukup kuat untuk membuat Melody merasa sedang di bawah ancaman.
Merasa bingung, Melody justru menatapnya heran. Perbedaan tinggi badan di antara mereka membuat gadis itu harus mendongak untuk menemukan mata Kaal.
Pada saat itulah Kaal menyadari, ia tidak pernah menemukan kebencian dari mata Melody ketika mereka bersitatap. Kenyataan itu membuat emosinya semakin meluap.
Bughh!!
Kaal memukul loker di belakang Melody hingga gadis itu terlonjak kecil.
Nafas Kaal berubah berantakan. Sembari terengah, ia menyandarkan keningnya ke loker di sisi kepala Melody. Bibirnya begitu dekat dengan bahu Melody, harum softener dari pakaian gadis itu lambat laun meracuni penciumannya.
"Tidakkah kau lelah?"
Kaal tiba-tiba bertanya dan ia ingin menambahkan terus berlarian di dalam kepalaku? tetapi itu terdengar seperti rayuan norak yang membuat dirinya sendiri mual, jadi Kaal membiarkan pertanyaan itu tetap menggantung tanpa penjelasan lebih.
Ia segera melepaskan kungkungan kedua lengannya di sisi tubuh Melody dan berlalu sebelum gadis itu sempat menanggapi.
Kaal tidak memiliki hasrat untuk hadir di periode pelajaran berikutnya. Ia memilih duduk bersila di taman belakang sekolahnya, memandang ke kumpulan bunga liar di hadapannya dengan senyum getir mewarnai wajah.
"Jadi selama ini dia hanya berpura-pura," Kaal berbisik pelan kepada bunga yang tumbuh di sana,
"Bukankah itu sangat menyakitkan?" Kaal merebahkan diri tanpa mempedulikan tanah yang akan mengotori pakaiannya.
Bukankah begitu?
...***...
Merah
Ada cairan berwarna merah di meja belajar Kaal, di atas tempat tidurnya, di lantai kamar mandinya, di genggamannya dan semua itu membuat ia muak dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan cairan merah itu.
"Kau keras kepala." Eden memandang ke kepalan tangan Kaal dimana ia menyembunyikan cairan merah pekat yang baru saja ia muntahkan.
"Jika kau hanya ingin mengejekku, aku sarankan kau pergi sekarang juga." Balas Kaal.
Kaal mengambil tisu yang berada di laci samping tempat tidurnya, kemudian membersihkan tangannya sambil menggerutu.
Eden memutar bola mata melihat sikap kekanakan Kaal. Lelaki itu mengamati cairan merah yang tidak sengaja jatuh di dekat sikunya.
"Kenapa kau seperti ini?" desah Eden pelan. Ia tidak mengerti mengapa Kaal penuh pengingkaran padahal lelaki itu jelas-jelas tersiksa dengan penyakit yang di deritanya.
Kaal membuka seragam sekolahnya kemudian mengeluarkan kaus tanpa lengan dari dalam lemari.
"Aku tidak menangkap maksud pertanyaanmu."
"Bertingkah sebagai lelaki brengsek. Kenapa kau seperti ini?"
"Bukan urusanmu." Jawab Kaal cepat. Ia sedang tidak dalam suasana hati yang baik untuk membicarakan perkara apapun yang berkaitan dengan asmara.
"Lihat? Kau bertingkah menyebalkan semenjak ini terjadi." Eden menggeleng kecil. Lelaki itu kemudian bergeser ke tepi tempat tidur sementara Kaal membuka tirai kamar.
Dari luar jendela, tetes air hujan turun dengan anggun membasahi bumi, menghilangkan dahaga dari tanah yang merindukannya.
Kaal mengamati bagaimana dedaunan menyambut rinai hujan yang mengecupnya.
Sementara di belakangnya, Eden masih meracau panjang lebar mengenai bagaimana sikap kasarnya berubah semakin parah dari hari ke hari.
Kaal berpura-pura tidak mendengar walaupun telinganya tidak melewatkan apa yang Eden bicarakan.
Setiap perkataan Eden memancing ingatan Kaal akan Melody. Atau mungkin memang kepalanya sedang melakukan suatu sabotase diam-diam yang membuat semuanya berubah menjadi tentang gadis itu.
"Berhenti." Perintah Kaal tegas.
"Aku tidak akan berhenti sebelum kau menjelaskan apa yang membuatmu—"
"Aku bilang berhenti."
Eden mengangkat tangan ke udara, mengisyaratkan rasa frustasinya karena tingkah Kaal.
"Kenapa ini begitu sulit—"
"Eden," Kaal memejamkan mata, berusaha menahan amarah yang mendaki ke ubun-ubunnya,
"berhenti."
"Kau hanya perlu menerimanya dan katakan bahwa kau mencin—"
"Karea aku tidak mau jatuh cinta!" Seru Kaal sambil terengah.
Ia lelah. Ia tidak tahu apa yang membuatnya lelah namun seluruh persendiannya seolah enggan bekerja sama dengan tubuhnya.
"Ini terasa aneh!" Lanjut Kaal dengan nada tinggi yang sama.
"Aku tidak menyukai kepalaku yang mendadak ringan setiap kali aku melihatnya, atau gejolak di perutku yang membuatku ingin menyentuh atau sekedar mengusap rambutnya. Ini benar-benar aneh, Eden!"
Eden tetap duduk tanpa menyela, menunggu Kaal untuk menumpahkan semua isi hatinya.
"Aku membenci rasa bersalah yang terus membakar diriku dari dalam, membenci ketika dia berbicara orang lain, dan kau tidak akan tahu seberapa putus asanya aku ingin mendengar suaranya atau menghadirkan senyumnya. Aku benci karena hal-hal konyol ini membuatku lemah, Eden."
Kaal menghempaskan tubuhnya ke atas sofa, menghindari tatapan Eden yang mengikutinya sedari tadi. Suasana dalam ruangan itu berubah hening.
Hanya samar suara air hujan bercampur dengan hembusan berat nafas Kaal yang mengisi sepi di antara mereka.
Melihat kondisi Kaal yang begitu menyedihkan, Eden terdorong untuk memeluk lelaki itu. Ia merangkul pundak Kaal mendekat, mencoba meredakan segala kelumit di pikiran sahabatnya.
"Wow, kau benar-benar telah jatuh cinta padanya Kaal, benar?" celetuk Eden ringan.
Kaal menggosok wajahnya kuat.
"Aku tidak tahu. Ini benar-benar membuatku pusing"
Eden mendengar Kaal menggumam rentetan kalimat tidak jelas dari balik tangan. Ia bisa menangkap umpatan 'Melody bodoh' yang diiringi banyak kata 'kenapa, kenapa, kenapa' berulang dari bibir Kaal.
"Aku merasa seperti orang sekarat."
"Oh, Kaal." Bisik Eden lirih.
Ia sedikit menyesal telah memaksa Kaal untuk terbuka. Namun keadaan lelaki itu semakin memprihatinkan setiap harinya.
"Itu karena kau terus melawan perasaanmu." Eden mengusap punggung Kaal lembut.
"Berhenti menyangkalnya. Jatuh cinta bukan sesuatu yang bisa kau kendalikan."
Kaal memijat pangkal hidungnya selagi Eden membawa kepala lelaki itu ke pundaknya.
"Kemari kawan, kau sudah sebesar ini Kaal. Aku tidak menyangka kau akan jatuh cinta secepat ini."
Kaal mendengus sambil berupaya melepaskan diri dari dekapan Eden.
"Kau menjijikan Eden."
Eden tertawa. Ia ingin melanjutkan untuk menggoda Kaal, namun tiba-tiba pikirannya mengingat sesuatu yang lebih penting.
"Hey, Kaal."
"Apa lagi?" Alis Kaal berkerut penasaran dengan perubahan ekspresi Eden.
"Jalan dimana kau melihat Melody berkelahi adalah daerah berbahaya. Kau harus segera memperingatkannya."
Kaal tidak menanggapi.
...***...
...Mawar oranye dapat digunakan untuk mewakili hasrat yang kuat, menyampaikan rasa ketertarikan, atau katakanlah secara sederhana, ...
..."Aku ingin mengenalmu lebih baik."...