Istri Darurat Pewaris Takhta Konglomerat

Dewa mungkin terlihat tidak serius bekerja. Setelah memastikan meja dan kursi yang hendak ditempati Tari aman, dia memilih duduk agak jauh. Namun, bukannya fokus memantau bosnya dari jauh, Dewa justru bermain game dengan ponselnya.

Dewa juga abai saat kekacauan mulai terjadi. Sempat melirik sebentar, kemudian lanjut main gim lagi.

Namun, begitu melihat Tari berdiri, Dewa langsung siaga. Dibanding bodyguard lainnya, Dewa memang paling jarang ditugaskan menjaga Tari secara diam-diam selama ini. Namun, para senior sering bercerita tentang betapa uniknya seorang Tari. 

"Mending jangan ikut campur biar kitanya nggak repot," gumam Dewa yang kembali sibuk dengan gawainya.

Detik berikutnya, Dewa menghela napas.

Mengabaikan setiap pasang mata yang menjadikannya pusat perhatian, Tari berjalan cepat menuju area konflik.

Dewa akhirnya ikut berdiri, tetapi tidak langsung menyusul. 

"Wah, kayaknya bakal seru," katanya sambil tersenyum lebar.

Untuk seseorang yang setahu Dewa tidak mengerti caranya berkelahi, Tari sungguh berani. Siapa sangka perempuan itu bahkan bisa menahan tangan si pria kasar saat hendak memukul korban lagi.

"Saya harus ikut campur. Anda sudah keterlaluan, jadi saya wajib ikut campur."

Dewa refleks tepuk tangan tanpa suara ketika mendengar ucapan Tari yang menurutnya sangat keren. 

"Oke, saatnya kerja," ujar sang bodyguard begitu melihat si pembuat onar mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

Dengan satu tangan yang masih memegang ponsel, Dewa berlari ke arah titik keributan. Tanpa pikir panjang, Dewa lalu mendorong keras punggung pria itu dari belakang.

Dewa sengaja cuma pakai kaki kiri agar kekuatannya tidak maksimal. Walau begitu, lawannya mungkin terlalu lemah. Baru begitu saja sudah jatuh tersungkur.

"Sampai ada lecet sedikit saja, nyawa Anda taruhannya."

Ekspresi Dewa tampak sangat serius dan terasa mengintimidasi, tetapi cuma bertahan beberapa detik. Senyum manis kembali tercetak di bibir Dewa begitu dia menoleh ke arah Tari yang terlihat syok karena melihat perbuatannya.

"Maaf, saya harus cepat bertindak sebelum Bu Tari kenapa-kenapa," kata Dewa sambil menundukkan kepalanya.

Pada saat bersamaan, pria yang didorong Dewa susah payah bangkit. Matanya menatap Dewa nyalang, marah luar biasa.

"Kurang ajar!"

Sambil berteriak, pria itu melayangkan tinju ke arah Dewa yang masih tertunduk memberikan hormat pada Tari.

Meski demikian serangan itu terlalu remeh untuk Dewa. Hanya dengan satu tangan dan tanpa menoleh sedikit pun, Dewa bisa menahan tinju pria tersebut, mencengkeram lengan sang lawan, lalu memelintirnya hingga pria itu merintih kesakitan.

"Jangan kasar sama perempuan. Minimal cari lawan yang sepadan. Mau lanjut di luar?"

Seketika seluruh kafe riuh dalam tepuk tangan dan sorak-sorai. Semua orang tampak bersemangat karena akhirnya ada orang yang berani melawan si pria kasar.

*** 

"Mereka pasangan kekasih, bertengkar karena si cowok kecanduan judi online. Uang tabungan yang mestinya untuk pernikahan mereka ludes. Si cowok juga nekat pinjol buat lanjut main judi, dan jahatnya, pakai nomor kartu identitas pacarnya."

Sambil menyetir mobil, Dewa menjelaskan informasi yang dia dapat tentang insiden di kafe. Sementara, Tari dan Sandra yang duduk di belakang menyimaknya dengan penuh perhatian.

"Si cewek udah berkali-kali bantu si cowok bayar utang pinjol itu, tapi akhirnya menyerah. Selalu janji bakal berubah, tapi ujung-ujungnya pinjol lagi, judi lagi. Dia minta putus, tapi cowoknya nggak mau dan malah marah-marah nggak jelas kayak tadi."

Dewa selesai bicara dan keadaan di mobil hening seketika. Sandra dan Tari cuma diam saling memandang, memikirkan hal yang sama. Mereka dejavu karena ternyata ada huru-hara pinjol di balik keributan tadi.

"Dia dapat teror horor kayak aku juga, nggak, ya?" tanya Tari dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

"Tapi mau kayak apa pun bentuk terornya, kasian banget, San. Bukan kita yang main pinjol, tapi kenapa kita yang mesti kena getahnya? Orang-orang kenapa bisa sejahat itu, sih?"

Sebelum tangis sahabatnya pecah, Sandra buru-buru memeluk Tari. Benar saja, Tari langsung menangis sejadi-jadinya, bahkan mengabaikan fakta bahwa ada orang lain yang sedang bersama mereka di mobil.

"Sandra, apa aku minta bantuan Raka buat balas dendam aja, ya …?"