NovelToon NovelToon
Pernikahan Paksa Sang Bangsawan

Pernikahan Paksa Sang Bangsawan

Status: sedang berlangsung
Genre:Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang / Pernikahan Kilat / Cinta Seiring Waktu / Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Tamat
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Nur Sabrina Rasmah

Pernikahan Emelia dengan Duke Gideon adalah sebuah transaksi dingin: cara ayah Emelia melunasi hutangnya yang besar kepada Adipati yang kuat dan dingin itu. Emelia, yang awalnya hanya dianggap sebagai jaminan bisu dan Nyonya Adipati yang mengurus rumah tangga, menemukan dunianya terbalik ketika Duke membawanya dalam perjalanan administrasi ke wilayah terpencil.
Di sana, kenyataan pahit menanti. Mereka terseret ke dalam jaringan korupsi, penggelapan pajak, dan rencana pemberontakan yang mengakar kuat. Dalam baku tembak dan intrik politik, Emelia menemukan keberanian yang tersembunyi, dan Duke Gideon dipaksa melihat istrinya bukan lagi sebagai "barang jaminan", melainkan sebagai rekan yang cerdas dan berani.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Sabrina Rasmah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

emelia yang cerdas

" Dasar gadis licik ", Duke berbicara sambil menggelengkan kepala nya

" Aku ingin di gendong", cicit emelia manja pada Duke

" Mari gadis kecil", Duke langsung menggendong emelia ala bridal style

Gideon membawa Emelia masuk ke dalam kastil, melewati lorong-lorong megah dengan langkah mantap. Emelia menyandarkan kepalanya di dada bidang Gideon, menghirup aroma maskulin suaminya yang bercampur dengan udara segar taman. Ketegangan yang dibawa oleh kedatangan Nyonya Bernie seolah menguap begitu saja, digantikan oleh kebahagiaan sederhana di antara mereka.

"Kau tahu," bisik Gideon sambil menunduk menatap Emelia, "Nyonya Bernie tidak akan tinggal diam setelah kejadian tadi. Dia sangat membenci rasa malu."

Emelia memainkan kancing kemeja Gideon dengan jarinya. "Aku tahu. Tapi setidaknya dia tahu bahwa aku bukan boneka yang bisa dia atur. Jika dia ingin perang etiket, aku akan melayaninya dengan cara desaku."

Gideon tertawa rendah, getarannya terasa hingga ke punggung Emelia. Ia membawa istrinya masuk ke dalam kamar dan dengan hati-hati membaringkannya di atas tempat tidur yang empuk. Namun, bukannya melepaskan, Gideon justru ikut menumpukan kedua tangannya di sisi tubuh Emelia, mengurungnya dalam tatapan yang intens.

"Berjanjilah satu hal padaku," suara Gideon mendalam.

"Apa?"

"Tetaplah menjadi Emelia yang nakal dan berani ini. Jangan biarkan mereka mengubahmu menjadi wanita bangsawan yang kaku dan membosankan."

Emelia tersenyum manis, mengalungkan lengannya di leher Gideon. "Hanya jika kau berjanji untuk tetap menjadi 'perisaiku' dan tidak membiarkan Putri Anna itu mendekat lebih dari sepuluh langkah."

"Sepuluh langkah? Aku akan memastikan dia berada di sisi lain kastil jika perlu," jawab Gideon sebelum mengecup kening istrinya lama.

Sementara itu, di paviliun barat, suasana sangat kontras. Pelayan-pelayan berlarian membawa air hangat dan parfum mahal. Bau pupuk kandang rupanya sangat sulit hilang dari hidung Nyonya Bernie yang sensitif.

"Gosok lebih keras!" bentak Nyonya Bernie pada seorang pelayan. Matanya berkilat penuh dendam. "Gadis desa itu berani mempermalukan kita, Anna. Dia pikir dia bisa memenangkan hati Gideon dengan trik murahan seperti itu."

Anna, yang masih gemetar karena trauma lebah, hanya bisa terisak kecil sambil mencoba membersihkan sisa sirup manis di gaunnya. "Dia... dia sangat berbeda dari yang kukira, Nyonya Bernie. Gideon bahkan tidak mau menatapku."

"Gideon hanya sedang terpesona oleh 'eksotisme' kemiskinan gadis itu," desis Nyonya Bernie tajam. "Tapi pesona itu akan pudar saat dia menyadari betapa memalukannya memiliki istri yang tidak tahu cara berbicara di depan Raja. Besok, aku akan mengadakan jamuan minum teh bersama para istri bangsawan tetangga. Kita lihat seberapa hebat 'gadis desa' itu saat dikelilingi oleh serigala-serigala bergaun sutra."

Nyonya Bernie tersenyum licik. Ia sudah menyiapkan jebakan yang jauh lebih berbahaya daripada sekadar lebah dan pupuk—sebuah jebakan yang akan membuat Emelia dipandang rendah oleh seluruh kalangan bangsawan di wilayah itu.

Gideon menatap mata Emelia lekat-lekat. Ia tahu istrinya cerdas, namun menghadapi Nyonya Bernie dan kalangan bangsawan yang penuh perhitungan adalah hal yang berbeda. "Rencana apa yang ada di pikiranmu, Nyonya Adipati?"

Emelia tersenyum penuh rahasia. "Hans pernah memberitahuku bahwa Nyonya Bernie sangat menyukai pertunjukan opera, tapi teater terdekat jaraknya berhari-hari perjalanan. Dia sering mengeluh betapa membosankannya kehidupan di kastil tanpa hiburan berkelas."

Gideon mengangkat alisnya, tidak mengerti arah pembicaraan Emelia. "Lalu?"

"Semua bangsawan itu pasti juga bosan, kan? Mereka datang ke jamuan teh untuk bergosip dan mencari hiburan," Emelia melanjutkan, matanya berbinar licik. "Bagaimana kalau kita berikan mereka hiburan yang tidak akan mereka lupakan?"

Keesokan harinya, persiapan jamuan minum teh di aula utama berjalan lancar. Meja-meja panjang dipenuhi dengan porselen mahal, kue-kue, dan teh impor. Nyonya Bernie berdiri di dekat pintu masuk, menyambut setiap tamu dengan senyum sopan yang dipaksakan. Putri Anna berdiri di sampingnya, berusaha terlihat anggun meskipun sesekali masih mengibaskan tangannya seolah mengusir lebah.

Tepat saat para tamu berkumpul dan suasana mulai terasa kaku dan formal, Gideon dan Emelia memasuki ruangan. Emelia mengenakan gaun hijau zamrud sederhana namun pas di tubuhnya, tidak ada korset yang mengikatnya, membuatnya terlihat alami dan segar di antara gaun-gaun sutra yang menjulang tinggi.

Bisik-bisik segera terdengar. "Gaunnya sangat sederhana," "Apakah dia tidak tahu etiket?" "Lihat rambutnya, tidak ada permata..."

Nyonya Bernie tersenyum puas, merasa rencananya untuk mempermalukan Emelia sudah dimulai dengan baik. Ia berjalan menghampiri Emelia.

"Nyonya Adipati, senang Anda bisa hadir tepat waktu. Kami baru saja akan mulai," sapanya dengan nada merendahkan yang dibuat-buat manis. "Para tamu tidak sabar untuk mendengar cerita 'pedesaan' Anda."

Emelia tersenyum tenang. "Tentu, Nyonya Bernie. Tapi sebelum kita mulai, saya dan Duke sudah menyiapkan kejutan kecil untuk menghibur para tamu terhormat ini."

Wajah Nyonya Bernie menegang. "Kejutan?"

Tepat pada saat itu, alih-alih para musisi kastil yang kaku, masuklah sekelompok seniman jalanan yang sebelumnya sudah disewa Emelia secara diam-diam—seorang pemain akordeon, seorang penari lincah, dan seorang penyanyi dengan suara merdu.

Mereka mulai memainkan musik rakyat yang ceria dan penuh semangat. Para bangsawan yang kaku tampak terkejut, namun Emelia segera menarik tangan Gideon ke tengah aula.

"Di desa kami, ini adalah cara kami menyambut tamu!" seru Emelia riang. "Mari, Duke, tunjukkan pada mereka cara berdansa yang sesungguhnya!"

Gideon, meskipun awalnya terkejut, segera mengerti rencana Emelia. Ia tersenyum, merengkuh pinggang Emelia, dan mulai berdansa dengan penuh semangat mengikuti irama musik rakyat yang cepat. Pasangan itu terlihat serasi dan penuh kehidupan, tawa Emelia yang renyah memenuhi ruangan.

Para tamu, yang bosan dengan suasana kaku Nyonya Bernie, perlahan mulai terhibur. Beberapa pasang bangsawan muda bahkan ikut bergabung di lantai dansa. Suasana aula utama yang tadinya beku langsung mencair menjadi pesta yang hidup.

Nyonya Bernie berdiri mematung di sudut ruangan, wajahnya merah padam. Rencananya untuk membuat Emelia terlihat tidak berkelas justru menjadi bumerang. Emelia tidak hanya menghibur para tamu, tapi juga menunjukkan sisi baru kehidupan bangsawan yang lebih hidup dan menyenangkan.

"Ini... ini keterlaluan! Hiburan murahan seperti ini!" bisik Nyonya Bernie pada Anna.

Putri Anna hanya bisa menatap Gideon dan Emelia yang berdansa dengan penuh kasih sayang. Di mata Anna, Emelia terlihat mempesona, memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh wanita bangsawan kaku mana pun: kebahagiaan sejati dan keberanian.

Emelia melirik Nyonya Bernie dari balik bahu Gideon, memberikan senyum kemenangan. Perang etiket dimulai, Nyonya Bernie. Dan sepertinya ronde pertama milik 'gadis desa' ini.

" Lucu sekali", emelia tertawa kecil di dada bidang Gideon

" Pintar", Duke mencium kening emelia

Gideon merangkul pinggang Emelia lebih erat saat musik rakyat itu mencapai puncaknya. "Kau benar-benar membuat sejarah baru di aula ini, sayang. Belum pernah ada yang berani membawa pemain akordeon ke lantai marmer yang kaku ini," bisiknya tepat di telinga Emelia, membuat bulu kuduk gadis itu meremang karena hembusan napas hangat sang Duke.

"Hiburan sejati adalah saat orang-orang bisa tertawa, bukan hanya saling memamerkan perhiasan," balas Emelia sambil menyandarkan wajahnya sejenak di bahu Gideon.

Namun, kedamaian itu terinterupsi oleh suara langkah kaki yang dihentakkan dengan keras. Nyonya Bernie berjalan mendekat, diikuti oleh Putri Anna yang tampak serba salah. Wajah wanita tua itu sudah tidak lagi merah padam, melainkan pucat karena kemarahan yang tertahan.

"Duke Gideon! Cukup dengan kegaduhan ini!" suara Nyonya Bernie memotong melodi musik. Para tamu perlahan berhenti berdansa dan suasana kembali hening, namun kali ini bukan keheningan yang kaku, melainkan keheningan yang penuh rasa ingin tahu.

"Nyonya Bernie, apakah Anda tidak menikmati musiknya?" tanya Gideon dengan nada datar, namun tangannya masih melingkar protektif di pinggang Emelia.

"Ini bukan musik, ini kebisingan pasar!" bentak Nyonya Bernie. Ia kemudian menoleh ke arah Emelia dengan tatapan tajam. "Nyonya Adipati, kau mungkin bisa menghibur orang-orang muda ini dengan trik sirkusmu. Tapi jangan lupa, malam ini adalah malam penghormatan untuk keluarga Pangeran Leopold. Apa kau pikir Putri Anna akan terkesan dengan debu dan tarian kasar seperti ini?"

Emelia melepaskan pelukan Gideon perlahan dan melangkah maju satu langkah. Ia tidak menunduk, justru ia tersenyum sangat manis—senyum yang membuat Nyonya Bernie semakin waspada.

"Tentu saja tidak, Nyonya Bernie. Saya tahu Putri Anna memiliki selera yang sangat tinggi," ujar Emelia tenang. Ia kemudian menoleh ke arah Putri Anna. "Putri, saya mendengar dari pelayan bahwa Anda adalah seorang pemain piano yang sangat berbakat. Bukankah begitu?"

Anna tertegun, wajahnya sedikit tersipu. "Ah, ya... saya belajar sejak kecil."

"Lalu," Emelia melanjutkan sambil memberi isyarat pada para pemain musik jalanan untuk menyingkir sejenak, "bagaimana jika Anda menunjukkan pada kami apa itu 'hiburan berkelas' yang sesungguhnya? Piano di sudut itu sudah lama tidak disentuh oleh tangan seorang ahli."

Nyonya Bernie tersenyum penuh kemenangan. Ini adalah kesempatan bagi Anna untuk bersinar dan memperlihatkan perbedaan kasta antara seorang putri kerajaan dan gadis desa. "Bagus! Anna, tunjukkan pada mereka."

Putri Anna berjalan menuju piano besar di sudut ruangan. Ia mulai memainkan komposisi yang sangat rumit dan teknis. Musiknya indah, namun dingin dan sangat kaku—persis seperti suasana kastil sebelum kedatangan Emelia. Para tamu bertepuk tangan sopan, tapi aura keceriaan yang tadi dibangun Emelia mulai memudar kembali.

"Nah, lihat itu," bisik Nyonya Bernie pada Gideon dengan bangga. "Itulah kelas yang tidak akan pernah dimiliki oleh istrimu."

Gideon hanya diam, rahangnya mengeras. Namun, Emelia justru mendekati piano tersebut setelah Anna selesai.

"Sangat indah, Putri," puji Emelia tulus. "Teknik Anda sempurna. Tapi, bolehkah saya mencoba sesuatu?"

Seluruh ruangan mendadak sunyi. Gadis desa ingin bermain piano? Nyonya Bernie hampir tertawa terbahak-bahak. "Kau? Kau bahkan tahu di mana letak kunci C?"

Emelia tidak menjawab. Ia duduk di kursi piano, menarik napas dalam-dalam. Ia teringat mendiang ibunya yang dulu adalah seorang guru musik di desa sebelum pindah ke perbatasan. Ia mulai menekan tuts piano.

Bukannya memainkan lagu klasik yang kaku, Emelia memainkan lagu yang sama dengan yang dimainkan para musisi jalanan tadi, namun dengan aransemen piano yang sangat indah dan penuh perasaan. Ia mencampurkan teknik klasik yang elegan dengan ritme rakyat yang penuh kehidupan.

Jari-jarinya menari dengan lincah. Musik itu mengalir seperti air sungai yang jernih, membawa kehangatan yang membuat para tamu terpaku. Bahkan Putri Anna pun sampai menutup mulutnya dengan tangan, takjub karena Emelia bisa mengubah lagu "kasar" menjadi sebuah mahakarya yang emosional.

Gideon menatap istrinya dengan mata yang berkaca-kaca karena bangga. Ia tidak pernah tahu Emelia bisa bermain piano seindah itu.

Saat nada terakhir menghilang, aula itu tetap sunyi selama beberapa detik sebelum akhirnya pecah oleh tepuk tangan yang jauh lebih meriah daripada sebelumnya. Beberapa bangsawan tua bahkan berdiri untuk memberikan penghormatan.

Emelia berdiri dan membungkuk hormat, lalu matanya bertemu dengan mata Nyonya Bernie yang kini tampak gemetar karena malu dan kekalahan telak.

"Sepertinya," bisik Emelia saat melewati Nyonya Bernie untuk kembali ke pelukan Gideon, "musik desa dan piano kastil bisa berpadu dengan sangat baik jika dimainkan dengan hati, bukan dengan kesombongan."

Gideon langsung menarik Emelia ke dalam pelukannya. "Kau benar-benar penuh kejutan, sayang. Apa lagi yang kau sembunyikan dariku?"

"Banyak, Duke. Sangat banyak," jawab Emelia sambil mengedipkan mata.

Nyonya Bernie mengepalkan tangannya hingga kuku-kukunya memutih. "Anna, kita kembali ke paviliun. SEKARANG!"

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!