Ketika ketertarikan yang dihiasi kebencian meledak menjadi satu malam yang tak terlupakan, sang duke mengusulkan solusi kepada seorang gadis yang pastinya tidak akan direstui untuk ia jadikan istri itu, menjadi wanita simpanannya.
Tampan, dingin, dan cerdas dalam melakukan tugasnya sebagai penerus gelar Duke of Ainsworth juga grup perusahaan keluarganya, Simon Dominic-Ainsworth belum pernah bertemu dengan seorang wanita yang tidak mengaguminya–kecuali Olivia Poetri Aditomo.
Si cantik berambut coklat itu telah menjadi duri di sisinya sejak mereka bertemu, tetapi hanya dia yang dapat mengonsumsi pikirannya, yang tidak pernah dilakukan seorang wanita pun sebelumnya.
Jika Duke Simon membuat perasaannya salah diungkapkan menjadi sebuah obsesi dan hanya membuat Olivia menderita. Apakah pada akhirnya sang duke akan belajar cara mencinta atau sebelum datangnya saat itu, akankah Olivia melarikan diri darinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moonwul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29: Menjadi Milliku Setelah Semua Ini
Olivia menipiskan bibirnya tersenyum samar. Ia menatap ke arah pintu masuk toko, raut lelah di wajahnya segera menjadi cerah ketika seorang wanita muda berjalan ke arahnya.
"Bisa pesan choco latte yang hangat satu?" tanya si wanita muda setelah melihat menu di sekitar meja kasir.
Olivia tersenyum dan mengangguk pelan. "Tentu. Mau dibawa pulang atau buat di sini?"
Wanita muda itu menoleh ke belakang, dua orang duduk di bangku yang disediakan. "Buat di sini, ya."
"Baiklah. Jadi, pesanannya satu choco latte hangat buat di sini, ya?" Olivia mengetikkannya di mesin kasir untuk menyelesaikan pembayaran.
Setelah selesai, sang pelanggan tampak melihat-lihat roti dan kue di etalase yang sudah diatur ke sisi ruangan, menyisakan beberapa jarak di tengah yang ia manfaatkan untuk menambahkan beberapa tempat duduk lengkap dengan meja bundar kecil agar pelanggan bisa menyantap pesanannya di tempat.
Ia yang berhasil menambahkan menu minuman dan membuat tempat duduk kecil-kecilan di toko rotinya sungguh telah mengerahkan segenap dirinya hingga mengorbankan istirahat yang layak.
Bekerja sangat keras memang selalu menjadi jalan keluar sekaligus obat bagi Olivia.
Kepergian Paul dan tidak dapat dihubunginya sang sahabat membuatnya cukup depresi.
Keadaan pria itu adalah poin utama yang menjadi pusat kekhawatirannya.
Olivia menatap jauh ke jalanan melalui jendela besar di tokonya. Setiap kali ia memiliki waktu luang, inilah yang akan dilakukannya.
Menatap nanar jauh ke depan, atau melamun dengan pikiran yang bercabang. Ia sungguh menderita atas perpisahan sepihak juga mendadak dari Paul.
"Olivia, tegarkan dirimu," bisik Olivia, menyadarkan dirinya sendiri.
Gemerincing lonceng yang terdengar lantaran gerakan pintu membuat Olivia menegak. Begitu melihat siapa orang yang datang, senyum di wajahnya segera muncul.
"Anak Gadis Ayah!" Aditomo berjalan ke arah Olivia dengan wajah dan intonasi yang riang.
Menyambut kedatangan sang ayah, Olivia berjalan keluar dari belakang mesin kasir dan segera memeluk Aditomo dengan hangat.
"Ayah tidak bekerja hari ini?"
Aditomo tersenyum, ia melerai pelukannya lalu melihat-lihat hasil perubahan dari toko sang putri."Ternyata ide Ayah kamu terima juga, ya? Sangat membantu kamu mendapatkan uang lebih, kan? Ayah lihat kok kalau sekarang tokomu sering kedatangan pelanggan yang menghabiskan pesanannya di tempat."
Olivia tertawa pelan. "Iya, Ayah. Kalo punya ide lainnya langsung kasih tahu aku, oke?"
Aditomo tersenyum jahil. "Jadi ketagihan sama ide brilian Ayah, kan?" Ia menggosok sekali ujung hidungnya. "Wajar sih, Ayah memang sangat bisa diandalkan bahkan untuk semua hal."
Olivia memicingkan matanya ikut bercanda. "Ayah percaya diri sekali."
Tawa Aditomo pecah. Suara tawanya yang khas dan terdengar begitu nyaman di telinga Olivia.
"Iya deh. Aku mengakui kalau Ayah memang bisa diandalkan dalam semua hal."
Aditomo mengangguk dengan tawa yang masih terdengar renyah. "Eh, iya. Sebenarnya Ayah memang ada ide lainnya sih."
Kedua alis Olivia terangkat kecil. "Hn? Benarkah?"
"Sini biar Ayah jelasin." Aditomo menarik lengan putrinya dan menuntun agar mereka duduk untuk membicarakannya lebih mendalam. "Ayah diberitahu kalau susu almond banyak diproduksi di wilayah ini. Rasanya sama dengan susu sapi dan harganya jauh lebih murah. Bagaimana kalau kamu pakai itu saja buat mengurangi modal?"
Olivia tidak menatap wajah ayahnya, ia memikirkan dalam-dalam ide yang disampaikan itu. Pemikiran bahwa keuntungan yang ia hasilkan dari penjualan menu minuman tidak terlalu besar karena harga susu sapi lumayan mahal di sini.
"Baiklah. Nanti aku coba untuk menggantinya."
♧♧♧
"Sampai kapan Anda akan melakukan ini, Tuan?" tanya Benedict yang berusaha berjalan menyesuaikan langkah kaki sang duke.
Ada jeda sejenak dan Simon menghentikan langkahnya tepat sebelum keluar dari pintu utama mansion.
"Sampai hari ini." Simon menoleh pada Benedict. "Katakan pada Aditomo untuk istirahat, biar Harold yang mengantar saya."
Benedict meneguk ludahnya getir. Bisa dilihatnya mobil hitam favorit sang duke dengan Aditomo yang menunggu di dalamnya.
Selama satu minggu ini ia melihat sendiri betapa Aditomo bekerja dengan sangat baik. Belum lagi dengan kesetiaan dan rasa hormat yang ia tunjukkan kepada Simon, maka dengan agak tercekat, ia mengiyakan perintah sang atasan.
"Baiklah, Tuan."
Simon kembali masuk ke dalam mansion dan duduk menunggu di ruang membaca. Benedict melihat kepergiannya dengan helaan nafas.
Bersikap simpati memanglah kekurangannya sejak lama. Entah bagaimana bisa ia tetap bertahan menjadi sekretaris Simon selama ini, namun ia dapat merasakan bahwa sang duke tidak sepenuhnya jahat.
Begitu melihat Benedict berjalan mendekat, Aditomo segera keluar dari mobil dan terlihat sedikit bingung melihat Simon tidak ikut bersama sang sekretaris.
Benedict yang merasakan susahnya untuk membuka suara, tatapan bertanya-tanya dan sedih dari Aditomo, membuat pagi ini dimulai dengan rollercoaster emosi.
Keputusan Simon untuk berhenti mempekerjakan Aditomo sebagai sopir pribadi sama mendadaknya dengan saat pria itu mempekerjakannya.
Meski berat hati dan ada rasa kekecewaan di hatinya, Aditomo menerima semua keputusan itu dengan pikiran yang positif.
Sebelum ia memanggil Harold untuk menggantikannya, Aditomo kembali ke mobil untuk mengambil sebuah minuman bergelas kertas yang tertutup rapi nan cantik berisikan choco latte, menu minuman yang menjadi andalan di toko roti putrinya.
Aditomo berniat untuk memberikan minuman hangat itu kepada sang duke sebagai bentuk terima kasih.
Pasalnya semua ide dan motivasi yang ia berikan kepada Olivia, seungguhnya berasal dari Simon.
Sang duke yang menyarankan untuk menambah minuman ke daftar menu toko rotinya, memberikan gambaran tentang pemanfaatan ruangan kecil, dan terakhir tentang mengganti susu sapi menjadi susu almond.
Suhu hangat yang mulai menjalar di genggamannya membuat Aditomo mengurungkan niat, ia meletakkan kembali minuman itu di sekat khusus tempat minum di antara kursi depan. Sehingga saat Simon memasuki mobil diikuti Benedict, ia dapat melihat gelas kertas itu.
"Apa itu punyamu, Harold?" tanya Simon begitu duduk di kursinya.
Benedict yang duduk di samping Harold pun ikut menatap ke arah gelas itu. Begitu sang sopir menggelengkan kepalanya dan menjawab bahwa itu adalah titipan dari Aditomo, Simon segera bersuara dengan tersenyum. "Berarti itu punya saya."
Minuman latte itu diteguk habis oleh Simon dan Benedict tidak merasakan kejanggalan dari hal itu. Namun, insiden yang menakutkan malah terjadi.
Simon terdengar batuk-batuk dan memegang dadanya yang terasa sesak.
Benedict yang panik memerintahkan untuk menepi agar dia dapat memeriksa keadaan Simon yang kelihatan serius.
"Astaga! Sepertinya Anda alergi, Tuan. Mungkin minuman itu mengandung almond," seru panik dari Benedict.
Harold terlihat cemas, Benedict menepuk kursinya dan menyuruh untuk membawa mereka ke rumah sakit terdekat.
Ruam merah segera menyebar di area leher sampai wajah Simon. Menghirup napas pun ia semakin susah. Reaksi alergi yang kini dideritanya sangat parah berbanding lurus dengan banyaknya kandungan almond yang diteguknya.
Di tengah kegentingan dan kekhawatiran itu, samar-samar Simon tersenyum sebelum kesadarannya hilang.
Bukankah sudah kukatakan, Olivia? Aku tidak seburuk itu, kubiarkan ayahmu baik-baik saja sedangkan aku yang sekarat. Sekarang, katakan, bagaimana kamu tidak menjadi milikku setelah semua ini?
...♧♧♧...
*** the picture belongs to the rightful owner, I do not own it except for the editing.
nangis nihhh, aku rinduuu😭😭😭😭/Sob/
sebenarnya inilah tipe novel dewasa yang aku inginkan, meski ga suka adegan dewasa.. adegan dewasa yang kumaksud itu, penulis ga ahli merangkai kata dan kalimat yang menyentuh dalam adegan seksual..
terlalu jijik kalau ada suara desahan sampai ah ah ga jelas, dsb. tapi anda pandai sekali merangkainya dengan menggantinya dengan suara geraman, suara napas, suara lenguh dsb. Bahkan ga ada kata2 yang terlampau ga nyaman untuk dibaca, over all bagus.. saya suka cara kepenulisan adegan dewasa tu begini. Kita lebih merasakan bagaimana situasi mereka ketimbang tulisan2 acak2 an kek yang lain.. bikin sakit mata.
buat adegan ranjang ga tanggung2 forno banget!!! Tapi aku suka banget yang ini ♡ hehehe