NovelToon NovelToon
Where Are You?

Where Are You?

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen School/College / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Keluarga / Persahabatan / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Agnettasybilla

Kalea Ludovica—murid paling keras kepala seantro SMA Bintang dan salah satu murid yang masuk dalam daftar jajaran murid paling disegani disekolah. Masa lalunya yang buruk karena sering dikucilkan keluarga sampai kematian sang adik membuatnya diusir dari rumah ketika masih berusia tujuh tahun.
Tuduhan yang ia terima membuat dirinya begitu sangat dibenci ibunya sendiri. Hingga suatu ketika, seseorang yang menjadi pemimpin sebuah geng terkenal di sekolahnya mendadak menyatakan perasaan padanya, namun tidak berlangsung lama ia justru kembali dikecewakan.

Pahitnya hidup dan selalu bertarung dengan sebuah rasa sakit membuat sebuah dendam tumbuh dalam hatinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agnettasybilla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 29

Ketika Kalea sedang mengamati satu persatu deretan file di lemari itu, ia memicingkan matanya menatap sebuah map mencolok dari yang lain. Sebuah map merah yang terselip di antara file berwarna satu warna membuat Kalea penasaran.

Ia tarik map merah itu lalu duduk di sofa dekat jendela kaca sebelah kanan. Membukanya perlahan dan isi map itu hanya selembar surat keterangan rumah sakit.

"Rumah Sakit Melati? Tanggal 23 November 2015?" ucap Kalea menganga, mencoba bekerjasama dengan pikirannya.

"Bukannya ini rumah sakit Anggita dirawat pasca kecelakaan dulu?"

Kalea merenung. Kenapa surat dari rumah sakit bisa berada ditangan Papanya? Ia menarik napas dalam lalu mencari lagi apa yang bisa ia temukan. Lagi dan lagi map cokelat tua ia dapat dari lemari di sebelahnya. Usang dan berdebu, berisikan dua foto anak kecil.

"Anggita? Ini adik gue, 'kan? Gimana—"

Bulir air mata mulai membasahi pipinya. Ia mendongak berusaha menetralkan jantungnya yang berpacu cepat saat memandangi foto tersebut.

Foto sewaktu Anggita kecelakaan dan foto pas anggita dirawat di rumah sakit. Saking seriusnya mengamati foto itu, Kalea terlonjak kaget saat suara mobil dari luar memasuki garasi rumah terdengar.

Buru-buru Kalea mengembalikan map itu ke tempatnya seraya menghapus sisa air matannya lalu berlari kearah kamarnya dan menguncinya dari dalam.

"Kenapa mereka sejahat itu..." Kalea merapatkan kedua kakinya ke dalam dada. Ia menggigit kuku jarinya sambil memikirkan apa yang ia lihat di ruang kerja ayahnya.

"Apa yang sudah mereka lakukan, kenapa foto itu bisa ada pada mereka?"

Saking tidak bisa memendam semua yang ia rasa, Kalea meraih meraih vas bunga dari nakas dekat tempat tidur kemudian dengan cepat melemparnya ke kaca. Pecahan kaca itu berserak di lantai kamar.

"Kakak gue udah bohong sama gue dan sekarang papa juga bohong!" lirihnya sesenggukan. Menggulum bibirnya, menahan isak tangisnya sekuat tenaga.

***

Malam berlalu sampai mentari pagi mulai menampakan dirinya diatas langit pagi nan cerah. Kalea masih benar-benar diam membisu memandang sarapan di hadapannya. Bagas, Audrey dan Zion yang duduk di meja makan tampak heran dengan berubahnya sikap gadis tersebut.

"Kalea... Kamu kenapa Sayang? Apa masakan mama tidak enak?" kata Audrey menuang susu hangat di gelas milik Zion.

"Udah ma. Sejak pagi Kalea udah kayak gitu, entah karena apa Zion juga gak tau," tutur Zion menyudahi sarapannya.

Kalea menunduk dengan wajah datar dan mulutnya masih mengunyah pelan roti isi selai kacang.

Bagas hanya menarik napas berat lalu menyeruput kopi hitamnya, sontak mereka menoleh pada Kalea bersamaan saat sendok di tangan gadis itu menghantam meja. Alih-alih ingin bersuara, Papanya menutup rapat bibirnya saat gadis itu melayangkan tatapan sinis lalu pergi meninggalkan meja makan menuju pintu yang terbuka lebar disana.

"Kalea..." panggil Audrey.

"Biarkan saja," seru Bahas pada istrinya.

***

Di sekolah juga sama, gadis itu sudah seharian penuh tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia yang biasanya bergabung dengan anak-anak Vesarius mendadak menjauh membuat sebuah pertanyaan besar dalam benak Gabriel dan begitu pun dengan Zion.

Keduanya sempat merasa aneh saat Kalea tertawa riang dengan kedua sahabatnya, sementara mereka melihatnya saja tidak, seakan mereka itu adalah benda yang paling menjijikkan.

Pulang sekolah Kalea yang berniat mengajak Letta dan Ana ke kafe mendadak menolak karena ada urusan keluarga. Hal itu Kalea maklumi.

"Maaf iya Lea, gue gak bisa temanin lo, mendadak Mami gue ngajak ke rumah Oma," ujar Letta meraih tas sekolahnya dari kursi lalu melampirkannya dibahu.

Ana juga sama, gadis itu harus menemani Kakaknya belanja untuk keperluan babynya yang berusia satu tahun.

Mereka pun keluar dan berjalan menuruni anak tangga menuju parkiran. Sekolah sudah tidak terlalu ramai lagi, karena sudah 15 menit bel berbunyi.

"Kita duluan pulang ya..." ujar keduanya melambaikan tangan.

"Iya hati-hati kalian."

Kalea melambaikan tangannya kemudian berbalik menuju parkiran sekolah. Mobil yang diantar supir rumahnya sudah berada di parkiran sekolah.

Kalea masuk dan meletakkan tasnya dikursi sampingnya. Tangannya meraih paper bag berukuran sedang berisi pakaian, kotak sepatu dan tas keci lalu menanggalkan seragamnya. Ia tidak perlu takut ada yang mengintipnya kaca mobilnya tembus pandang khusus mobilnya saja.

Balutan dress bermotif bunga-bunga, sepatu booth berwarna abu-abu dan sling bag hitam membuat penampilannya begitu elegan dan memukau.

Segera ia keluar dari pekarangan sekolah dan melaju membelah jalanan Ibu kota yang ramai akan kendaraan lain. Kafe Bintang—kafe tersebut adalah milik keluarga Kalea.

Para pegawai tersebut juga sangat mengenal gadis itu. Ayahnya-Bagas sudah menjadikan Kalea sebagai pemilik Kafe tersebut. Namun, ia tidak menginginkan hal itu terjadi.

Ketika Kalea keluar dari mobil, pegawai kafe tersebut membukakan pintu untuknya. Dengan rasa hormat mereka menunduk dengan kehadiran Kalea. Ia selalu duduk di tempat ternyaman yaitu di sudut kafe menghadap taman bunga yang begitu indah.

"Permisi, Nona Kalea. Anda ingin memesan sesuatu?" tanya pegawai baru di kafe tersebut.

"Kamu siapa?" tanya Kalea balik seraya mengerutkan dahi. "Saya belum pernah melihat kamu disini?"

Tiba-tiba seorang wanita datang dengan memegang nampan di tangannya, menunduk kearah Kalea dan tersenyum. Gadis itu adalah orang kepercayaan Kalea untuk mengurus kafe ini selama ia tidak bisa datang. Gadis berambut ombre sebahu juga bulu mata yang lentik.

"Maaf Nona Kalea. Dia Angga, pegawai baru di kafe ini. Maafkan atas kesalahan saya, saya tidak ada waktu mengabari nona dengan karyawan baru kita, ucap Lara pegawai yang sudah bekerja selama lima tahun di tempat itu.

"Oh, ya sudah tidak papa Kak Lara, lanjutkan aja pekerjaan kakak," ujar Kalea. Lara berlalu dari sana, tapi gadis itu masih mengintip dari balik pintu dapur.

"Sebelumnya perkenalkan. Saya Kalea, pemilik kafe ini—sebenarnya bukan," kekehnya. "Panggil Kalea saja dan jangan panggil dengan sebutan Nona, aku tidak menyukainya."

"Baik, Non—eh maksud saya, Klaea."

"Kerena kamu pegawai baru, pasti kamu harus tahu apa yang kusuka, bukan begitu?" tanya Kalea menatap laki-laki itu yang sedikit pemalu menatap dirinya.

Laki-laki bernetra hitam pekat dan yang membuat Kalea betah menatapnya adalah wajah laki-laki itu begitu baby face.

"Aku penyuka cappucino dengan sedikit gula," ujarnya lalu menyuruh Angga mendekat.

"Aku penggila cake cokelat, brownies dan semuanya berbahan cokelat. Jangan sampai lupa ya," bisik Kalea tertawa menutup mulutnya membuat Angga tertawa dengan pandangannya teralih ke arah lain. Jujur saya, ia sedikit canggung dengan Kalea yang tertawa seperti itu.

"Baiklah Kalea, akan selalu saya ingat."

"Terimakasih. Kamu bisa bekerja mulai hari ini. Fighting Angga." Kalea mengepal tangannya tanda semangat buat cowok di depannya. Ketika Angga berbalik menuju dapur, pegawai lainnya langsung menginterogasinya.

"Gimana gimana?" celoteh laki-laki jangkung berambut gondrong dengan bagian atasnya diikat cepol.

"Yaelah, malah diam bae. Lo dipecat?" tuduhnya membuat Angga menginjak kaki temannya itu.

"Apa aja yang Nona Kalea katakan?"

"Jawab dong Ga, gimana sih?" kesal mereka membuat Lara menggulum senyum.

Tidak mudah bagi Kalea untuk memecat seseorang yang belum pernah ia temui. Sejauh ini, itu yang ia tahu tentang Kalea. Angga memutar bola matanya malas. Ingin menjawab, tapi diserbu dengan banyak pertanyaan. Benar-benar kepo akut.

"Oke, gue jawab. Gue sama sekali gak kena marah ataupun dipecat. Nona Kalea cuman jelasin kalau dia gak suka dipanggil nona. Dan dia penyuka cappuccino serta kue cokelat."

Semuanya menghela napas. Sudah mereka duga kalau Kalea tidak akan sesuka hati memecat pegawai baru di kafe ini.

Dari luar Kafe tampak seorang pria dengan setelan jas rapi berwarna hitam sedang mengedarkan pandangannya mencari kursi kosong. Ya, manik cokelat terang itu mengarahkan pandangannya tepat dibawah nyala lampu terang, terlihat seseorang sedang duduk sendiri disana. Pria itu melangkah pasti menjinjing tas kantornya.

"Permisi Nona..." sapa pria itu. Kalea mendongak dan menatap lekat pria di hadapannya. Bagaikan kaset usang, juga memori lama berputar cepat dikepala membuat Kalea menelan salivanya kasar lalu mengerjapkan matanya berulang kali. Udara disekitarnya spontan menghilang.

Ia menarik napas dalam. "Iya Pak, ada yang bisa saya bantu?" tanya Kalea terbata-bata dan benar-benar kaget menatap kedatangan pria itu. Rasanya ia ingin pergi dari tempat itu sekarang juga. Tapi ia mencoba untuk bersikap biasa saja.

"Apa Nona sedang menunggu seseorang?" tanyanya memastikan gadis itu. Karena sejauh ia lihat Kalea sendiri duduknya.

"Ah, tidak. Saya sendirian Pak."

"Kalau begitu boleh saya duduk disini?" seru pria itu lagi. Tanpa pikir panjang Kalea mengiyakan.

"Silahkan..." tutur Kalea mengulurkan tangannya ke arah kursi di depannya.

Kalea terus saja mengamati pria yang duduk di hadapannya. Terbesit rasa rindu yang luar biasa, tapi semua itu tidak ada bandingannya dengan apa yang pernah pria itu lakukan padanya.

"Kamu masih sekolah?" tanyanya membuat dahi gadis itu berkerut. Kalea mangut-mangut.

"Saya masih sekolah di SMA Bintang. Saya masih kelas sebelas Pak," kata Kalea mengulas senyum.

"Wahh... benarkah? setahu saya sekolah itu sekolah mahal dengan siswa berprestasi."

"Iya bisa dikatakan seperti itu Pak," ujar Kalea.

Pria paruh baya itu hanya mengangguk saja lalu tangannya terangkat seraya menoleh pada pelayan Kafe. Pria itu hanya memesan kopi hitam.

Pria paruh baya itu menatap Kalea begitu lekat. Seolah-olah ia mengenal dekat gadis di hadapannya itu. Merasa diperhatikan, Kalea mengangkat kepalanya lalu tersenyum.

"Saya memiliki seorang putri, tapi dia itu selalu membuat saya terbebani," kata pria itu curhat pada Kalea.

Ia mendengar semua cerita pria di hadapannya. Begitu jelas. Tapi ia benar-benar tidak ingin peduli lagi dengan semua yang pria tua itu katakan. Jauh dari dalam lubuk hatinya ia benci dengan orang pria itu. Orang yang pernah mengusir, menamparnya keras dan mengulurkan sepatah kata kalau dia tidak akan pernah menganggapnya putrinya lagi.

"Tidak baik berkata seperti itu Pak, maksud saya mungkin hal itu terjadi karena orangtua yang salah membimbing anaknya. Orang tua itu tidak selalu benar, makanya baiknya ditanya kembali pada anak yang bersangkutan. Tidak semua juga saya lihat orang tua mau mendengar anaknya..."

"Kalau begitu saya permisi iya ya pak..."

"Tunggu sebentar..."

"Iya?" Kalea menoleh ke belakang.

"Boleh kita bertemu lagi di tempat ini!?" tanyanya seperti sebuah permohonan kecil pada Kalea.

"Tentu saja. Saya datang ke sini setiap rabu dan jumat. Datanglah jika bapak ingin mengobrol sesuatu."

"Baiklah. Hati-hati di jalan ya Nak."

Kalea berjalan gontai ke luar kafe menuju mobilnya. Ia berusaha menghirup udara sebanyak mungkin. Ia tak tahan lagi, tak kuat dengan apa yang dia rasa. Segera ia menyalakan mobilnya, menginjak pedal gas dan melaju cepat menuju rumahnya.

Tak butuh waktu lama, gadis itu turun dari mobil mendorong keras pintu rumah seraya memegang kepalanya yang amat sakit. Audrey yang berada di kamar segera keluar sesaat setelah mendengar suara mobil memasuki garasi rumah.

Suara pintu yang terbuka begitu keras mengagetkan Audrey. Ia melihat Putrinya—Kalea sepertinya menahan sakit. Buru-buru wanita itu melangkah cepat seolah akan terjadi sesuatu yang buruk.

"Ma..." ucapnya lirih. Audrey segera menuruni anak tangga dengan cepat. Memegang punggung Kalea yang bergetar dan wajah memucat ditambah bola mata gadis itu mulai berkaca-kaca.

"Kenapa sayang? Apa kamu yang sakit? Katakan pada Mama..."

"Pria itu ma, Ayah Lea—Lea bertemu dengannya di kafe."Audrey tersentak.

"Siapa? Ayah yang mana!?" ujar Audrey sekali lagi. Ia tak tahan melihat putrinya menahan rasa sakitnya. Tiba-tiba Kalea ambruk tak sadarkan diri di pelukan Audrey.

Wanita itu berteriak kencang memanggil Bi Ina dari dapur. Bi Ina berlari menuju ruang tamu saat mendengar majikannya berteriak histeris. Bi Ina terkejut saat Nona nya tergeletak di lantai.

"Apa yang terjadi, Nyonya?!" panik Bi Ina berjongkok seraya menatap wajah pucat Kalea.

"Panggilkan sopir Bi, cepat!!"

"Baik, Nyonya."

Mobil Audi hitam itu melaju kencang di tengah keramaian kota. Senja di ufuk timur mulai menunjukkan dirinya pertanda malam akan tiba. Audrey panik saat napas putrinya tidak beraturan. Kepanikan semakin menjadi saat lampu merah menahan jalan mereka.

"Cepat Pak!!" pekik Audrey

"Baik, Nyonya..."

"Telepon bapak Bi, cepat!" seru Audrey menoleh pada Bu Ina yang duduk di sebelahnya.

"Tuan sedang dalam perjalanan, Nyonya."

Untung saja Rumah sakit yang mereka tujuh adalah rumah sakit keluarga Adiwijaya. Dengan cepat dokter Arman memeriksa kondisi Kalea, sedangkan Audrey menunggu di luar.

***

"Bagaimana Man keadaan putri saya," tanya Audrey pada Arman yang jelas pria mengenakan jubah putih itu adalah adik suaminya sendiri.

"Kalea mengalami Trauma Stress Disorder (PTSD). Apa Kalea baru saja bertemu seseorang yang memaksa ingatan masa lalunya muncul kembali?"

"Iya—dia tadi sempat mengatakan bahwa dia bertemu seseorang, kalau tidak salah dia menyebut pria itu ayah..." jelas Audrey membuat Arman mengangguk bahwa hal itulah penyebab Kalea—keponakannya mendadak sakit dan jatuh pingsan.

"Saya harap kamu mengerti apa itu Trauma Stress Disorder, Audrey..." tutur Arman padanya.

"Ada baiknya kalian menjauhkan Kalea dari orang-orang masa lalunya. Saya merasa bahwa mereka sudah berada di kota ini dan semua itu akan mempengaruhi psikis keponakanku. Berhati-hatilah jika kita tidak ingin gadis itu kembali dengan keluarga masa lalunya."

"Bukannya Anggoro salah satu rekan bisnismu?" Kali ini Arman bertanya pada Bagas. Pria itu mengangguk dengan kedua tangan disaku celana hitamnya.

"Dia cuman rekan bisnis saja, apa masalahnya?"

"Kau tidak tahu apa yang bisa istri pria itu lakukan pada putrimu? Ingat lagi apa yang sudah ia lakukan sewaktu kecil pada adiknya Kalea. Saya harap kamu tidak terlalu lama menutup kebenaran sebenarnya. Saya permisi..." tutur Arman seraya menepuk pundaknya lalu berlalu dari sana.

Kehadiran Zion, Gabriel dan lainnya membuat lorong rumah sakit tepatnya di depan ruangan Kalea ramai akan kedatangan mereka. Audrey menatap wajah Zion dengan bulir air mata tersisa disudut mata.

"Adik mu mengalami trauma masa lalu. Ia sempat bertemu ayahnya di kafe," ujar mamanya

"Batalkan proyek kerja sama kita dengan perusahaan mereka, secepatnya."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!