🏆🏅 Juara Harapan Baru YAAW Season 10🥳
Kalau nggak suka, skip saja! Jangan kasih bintang satu! Please! 🙏🙏
Hafsa tidak menyangka bahwa pernikahannya dengan Gus Sahil akan menjadi bencana.
Pada malam pertama, saat semua pengantin seharusnya bahagia karena bisa berdua dengan orang tercinta, Hafsa malah mendapatkan kenyataan pahit bahwa hati Sahil tidak untuknya.
Hafsa berusaha menjadi istri yang paling baik, tapi Sahil justru berniat menghadirkan wanita lain dalam bahtera rumah tangga mereka.
Bagaimana nasib pernikahan tanpa cinta mereka? Akankah Hafsa akan menyerah, atau terus berjuang untuk mendapatkan cinta dari suaminya?
Ikuti terus cerita ini untuk tahu bagaimana perjuangan Hafsa mencairkan hati beku Gus Sahil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Misi Gus Sahil
Gus Sahil turun dari ranjang dengan hati-hati. Memastikan istrinya tidak terbangun. Jam dinding menunjukkan pukul setengah empat pagi, itu berarti setengah jam sebelum Hafsa bangun. Gus Sahil kemudian berjalan menuju pintu dengan langkah berjingkat. Membuka pintu sepelan mungkin.
Ketika berhasil sampai di luar tanpa ketahuan siapapun, Gus Sahil menghembuskan nafas lega. Hari ini, dia akan mulai melaksanakan misinya.
Misi yang dimaksud Gus Sahil adalah misi menyenangkan hati sang istri. Dari sepuluh poin yang sudah ia catat, hari ini Gus Sahil akan melaksanakan poin ke empat, yaitu membantu istri dalam pekerjaan rumah tangga. Maka, segera saja Gus Sahil menuju kamar mandi belakang, tempat baju-baju kotor keluarganya ditumpuk di sana.
Gus Sahil terperangah saat melihat tumpukan baju kotor yang tampak menggunung.
"Kenapa banyak sekali?" keluh Gus Sahil. Ia kemudian melihat mesin cuci yang berada di pojok ruangan. Segera menyerah karena begitu banyak tombol yang ada di sana.
Gus Sahil menggaruk-garuk kepalanya. Sekarang apa yang harus ia lakukan? Saat melihat sikat baju yang bersandingan dengan detergen, Gus Sahil mengangguk-anggukkan kepalanya.
...----------------...
Hafsa heran ketika bangun dari tidur tidak melihat Gus Sahil di sampingnya. Kemana perginya suaminya itu? Seingat Hafsa, Gus Sahil selalu bangun pukul tiga pagi untuk sholat tahajjud, tapi kemudian tertidur lagi sampai adzan subuh berkumandang. Kemana perginya sang suami saat pukul empat pagi?
Penasaran, Hafsa akhirnya turun dari tempat tidur. Suara orang menyikat baju dari kamar mandi belakang membuat Hafsa terheran-heran. Siapa yang mencuci pakaian sepagi ini? Kalau dulu memang ada Roha yang sering beraktivitas pada jam segitu. Tapi kan, sekarang Roha sudah tidak menjadi abdi ndalem lagi? Apa mungkin mbak ndalem yang lain?
Sembari bertanya-tanya, Hafsa berjalan menuju asal suara. Mengintip.
"Gus Sahil?" Hafsa bertanya tidak yakin. Siluet seorang lelaki gondrong tampak sibuk menyikat di sana. Sosok itu kemudian menolehkan wajahnya, terkejut melihat kedatangan Hafsa.
"Njenengan ngapain Mas Gus?" Mata Hafsa tampak memeriksa apa yang dilakukan sang suami. ”Njenengan nyuci?"
Gus Sahil tersenyum kecut. "Aku cuma mau membantu kamu Sa,"
Hafsa terkejut mendengar penuturan Gus Sahil. "Terus sampeyan nyuci pake sikat baju begitu? Kenapa nggak pakai mesin cuci saja?"
"Oh, aku nggak bisa pakai mesin cuci. Tombolnya banyak. Aku nggak ngerti harus pencet yang mana dulu,"
Hafsa tersenyum geli mendengar penjelasan Gus Sahil. Pakaian Gus Sahil yang terlihat basah kuyup membuatnya menahan tawa.
"Sudah, biar saya cucikan saja Mas Gus," Hafsa mengangkat tumpukan pakaian yang belum dicuci.
"Eh tidak usah," cegah Gus Sahil. "Sebentar lagi kok,"
"Sebentar lagi?" Hafsa kembali mengedarkan pandangannya, tumpukan pakaian yang sudah dicuci tampak lebih sedikit daripada yang belum. "Ini masih banyak sekali Mas Gus. Kalau mau disikat satu persatu bisa lama sekali."
"Nggak papa, aku sanggup kok," Gus Sahil mencoba merebut tumpukan baju dari tangan Hafsa.
"Sudah, biar saya saja. Njenengan siap-siap sholat saja," Hafsa masih bersikeras menahan pakaian itu.
"Aku saja Sa,"
"Saya saja Mas Gus,"
Terjadilah adegan tarik menarik baju kotor selama beberapa lama. Baik Hafsa maupun Gus Sahil tidak ada yang mau mengalah. Sampai...
PLUK
Sebuah bra berwarna merah muda jatuh dari tumpukan baju kotor. Hafsa dan Gus Sahil serentak melihat ke arah benda yang jatuh itu. Hafsa dan Gus Sahil saling terdiam sejenak, wajah mereka berubah merah.
Hafsa buru-buru mengambil bra tersebut. Menyembunyikannya di belakang punggung.
"Eh, yasudah kamu saja yang nyuci," Gus Sahil akhirnya menyerahkan tumpukan baju kotor itu pada Hafsa. Matanya melihat-lihat ke arah lain. Ia memang tidak pernah melihat dalaman wanita secara langsung, apalagi di depan yang punya.
Hafsa menundukkan kepala, dengan cepat memasukkan pakaian-pakaian kotor itu ke dalam mesin cuci.
Gus Sahil keluar dari kamar mandi dengan jantung berdegup kencang. Tiba-tiba rasa malu mulai menjalarinya.
"Mau ngapain lagi ya?" Gus Sahil tampak berpikir. Masih ada waktu setengah jam lagi. Baiklah, dia akan mencoba memasakkan makanan spesial.
...----------------...
Hafsa menyeka peluhnya. Sebenarnya kegiatan mencuci tidak seberat itu, tapi karena tadi dia harus berdebat dulu dengan Gus Sahil, Hafsa merasa capek duluan. Ia tidak keluar dari kamar mandi sejak tadi, masih merasa malu dengan kejadian tadi.
Tiba-tiba, hidung Hafsa mencium bau aneh dari arah dapur. Hafsa segera keluar dari kamar mandi, berlari menuju dapur yang hanya berjarak beberapa langkah saja.
"Gus!" Mata Hafsa terbelalak. Gus Sahil tampak kerepotan di depan sana. Penggorengan yang ia gunakan terbakar. Hafsa buru-buru mengambil lap dan membasahinya, kemudian ia lemparkan ke arah api sebelum semakin membesar.
Api padam. Asap mengebul di dalam dapur. Hafsa berjalan mendekati Gus Sahil yang tampak kaget. "Mas Gus, ada apa ini?"
Gus Sahil menggosok-gosok kepalanya, sedikit malu. "Maaf Sa, aku pikir mau coba bantu kamu memasak. Tapi seperti yang kamu lihat, jadinya malah seperti ini."
Hafsa menahan tawanya, berusaha untuk tidak menambah rasa malu Gus Sahil. "Memang njenengan mau masak apa?"
Gus Sahil menggaruk-garuk kepalanya. Wajahnya semakin memerah. "Aku mau coba masak ayam goreng Sa. Tapi kayanya aku terlalu lama meninggalkannya di wajan, dan akhirnya terbakar."
Hafsa tersenyum, mencoba nenghibur. "Yasudah nggak apa-apa Mas Gus. Masakan njenengan juga kayanya nggak separah itu—"
Hafsa terdiam melihat bentuk ayam goreng Gus Sahil yang berwarna hitam legam, kemudian ia menatap Gus Sahil dengan hati-hati.
"Saya masakin yang baru saja ya?"
"Tapi aku—”
...Allahuakbar...Allahuakbar......
Suara adzan subuh menyelamatkan Hafsa. Ia segera mendorong pelan tubuh Gus Sahil agar keluar dari dapur.
"Tuh Mas Gus, sudah waktunya sholat subuh. Sekarang mendingan njenengan siap-siap, biar saya saja yang gantikan masak,"
Gus Sahil menghembuskan nafas kecewa. "Aku akan belajar lagi. Tapi lain kali biar aku yang masak,"
Hafsa mengangguk-anggukkan kepalanya. "Iya Mas Gus,"
Sepeninggal Gus Sahil, Hafsa melihat sekeliling dapur yang tampak kacau balau. Ia kemudian memungut peralatan dapur yang berserakan dan ditaruh ke wastafel. Ia tidak habis pikir sebenarnya bumbu apa yang dibuat Gus Sahil, sampai-sampai semua bumbu dapur dikeluarkan dari tempatnya.
Namun, meski harus membereskan kekacauan yang dibuat oleh sang suami, Hafsa diam-diam tersenyum senang.
...----------------...
Hafsa tidak membuang ayam goreng Gus Sahil begitu saja. Ia juga turut menyajikannya di meja makan. Bermaksud untuk dipamerkan kepada sang mertua.
Abah Baharuddin dan Umi Zahra yang melihat keadaan mengenaskan ayam goreng itu saling pandang. Secara bersamaan, mereka berdua kemudian mengalihkan pandangan ke arah Hafsa. Tatapannya seolah berkata 'ini apa?'.
"Ini masakan Gus Sahil tadi pagi Abah, Umi," Hafsa mengerti maksud dari kedua mertuanya, menjelaskan sambil tersenyum lebar. "Katanya Gus Sahil mau masakin sesuatu yang spesial buat kita,"
"Iya Umi," Gus Sahil menganggukkan kepala bersemangat. "Masakan ini spesial buatan Sahil. Ayo dicoba,"
"Aduh Hil," Umi Zahra pura-pura menunjukkan raut wajah bersalah. "Kata dokter, Umi nggak boleh makan ayam goreng,"
"Abah juga, mau mengurangi kolesterol." Abah Baharuddin ikut menyahut.
Raut wajah Gus Sahil terlihat kecewa. Ia kemudian melihat ke arah Hafsa, satu-satunya harapan yang tersisa.
"Anu.. Saya—" Hafsa mencoba menolak, tapi tatapan Gus Sahil membuatnya merasa tidak tega. Akhirnya Hafsa mengambil ayam goreng buatan Gus Sahil, menaruh ke piringnya.
"Terimakasih Sa," Gus Sahil tersenyum senang.
Hafsa mengangguk-anggukkan kepala sembari menyuapkan nasi berlauk ayam goreng buatan Gus Sahil dengan ragu-ragu. Saat ayam goreng itu melewati indera perasanya, Hafsa otomatis menutup mulut.
"Kenapa Sa? Enak kan?" Gus Sahil menoleh. Umi Zahra dan Abah Baharuddin turut melihatnya dengan tatapan tegang.
"E—enak kok Gus," Hafsa menjawab terbata-bata.
Jelas saja dia berbohong. Besok-besok, dia tidak akan membiarkan Gus Sahil menyentuh area dapur sedikit pun!