Penasaran dengan cerita nya lansung aja yuk kita baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16: Kancing Emas dan Rahasia di Baliknya
Cahaya lampu studio berpendar pada kancing emas pemberian Damar. Arini memutar benda kecil itu di antara jempol dan telunjuknya. Bentuk bunga bakung itu begitu presisi, mengingatkannya pada kejujuran yang langka di dunia yang penuh kepalsuan. Namun, di saat yang sama, rasa trauma akibat pengkhianatan Adrian masih terasa seperti duri yang tertanam di balik kulitnya. Setiap kali ia ingin merasa nyaman, duri itu akan menusuk, mengingatkannya pada rasa sakit yang hampir menghancurkannya.
Arini memutuskan untuk menjahit kancing itu pada kerah gaun merah marunnya. Bukan sebagai simbol cinta pada Damar, melainkan sebagai tanda bahwa ia adalah pemilik penuh atas setiap detil hidupnya.
"Mbak Arini, ada tamu di depan. Dia tidak mau pergi sebelum bertemu Anda," suara asisten barunya, Sari, memecah keheningan.
Arini menghela napas. "Siapa? Jika itu wartawan, katakan aku tidak menerima wawancara hari ini."
"Bukan, Mbak. Dia mengaku sebagai pengacara dari keluarga besar Mas Adrian," jawab Sari dengan nada ragu.
Alis Arini bertaut. Adrian sudah di penjara, dan seluruh aset yang dikorupsi sudah dalam proses penyitaan. Apa lagi yang diinginkan keluarga pria itu? Arini bangkit, merapikan blusnya, dan berjalan menuju ruang tamu dengan langkah yang mantap.
Di sana duduk seorang pria paruh baya dengan tas jinjing kulit yang kusam. Ia tidak tampak seperti pengacara papan atas. Begitu melihat Arini, ia segera berdiri dan membungkuk hormat.
"Ibu Arini, nama saya Baskara. Saya datang bukan untuk membela Adrian," ujar pria itu sebelum Arini sempat membuka suara. "Saya datang untuk menyerahkan amanah dari mendiang ayah Adrian yang baru saja saya temukan di brankas lama keluarga."
Arini mengerutkan kening. Ayah Adrian telah meninggal tiga tahun lalu, seorang pria pendiam yang sepertinya selalu merasa malu dengan kelakuan putranya. "Amanah apa, Pak?"
Baskara mengeluarkan sebuah amplop tua yang sudah menguning. "Ayah Adrian tahu bahwa putranya adalah pria yang tidak bertanggung jawab. Sebelum meninggal, beliau menitipkan surat kepemilikan sebuah ruko di pinggiran kota dan sejumlah tabungan atas nama Ibu Arini. Beliau berpesan, jika suatu saat Adrian melakukan sesuatu yang menyakiti Ibu, harta ini harus diserahkan kepada Ibu sebagai bentuk permohonan maaf dari keluarga."
Arini menerima amplop itu dengan tangan yang sedikit bergetar. Saat ia membukanya, ia menemukan surat pendek dengan tulisan tangan yang gemetar: 'Arini, maafkan anakku. Gunakan ini untuk melanjutkan mimpimu saat dia mencoba memadamkannya.'
Air mata yang selama ini Arini tahan dalam setiap konfrontasi dengan Adrian, tiba-tiba jatuh menetes di atas kertas tua itu. Ia menyadari bahwa di tengah benang-benang khianat yang menjerat hidupnya, ada satu benang ketulusan dari seorang pria tua yang tidak pernah ia sangka.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Damar masuk: 'Aku tahu hari ini berat bagimu. Jangan lupa melihat ke jendela. Salju mungkin tidak turun di Jakarta, tapi langit malam ini sangat cerah.'
Arini berjalan menuju jendela besar studionya. Di bawah sana, di seberang jalan, ia melihat mobil Damar terparkir. Pria itu bersandar di sana, menatap ke arah jendela Arini sambil melambaikan tangan perlahan.
Arini merasa seperti selembar kain yang baru saja dibilas bersih. Pedih, namun segar. Ia menyadari bahwa hidupnya bukan hanya tentang membuang yang buruk, tapi juga tentang belajar menerima kembali kebaikan yang tersisa. Ia mengambil kancing emas bunga bakung di atas meja, menatapnya sekali lagi, lalu tersenyum tipis.
Luka itu memang tidak akan hilang, tapi Arini mulai belajar bahwa ia tidak perlu menjahitnya sendirian. Ada benang-benang baru yang sedang mencoba masuk ke dalam pola hidupnya—benang yang lebih kuat, lebih murni, dan mungkin, akan membawanya pada kebahagiaan yang sebenarnya.