NovelToon NovelToon
Saat Aku Bernafas Aku Berharap

Saat Aku Bernafas Aku Berharap

Status: tamat
Genre:Tamat / Mafia / Konflik etika / Mengubah Takdir / Romansa
Popularitas:10.2k
Nilai: 5
Nama Author: Rurri

Mengejar mimpi, mencari kebahagiaan untuk mendapatkan apa yang diinginkan, Raka harus menghadapi keadaan pahit atas dosa-dosa sosialnya, juga konflik kehidupan yang tak berkesudahan.

Meski ada luka dalam duka, ia harus tetap bersabar. Demi bertemu kemanfaatan juga kebahagiaannya yang jauh lebih besar dan panjang.

Raka rela mengulang kembali mimpi-mimpinya. Walaupun jalan yang akan dilaluinya semakin terjal. Mungkinkah semesta akan mengamini harapannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rurri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Berkaca Pada Genangan Hujan

Demi menjaga nilai-nilai yang sudah diajarkan, khairudin bertahun-tahun merawat ibunya penuh kasih. Ia tidak seberuntung kita, untuk memenuhi kebutuhannya, ia harus mengais rejeki di tengah masyarakat hedonisme sebagai pemulung. Sampai datang hari yang tak diinginkan, dihimpit kelakar tawa penegak hukum. Banyak cerita yang aku temui tapi tak sepilu ini. Hak asasi manusia hanya celoteh belaka, hanya suaranya saja yang menggelantung di radio dan televisi.

Suara rintik hujan masih berjatuhan, susul menyusul tak berirama, airnya menggenang. Aku berkaca pada genangannya, tertunduk dalam.

"Raka ... dengar-dengar, katanya, kamu pernah belajar ilmu agama," ujar Pak Erwin.

Aku mengangguk.

"Di luar sana, khairudin sudah nggak punya siapa-siapa lagi, ibunya juga sudah meninggal beberapa hari setelah khairudin di tangkap," ucap Pak Erwin.

Aku menghampiri Pak Erwin, duduk di sebelahnya.

"Waktu pintu akan di kunci, salah satu petugas memberi kabar. Katanya, besok pagi, ia akan di kebumikan di distrik blok atas. Sekarang jenazahnya masih di ruangan periksa, belum ada yang menyolati jenazahnya," ungkap Pak Erwin.

Segera aku menjelaskan tentang tata caranya sholat ghaib kepada Pak Erwin dan yang lainnya. Mereka mempersiapkan diri masing-masing untuk mengikuti prosesi sholat ghaib untuk almarhum khairudin.

Usai sholat ghaib, suasana menjadi senyap. Kami menyibukkan diri dengan kebisingan yang ada di kepala kami masing-masing.

"Ini adalah keuntungan bagi tamping kunci," ocehannya Pak Erwin memecah senyap. "Iya, setiap ada orang yang meninggal di blok bawah. Mereka akan menggodok dan menyajikannya kepada para tahanan blok atas yang belum tahu apa-apa, tentang keadaan di blok bawah." Membetulkan posisi duduknya. "Para tahanan baru, pada umumnya, mereka gampang di takut-takuti dan mudah di peras." Sejurus asap putih keluar dari mulut juga hidungnya yang agak bengkok.

Tegar dan Supri yang sedari tadi sudah merebahkan badan, terbangun. Duduk dan ikut mendengarkan.

"Selama berada di blok bawah, belum pernah menjumpai perkelahian antar kelompok yang sampai menewaskan dari salah satu pihak. Jangankan menewaskan, perkelahian antar kelompok, di sini nggak pernah terjadi." Nadanya ketus. "Paling sekedar cekcok kecil, persaingan bisnis dan penganiayaan pada orang tertentu, yang sudah memakai kartu kredit tapi nggak bisa membayarnya." Mengirimkan rokok ke tepi mulutnya.

"Dasar ... ." Tegar mengumpat, merasa tertipu.

Pak Erwin menyemburkan asap rokoknya. "Umumnya kasus kematian di blok bawah terjadi karena sakit atau depresi berat."

Tegar dan Supri saling menatap. "Status kita sekarang sama, sama-sama narapidana. Nanti kita buat perhitungan dengannya." Geram pada tamping kunci.

"Hahaha ... ." Pak Erwin tertawa. "Di sini, di blok bawah, belum ada yang berani menyentuh tamping kunci. Mereka nggak sendirian, di belakang mereka, ada lurah blok dan para petugas yang ikut bermain," ungkap Pak Erwin pada Tegar dan Supri.

Mereka bergeming.

Pak Erwin meneruskan. "Masih banyak hal yang belum kalian ketahui. Jangan coba-coba jadi jagoan, kalau nggak mau berakhir di sel tikus." Nadanya tegas, menggurui. "Di blok bawah, adu jotos sudah nggak laku. Karena adu jotos hanya diperuntukkan bagi narapidana yang berkasta rendah. Hahaha ... ." Pak Erwin Menertawakan. "Pakai otak ... kasta tertinggi di sini." Di tunjuk pelipisnya sendiri dengan jari telunjuk.

"Soal obrolan kita, waktu pagi." Supri membuka tema kemarin. "Bagaimana, kalau ke depannya, aku bisa membuka pasar hitam di sini, apa keuntungan yang akan aku dapatkan."

Pak Erwin memulai berkelakar, perlahan-lahan menyisipkan ambisi, tanpa di sadari, mereka sedang di cetak menjadi generasi mafia berikutnya. Melalui kata demi kata, peta dibentang, strategi di rancang. Perangainya, Pak Erwin seperti dua mata pisau tajam.

Malam ini, aku memilih untuk diam dan mengingkari rencananya. Barangkali mungkin, ini salah satu alasannya, kenapa maling-maling kecil yang sudah keluar dari bui berganti profesi menjadi maling-maling besar. Diam-diam, mereka dididik untuk menjadi serakah. Saling bertukar ilmu dan pengalaman.

"Panggung kehidupan ini, menunggu orang-orang pemberani seperti kalian," ucap Pak Erwin pada mereka.

Mereka tersenyum jahat. Sudah bisa di tebak, mereka sedang membayangkan hasil yang memuaskan.

"Raka, bagaimana denganmu?" tanya Pak Erwin.

"Aku sudah nggak membutuhkan uang." Merebahkan badan, mengistirahatkan diri, tak perlu mengurusi urusan duniawi dengan jalan pintas.

"Hahaha ... ." Menertawakan. "Sayang sekali kalau kamu nggak ikut bermain, Raka. Padahal di sini, kita nggak akan tertangkap, meskipun, kita semua ketahuan sebagai pelaku utamanya," ungkap Pak Erwin.

"Ayolah, Raka. Sekali ini saja." Tegar mendesak.

Aku bergeming.

Segerombolan katak dari balik tembok berpesta riang gembira di bawah air hujan, berpadu dengan kelakarnya Pak Erwin, Tegar, Supri dan yang lainnya.

Aryanto sudah tertidur pulas, mendengkur di sampingku.

Pagi yang hingar kembali bercerita.

"Bangun, bangun, bangun." Sejurus dengan bunyi tongkat yang diadu dengan jeruji besi.

"Cepat keluar," suruhnya salah satu Petugas.

Pagi ini, kami mendapatkan pekerjaan dari petugas distrik blok bawah.

"Dua orang, segera ambilkan cangkul di gudang," pinta Petugas. "Yang lain langsung menuju lokasi," lanjutnya.

Kami berjalan menuju pemakaman yang terletak di distrik blok atas, melewati jalan setapak yang becek. Air hujan masih menggenangi sisi kanan dan sisi kiri jalan. Sesampainya di lokasi, kami hanya terdiam mematung, melihat tempat pemakaman yang terendam air hujan.

"Bagaimana ini, Pak?" tanya seseorang pada Petugas.

"Ambilkan mesin sedot air," suruhnya Petugas.

Beberapa orang pergi menuju gudang seiring dengan datangnya dua orang yang membawa cangkul.

Tanpa basa-basi, Aryanto langsung meminta cangkulnya. Mencangkul di tanah yang sudah di tentukan oleh petugas, meski masih tergenang oleh air hujan.

"Raka!" serunya Aryanto, terkejut.

Aku langsung merebut cangkul satunya. Begitu tanahnya tercangkul, air yang menggenangi tanah tersebut, meresap ke dalam tanah seketika.

Badanku merinding.

Semua mata terbelalak bersamaan dengan gema takbir mereka.

1
tongky's team
Luar biasa
tongky's team
Lumayan
tongky's team
mantap saya suka kata katanya tentang senja dan sepasang merpati
tongky's team
lanjut seru /Good/
Santi Chyntia
Ceritanya mengalir ringan dan pesan moral nya jg dapet, keren kak/Good//Heart/
Choi Jaeyi
cieeee juga nih wkwkk
Amelia
👍👍👍👍👍👍❤️❤️
Rurri
makasih kak, atas pujiannya 😊

karya² kk juga sama bagus²🌷🌷🌷
Amelia
aku suka sekali cerita nya... seperti air mengalir dan tanpa karekter yg di paksa kan👍👍👍
Jecko
Aku tersentuh/Sob/
Amelia
😚😚😚😘😘😘😘
Amelia
mantap...👍👍👍👍
Amelia
🤭🤭🤭🤭🤭🤭🤭
Amelia
wkwkwk...
😅😅
Amelia
hahahaha...🤭🤭
Choi Jaeyi
selalu suka bgt sama kata tiap katanya author😭
Amelia
bagus Thor....👍👍👍👍❤️❤️❤️❤️
Amelia
memang itu lah realita kehidupan...yg kuat dia yg akan dpt banyak...
Amelia
betul itu...
Amelia
ketidak berdaya an perempuan pd posisi seperti ini.... sabar bu semua pasti ada jalan...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!