Sikap anak dan suami yang begitu tak acuh padanya membuat Aliyah menelan pahit getir segalanya seorang diri. Anak pertamanya seorang yang keras kepala dan pembangkang. Sedangkan suaminya, masa bodoh dan selalu protes dengan Aliyah yang tak pernah sempat mengurus dirinya sendiri karena terlalu fokus pada rumah tangga dan ketiga anaknya. Hingga suatu hari, kenyataan menampar mereka di detik-detik terakhir.
Akankah penyesalan anak dan suami itu dapat mengembalikan segalanya yang telah terlewatkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PAS 29
Bunda Naima telah pulang. Ia ingin menemani cucu-cucunya di rumah. Sementara sepulangnya bunda Naima, Amar pun langsung masuk ke ruangan dimana Aliyah berada. Ia duduk di kursi samping ranjang. Dipandanginya wajah pucat Aliyah, dalam hitungan detik, tangisnya pun pecah. Tubuhnya bergetar hebat. Ingatan akan masa lalu dimana kejadian hampir serupa membayanginya. Bagaimana Aliyah tiba-tiba kehilangan nafasnya setelah melahirkan. Pendarahan hebat membuatnya lemas hingga menutup mata selamanya.
Amar menangis dan meraung. Ia yang begitu mencintai Aliyah benar-benar ketakutan akan kehilangan selamanya. Amar terus-menerus mengguncang tubuh Aliyah. Ia tak ingin kehilangan cintanya. Amar sampai berjanji, bila diberikan kesempatan, ia akan menjadi pelindung dan penjaga Aliyah. Ia akan selalu setia membersamainya hingga saatnya tutup usia.
Beruntung keajaiban datang hingga akhirnya jantung Aliyah kembali berdetak. Amar merasa amat sangat bahagia. Tak lupa sujud syukur ia lakukan atas keajaiban yang luar biasa.
Awal-awal kelahiran Nana, euforia masih begitu kentara. Amar selalu menjadi suami dan ayah yang siaga. Amar juga tak sungkan-sungkan membantu pekerjaan Aliyah.
Namun seiring waktu berlalu, sikapnya perlahan berubah. Lambat laun, Amar jadi acuh tak acuh. Tak ada lagi Amar yang senang membantu sang istri. Ia justru jadi sosok yang suka memerintah. Selalu ingin dilayani. Tak peduli sedang sakit, lelah, sibuk, atau mengantuk. Yang ia pentingkan apa yang ia inginkan, apa yang ia butuhkan, semua harus ada dan tersedia. Terlalu sering menuntut kesempurnaan sampai lupa kalau istrinya itu juga manusia biasa. Jauh dari kata sempurna. Namun biar begitu, Aliyah selalu berusaha menjadi seperti yang suaminya mau. Meskipun pada akhirnya ia gagal hingga harus menelan kekecewaan.
Tangis Amar kian pecah. Tak henti-hentinya ia menyesali segala salah dan dosanya pada Aliyah. Mengapa ia bisa lupa akan janji-janjinya? Mengapa ia bisa lalai akan tugas dan kewajibannya sebagai seorang suami? Mengapa ia mengabaikan istrinya yang sempurna selama ini?
"Al, maafin, Mas, Sayang. Kesalahan dan dosa Mas pasti besar banget. Pasti kau enggan memaafkan, Mas? Mas tak apa, Sayang. Mas rela kau benci. Kalau perlu, pukul Mas, caci maki Mas tak apa. Tapi ... Mas mohon, bangunlah. Jangan tinggalkan Mas, Sayang. Mas tidak sanggup. Mas lebih baik mati daripada harus kehilanganmu. Mas mohon, Sayang, bangunlah. Berikan Mas kesempatan satu kali lagi, Mas mohon. Mas berjanji, kali ini Mas akan menepati janji Mas. Mas akan selalu ada untukmu, menjagamu, melindungi mu, menemanimu hingga ke ujung usiamu. Bila Mas sampai ingkar janji lagi, kamu boleh lakukan apa saja. Mau kau bunuh pun, Mas rela," ucapnya tersedu-sedu sambil mengecup punggung tangan Aliyah. Tetesan air matanya sampai jatuh membasahi punggung tangan itu. "Al, bangun, Sayang. Bangun. Al, Mas sayang kamu. Mas cinta kamu. Jangan hukum Mas seperti ini, Sayang. Bangunlah."
Amar terus menangis. Bahkan ia sampai tertidur dengan kepala memeluk tangan Aliyah. Tanpa ia sadari, setetes air mata mengalir dari sudut mata Aliyah yang terpejam.
...***...
"Am, kamu nggak mau telepon orang tua Aliyah di kampung? Bagaimanapun mereka mesti tahu bagaimana keadaan putri mereka," ujar Bunda Naima yang kembali mengunjungi Aliyah di rumah sakit. Ketiganya ikut serta, tapi karena mereka masih anak-anak, Hadi mereka tidak diizinkan masuk ke gedung rumah sakit. Alhasil, mereka hanya bisa menunggu di taman rumah sakit ditemani adik Amar yang juga sudah berkeluarga. Setelah mendapatkan tentang keadaan Aliyah, adik perempuan Amar itupun menyusul sang ibu.
Ya, adik perempuan Amar tinggal serumah dengan ibunya. Ia tidak tega meninggalkan sang ibu seorang diri, jadi ia ikut tinggal di rumah sang ibu. Beruntung sang suami bijak dan mengerti. Ia tidak mempermasalahkan keinginan sang istri yang memang sangat menyayangi sang ibu.
Amar diam tak bergeming. Ia pun ingin melihatmu itu, tapi Amar sendiri takut untuk menyampaikannya.
"Jujur, Amar takut, Bun. Mereka pasti sangat marah dan kecewa setelah tahu apa yang sudah Amar lakukan pada Aliyah. Amar juga cemas bagaimana kalau orang tua Aliyah shock. Amar takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Amar harus apa, Bun. Cukup Aliyah yang menderita karena Amar, Amar tak ingin membuat kedua orang tua Aliyah ikut hancur setelah melihat keadaan putrinya," ujar Amar lirih.
Sudah satu Minggu berlalu, tapi belum ada perubahan sedikitpun pada Aliyah. Ia masih sama seperti sebelumnya. Sebaliknya, justru Amar yang tampak berbeda. Wajahnya jadi lebih tirus, matanya cekung, bibirnya kering hingga kulitnya mengelupas. Bahkan tubuhnya jadi lebih kurus. Selama menjaga Aliyah, Amar jadi sering melewatkan makannya. Ia hanya minum kopi agar tidak mengantuk. Lalu menghabiskan waktu dengan termenung sambil memegang tangan Aliyah. Berharap dengan begitu, Aliyah bisa merasakan hangat genggaman tangannya. Amar berharap Aliyah tahu kalau ia masih sangat mencintai dirinya.
Bunda Naima menghela nafasnya, "namun bagaimanapun, mereka harus tahu, Am. Siapa tahu dengan begitu, Aliyah bisa sadarkan diri. Tak ada yang tahu takdir yang akan terjadi bukan."
Ya, benar apa yang bunda Naima katakan. Tapi bagaimana bila justru sebaliknya lah yang terjadi. Aliyah justru melepaskan diri dan pergi selamanya setelah bertemu dengan kedua orang tuanya?
Amar menggeleng keras. Ia tidak mau hal itu terjadi.
"Tidak, Bun. Tidak untuk sekarang. Mungkin nanti. Tidak mungkin juga kan kita menyembunyikan hal sebesar ini dari meraka."
Bunda Naima mengangguk, "besok kau jadi masuk kerja?"
Amar mengangguk, "Amar akan titip Aliyah ke perawat. Bunda di rumah kami dulu untuk sementara, temani Gaffi dan Amri, bunda nggak papa kan?"
Bunda Naima mengusap punggung sang putra dengan tatapan sendu, "tak perlu khawatir. Fokus saja pada Aliyah. Tapi biar begitu, jangan lalai dengan kewajibanmu pada anak-anak. Mereka tetap membutuhkan mu. Aliyah tidak ada di rumah, mereka akan sangat sedih bila ayahnya juga mengabaikan mereka."
Amar mengangguk, "terima kasih, Bun. Maaf, di hari tua bunda, aku justru masih merepotkan bunda dengan mengurus anak-anakku. Amar tidak tahu lagi apa yang akan terjadi bila tidak ada bunda di sisi."
"Tak perlu sungkan. Bagaimanapun, kau tetap putra bunda. Bunda hanya bisa berpesan, mulailah membenahi diri. Dan karena besok kau mulai bekerja, ingat, jaga jarak dengan perempuan kemarin itu. Bunda bisa melihat kalau dia perempuan munafik. Dia bukan perempuan baik-baik. Jangan hanya karena perempuan seperti itu, kau kehilangan permata dalam hidupmu," pesan bunda Naima yang bisa melihat kalau Nafisa bukanlah perempuan baik-baik.
"Amar akan mengingat pesan bunda. Bahkan bunda pun bisa melihat bagaimana sifat asli Nafisa. Bodohnya aku yang sempat tertipu. Tapi kali ini tidak lagi. Aku ingin mencari tahu, apa sebenarnya tujuan mereka melakukan ini padaku. Termasuk berkas laporan itu. Kenapa aku curiga Budi lah yang menyabotase laporan itu? Aku harus menyelidikinya."
Sementara itu, di sebuah rumah yang cukup besar, tampak seorang pria paruh baya sedang termenung sambil menatap foto usang yang ada di tangannya. Sesekali laki-laki itu mengusap satu-persatu gambar orang yang ada di dalam foto tersebut dengan tatapan sendu.
"Apa kabar kalian? Kalian pasti sangat membenci ayah kan? Ayah rindu sekali dengan kalian. Apa kalian pun merindukan ayah?" gumamnya dengan tatapan nanar.
Saat sedang larut dalam lamunan akan masa lalu, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka.
"Papa," teriak seorang perempuan sambil berlari ke arah pria tersebut. Pria tersebut pun reflek menyembunyikan foto tadi di bawah bantal.
"Kamu pulang, Sa? Kenapa tidak bilang-bilang?"
"Papa lupa atau emang tadi nggak dengar, kan mama udah bilang putri kita akan pulang hari ini," sela sang istri yang ikut masuk ke dalam kamar.
"Papa kok nggak bilang lagi sakit?"
"Papa nggak papa kok. Cuma tekanan darah papa aja yang sedikit naik. Mama kamu sih, masak daging melulu."
"Lah, kok mama yang disalahin? Pekerjaan masak memasak kan urusan si mbok. Jadi salahkan aja si mbok yang masak," omel sang istri.
"Ya ampun, papa cuma bercanda aja kali Ma, nggak perlu sewot."
"Iya mama ih. Nggak ada selera humor banget."
"Kamu ya, selalu aja bela papa kamu."
Sang anak dan suaminya hanya terkekeh melihat ratu dalam rumah mereka mengomel.
"Oh ya, Sa, bagaimana? Kata kamu kalau mau kembali lagi mau bawa pacar kamu, kok nggak diajak?"
Sang anak terkekeh mendengarnya, "tenang aja, Pa. Ada kok. Nanti ya, kapan-kapan Fisa ajak ke mari. Tadi pulangnya Fisa buru-buru jadi lupa mau ajakin si dia."
Kedua orang tua dari Nafisa itupun mengangguk.
"Kalau bisa segera ya, Sa. Papa khawatir, tidak sempat menyaksikan pernikahanmu nanti."
"Papa bicara apa sih. Jangan ngomong kayak gitu lah. Fisa janji, dalam waktu dekat Fisa akan aja dia ke mari. Sekaligus lamaran."
...***...
...HAPPY READING ❤️❤️❤️...
𝐭𝐨𝐢𝐥𝐞𝐭 𝐩𝐞𝐫𝐭𝐦𝐚 𝐚𝐧𝐚𝐤 𝐫𝐚𝐡𝐢𝐦 𝐢𝐛𝐮
𝐝𝐨𝐚 𝐩𝐫𝐭𝐦𝐚 𝐚𝐧𝐚𝐤 𝐝𝐨𝐚 𝐢𝐛𝐮
𝐠𝐞𝐧𝐝𝐨𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐩𝐫𝐭𝐦 𝐚𝐧𝐤 𝐠𝐞𝐧𝐝𝐨𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐢𝐛𝐮
𝐛𝐚𝐡𝐤𝐚𝐧 𝐢𝐛𝐮 𝐥𝐚𝐡 𝐨𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐲𝐠 𝐩𝐫𝐭𝐦𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐚𝐲𝐚𝐧𝐠𝐢 𝐚𝐧𝐚𝐤𝟐𝐧𝐲𝐚 𝐦𝐬𝐤𝐢𝐩𝐮𝐧 𝐛𝐥𝐦 𝐭𝐚𝐮 𝐛𝐞𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐝𝐚𝐧 𝐫𝐮𝐩𝐚 𝐚𝐧𝐚𝐤 𝐧𝐲𝐚 😭😭😭😭😭
𝐜𝐢𝐫𝐢𝟐 𝐦𝐚𝐧𝐮𝐬𝐢𝐚 𝐭𝐮𝐫𝐮𝐧𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐣𝐣𝐚𝐥
𝐝𝐫𝐩𝐝 𝐡𝐝𝐮𝐩 𝐦𝐚 𝐬𝐮𝐚𝐦𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐚𝐧𝐤 𝐬𝐢𝐟𝐚𝐭 𝐧𝐲𝐚 𝐤𝐞𝐤 𝐝𝐚𝐣𝐣𝐚𝐥
𝐦𝐞𝐧𝐝𝐢𝐧𝐠 𝐣𝐚𝐧𝐝𝐚 𝐭𝐩 𝐛𝐚𝐡𝐚𝐠𝐢𝐚
𝐝𝐫𝐩𝐝 𝐩𝐧𝐲 𝐬𝐮𝐚𝐦𝐢 𝐭𝐩 𝐦𝐞𝐧𝐝𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚
𝐦𝐚𝐦𝐚𝐦 𝐭𝐮 𝐚𝐦𝐚𝐫 𝐬𝐮𝐤𝐮𝐫𝐢𝐧