Bumirang Tunggak Jagad terlahir dengan menanggung kutukan karmaphala yang turun temurun diwariskan oleh leluhurnya. Di sisi lain, dia juga dianugerahi keistimewaan untuk bisa menghapus karmaphala tersebut karena terlahir dari satu-satunya keturunan perempuan. Dia juga dianugerahi wahyu agung oleh semesta karena pengorbanan kedua orang tuanya.
Dia harus mengembara sambil menjalani berbagai macam tirakad serta melakukan banyak kebajikan sebagai upaya untuk menghapus karmaphala bawaan tersebut. Pemuda itu pun disinyalir sebagai utusan semesta yang akan meruntuhkan sang penguasa lalim.
Akan tetapi, musuh yang harus dia hadapi tidak hanya sang raja lalim beserta para pengikutnya, tetapi juga dirinya sendiri. Dirinya yang penuh amarah, Baskara Pati
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Altairael, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERJALANAN YANG MENYENANGKAN
Keesokan paginya ketika Bumirang dibangunkan oleh kicau burung yang bertengger di kepalanya sambil mematuk-matuk kain ikat rambut, hal pertama yang menyambut pandangan adalah, Kamandaka dan Kidung Kahuripan yang berdiri di hadapan sambil menyodorkan buah-buahan hutan.
"Lihatlah, Raden. Aku memetik sendiri buah-buahan ini untuk Raden." Kidung Kahuripan berceloteh riang dan bangga karena sudah berhasil mengumpulkan banyak buah berwarna ungu sebesar ibu jari tangan.
Kamandaka yang di atas tangannya terdapat beberapa jambu air berwarna merah gelap, mencemooh Kidung Kahuripan, "Aku sudah bilang itu tidak bisa dimakan. Buang saja."
"Kamu bilang begitu hanya untuk membodohi aku, kan? Kamu iri karena buah yang aku petik lebih banyak." Kidung Kahuripan melotot pada Kamandaka.
"Kamandaka ...."
Namanya disebut oleh Bumirang dengan nada memperingatkan, Kamandaka yang sudah membuka mulut hendak menyangkal tuduhan Kidung Kahuripan pun akhirnya tidak jadi bicara. Seperti anak kecil dia cemberut dan mengembungkan pipinya.
Bumirang tersenyum geli sambil bangkit dari duduk. Dia menghampiri Kidung Kahuripan dan mengambil salah satu buah, lalu mengamati dan mengendusnya. Warnanya ungu cerah, bergetah putih kapur, beraroma menyengat dan terasa lengket. Itu buah beracun yang bahkan ular pun tidak akan memakannya.
Melihat wajah Bumirang sangat serius, bahkan dahinya sesekali juga mengernyit, Kidung Kahuripan menjadi khawatir. "Raden, buahnya bisa dimakan, kan?" tanyanya dengan nada ragu.
Setelah menaikan pandangan dan bertemu tatap dengan Kidung Kahuripan, Bumirang tersenyum dan berkata, "Ini buah beracun. Kamu belum memakannya, kan?"
Mata Kidung Kahuripan mebelalak. "Hah! Jadi benar tidak bisa dimakan? Aku belum memakannya karena ingin memberikannya pada Raden terlebih dahulu."
"Oh, jadi Bumirang mau dijadikan alat uji coba. Gitu?" Kamandaka dengan gaya kekanakan memprovokasi Kidung Kahuripan.
"Bukan begitu!" Kidung Kahuripan berteriak sambil melemparkan semua buah yang ada di tangannya ke muka Kamandaka.
"Sudah cukup main-mainnya." Hanya dengan satu kalimat yang meluncur dari mulut Bumirang, keduanya langsung berdiri kaku di tempat dan Bumirang pun menambahkan, "Kamandaka, kamu begitu pintar bisa membedakan buah beracun dan tidak. Jadi, mulai sekarang tugasmu mengajari Kahuripan."
Setelah itu, Bumirang terkekeh ringan sambil melangkah pergi. Kamandaka serta Kidung Kahuripan pun melupakan perselisihan dan berlari mengejarnya.
Kamandaka berniat membagi makanannya dengan Bumirang, tetapi ditolak, akhirnya dia pun berbagi dengan Kidung Kahuripan. Bumirang yang sudah terbiasa dengan perut kosong hanya meminum beberapa teguk air saja untuk membasahi kerongkongan.
Berjalan sambil mengunyah, Kamandaka dan Kidung Kahuripan pun tidak henti-hentinya mengoceh dan tertawa-tawa. Keduanya selalu berkelakuan seperti anak kecil. Sebentar bertengkar, tidak lama kemudian berbaikan, lalu bertengkar lagi dan di saat-saat tertentu sangat kompak melakukan kekonyolan yang membuat geleng-geleng kepala.
Ketika hari menjelang sore, giliran Bumirang yang berjalan di belakang, sedangkan Kamandaka dan Kidung Kahuripan berlomba di depannya.
Berjalan santai seperti seorang kakak sulung sedang mengasuh kedua adiknya, Bumirang tidak henti-henti tersenyum menyaksikan Kamandaka dan Kidung Kahuripan berlomba untuk menentukan siapa yang paling cepat sampai di tepi hutan.
Setapak belantara bukanlah medan aman untuk melangkah serampangan atau berlari terlalu cepat, akibatnya Kamandaka tersungkur karena tersandung akar yang tertutup rimbunnya rumput menjalar. Kidung Kahuripan terbahak-bahak sambil mempercepat laju larinya.
"Yuhu! Aku pasti menang!" Gadis itu berteriak sambil mengacungkan kedua tinjunya ke udara.
Di ujung jalan, lengkung siluet pintu belantara sudah semakin jelas. Kidung Kahuripan sangat yakin Kamandaka tidak akan bisa menyusulnya, apalagi mendahului. Namun, dia yang terus fokus menatap ke depan tidak tahu, begitu bangun, Kamandaka langsung berlari masuk ke dalam rimbunnya semak-semak, supaya tidak terlihat oleh Kidung Kahuripan.
Larinya sangat cepat hingga tahap tidak wajar. Dalam beberapa kali kedipan saja dia sudah berhasil menyusul Kidung Kahuripan dan beberapa kedipan berikutnya sosoknya sudah muncul di ujung setapak belantara sambil melonjak-lonjak kegirangan.
"Hiaaa! Aku yang menang! Aku yang menang! Aku yang menang!"
Tidak mungkin ....
Kidung Kahuripan sempat melebarkan mata tidak percaya, setelanya langsung cemberut dan tidak berlari lagi. Dia berjalan acuh tak acuh sambil membuang muka.
"Hei, Kahuripan! Aku yang menang, sesuai perjanjian sesampai desa nanti jatah makan Bumirang jadi milikku!"
Kamandaka berlari-lari menghampiri Kidung Kahuripan tanpa berpikir jika hal itu bakal memutar balik keadaan. Kidung Kahuripan yang tidak suka kalah pun memanfaatkan kesempatan yang datang. Begitu Kamandaka mendekat dia langsung mendorongnya sampai jatuh, kemudian berlari secepat-cepatnya dengan sedikit bantuan ilmu meringankan tubuh.
"Kahuripan curang! Bumirang makananku!" Kamandaka meraung dan merengek seperti anak kecil sambil menatap Bumirang yang tengah melintas di depannya.
"Percuma berpura-pura, aku sudah tau yang sebenarnya. Bangun." Bumirang berbicara sambil terkekeh ringan, tetapi tidak menoleh ke arah Kamandaka sama sekali.
Sambil mengacak rambut dan cengengesan Kamandaka pun bangun, lalu berjalan di samping Bumirang. Dia pun sebenarnya sudah tahu bahwa kemarin malam Bumirang sempat mendengar percakapannya dengan jiwa Kamandaka yang asli. Dia juga tahu Bumirang tidak mengambil kesempatan untuk mencuri dengar lebih banyak.
"Jatah Bumirang tetap untukku! Dasar curang!" Kamandaka berteriak sambil mengacungkan tinju kepada Kidung Kahuripan.
Kidung Kahuripan menjulurkan lidah dan menggoyangkan kepala. "Weeek, tidak bisa! Kan, aku yang menang! Week!"
"Bisa-bisanya." Bumirang bergumam, setelahnya kembali terkekeh ringan. "Tapi, aku ucapkan terima kasih karena sudah menjadi teman yang baik untuk Kahuripan."
Kamandaka maju, lalu berjalan mundur tepat di depan Bumirang sambil mengoceh, "Kamu tidak bermaksud mengatakan aku tidak cukup baik untuk jadi temanmu, kan?"
"Setidaknya sekarang kamu tidak akan merepotkan lagi." Lagi-lagi Bumirang terkekeh dan Kamandaka pun tergelak-gelak.
Andai Bumirang belum tahu kebenarannya, dia pasti akan memperingatkan Kamandaka supaya jangan berjalan mundur seperti itu karena berbahaya. Namun sekarang, setelah mengetahui bahwa teman seperjalanannya itu tidak hanya waras, tetapi juga memiliki ilmu karunagan yang cukup tinggi, dia tidak perlu lagi mengkhawatirkannya.
Walaupun masih belum tahu dengan pasti jiwa macam apa yang berada di dalam tubuh Kamandaka, tetapi Bumirang sudah menemukan jawaban tentang misteri kabut tebal yang selama ini sulit ditembusnya. Seperti kabut tebal yang menyelimuti jiwa Kamandaka, peran jiwa itu adalah untuk melindunginya. Bukan parasit seperti Kidung Tilar yang hidup dari menghisap kemurnian jiwa Kamandaka.
Untuk Kamandaka sendiri mulai sekarang tidak perlu lagi berpura-pura gila di hadapan Bumirang.
cucunda Bumirang ada di dekatmu sekarang
🤣🤣🏃🏃🏃🏃