Seorang laki-laki muncul di hadapan Ajeng. Tidak amat tampan tetapi teramat mapan. Mengulurkan keinginan yang cukup mencengangkan, tepat di saat Ajeng berada di titik keputus-asaan.
"Mengandung anaknya? Tanpa menikah? Ini gila namanya!" Ayu Rahajeng
"Kamu hanya perlu mengandung anakku, melalui inseminasi, tidak harus berhubungan badan denganku. Tetap terjaga kesucianmu. Nanti lahirannya melalui caesar." Abimanyu Prayogo
Lantas bagaimana nasab anaknya kelak?
Haruskah Ajeng terima?
Gamang, berada dalam dilema, apa ini pertolongan Allah, atau justru ujian-Nya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
"Abi!" seru seorang perempuan yang bergelar pahlawan dalam dirinya. Mendekat dengan langkah pasti.
Pria itu terdiam, tidak menyangka akan bertemu dengan kanjeng mami di situasi dan waktu yang menurutnya kurang tepat.
"Mama!" sahut pria itu ragu.
"Kamu ngapain di sini? Bukankah seharusnya di kantor?" tanya Bu Warsa keheranan.
Sebelum menjawab, Abi lebih dulu melirik Ajeng yang berdiri tidak begitu jauh dengan posisi dirinya. Ajeng yang tengah menunggu pun dibuat terbengong, dengan interaksi keduanya yang dipanggil mama. Ternyata wanita bersahaja tadi yang sempat mengobrol dengannya adalah ibunya Abi dan secara tidak langsung menjadi mertuanya.
Tidak ingin membuat kekacauan pada diri sendiri, terlebih hubungan mereka yang hampir berakhir. Ajeng pun paham betul kalau Abi tidak mungkin mengakuinya. Perempuan itu lebih dulu pergi, sengaja memanggil taksi yang tengah melintas.
"Iya Ma, ada meeting di luar kantor, makanya Abi ke sini. Mama sendiri lagi apa?"
"Owh gitu, mama baru saja belanja buat cucu mama dong. Lihat, bagus dan lucu-lucu, tadi sempat dibantuin sama orang baik juga yang kebetulan tengah belanja."
"Ya udah Ma, Mama hati-hati, saya harus segera nemuin client," pamit Abi merasa tidak tenang sekaligus merasa bersalah.
Kenapa merasa bersalah, iya karena terus membohongi mamanya dan tidak berani mengungkapkan kebenaran yang sesungguhnya. Hatinya dipenuhi kebimbangan akhir-akhir ini.
Sementara Ajeng lebih dulu pulang ke rumahnya serta membawa barang belanjaan yang nantinya entah akan terpakai atau tidak mengingat anaknya akan diberikan pada orang lain.
Perempuan itu bahkan sengaja mengabaikan panggilan dari Abi yang sedari tadi menghubunginya.
[Ajeng, kamu di mana?]~ Abi
Entahlah, Ajeng hanya malas mendebat, malas merespon, dan malas berintetaksi langsung dengan pria itu. Bahkan, untuk ke rumah sakit pun, Ajeng memilih sendiri.
"Bu Ajeng, tumben sendirian?" sapa Dokter Stela mendapati pasien langganannya seorang diri.
"Mas Abi sedang sibuk, Dok, jadi saya sendiri saja," jawab Ajeng kalem.
"Owh ... gitu, ditimbang sama tensi dulu ya?" ujar suster yang ikut membantu di ruang dokter.
Dokter Stela yang menangani proses inseminasi Ajeng, dia juga sahabat Abi, jadi paham betul dengan keduanya. Biasanya keduanya akan mengobrol sambil menjabarkan pemeriksaan, hari ini nampak serius menatap kesendirian Ajeng.
"Apa ada keluhan di trimester ketiga ini, Bu?" tanya Dokter Stela.
"Tidak Dok, paling sering pipis aja, sama gerah," jawab Ajeng jujur.
"Selama hamil, kandung kemih Ibu akan menjadi sering penuh karena ginjal bekerja ekstra dan menghasilkan lebih banyak urine guna membuang zat tidak berguna dari tubuh Ibu. Sisa metabolisme dari janin di dalam kandungan juga ikut dikeluarkan melalui urine, sehingga aliran darah dan produksi urin ibu meningkat," jelas Dokter Stela.
"Tidak masalah, pandai menjaga kebersihan diri saja supaya tetap nyaman."
"Berat badannya nggak begitu naik, tekanan darah 130/90 mmHg. Sedikit tinggi, kecapean? Boleh tetap beraktivitas, namun jangan terlalu lelah dan stress."
Ajeng mengangguk ngerti, terkadang tekanan datang begitu saja, walaupun sudah mencoba berdamai, tetap saja kepikiran.
Saat pemeriksaan tengah berlangsung, pintu terbuka begitu saja, rupanya Abi yang menyusul.
"Aku telat, gimana anak aku, Stel?"
"Ish ... Dokter Stela, Abimanyu Prayogo, katanya sibuk?" cibir Dokter Stela menggeleng pelan.
Melihat kedatangan Abi, wajah Ajeng yang tadinya semangat mendadak muram. Perempuan itu sedang ditahap ingin sendiri tanpa gangguan, nyatanya sampai pemeriksaan terakhir pun tidak terealisasikan. Membuatnya sedikit kesal, dan kembali tidak nyaman.
Di tempat yang sama pula, Hanan juga tengah menjenguk temannya yang sakit dirawat di rumah sakit tempat Ajeng chek up. Pemuda itu baru saja turun dari motor, memarkirkannya dengan benar. Berjalan ke sisi kanan melewati deretan parkir mobil, tak sengaja melihat plat mobil yang masih begitu jelas diingatannya.
Hanan berdiam diri cukup lama, mengingat kembali kejadian naas yang menimpa dirinya. Ia paham betul dengan nomor plat yang kebetulan sama dengan nomor ekor ponselnya. Sejelas itu bayangan kejadian dan nomor plat itu sebelum ia benar-benar pingsan.
Mendadak pemuda itu teringat kakaknya yang telah berjuang menyembuhkan dirinya hingga harus banting tulang terpisah jauh dengan dirinya. Lantaran perbuatan orang yang tidak bertanggung jawab. Andai saja Hanan tahu, Ajeng melakukan kesembuhan lebih dari yang Hanan pikirkan.
Sementara di ruang pemeriksaan Dokter Stela, Abi yang nampak baru masuk dengan wajah tergesa.
"Udah selesai periksa?" tanya pria itu menatap keduanya secara bergantian.
"Baru mulai, USG dulu," ujarnya mempersilahkan Ajeng untuk berbaring.
Dokter menyingkap baju Ajeng untuk memudahkan perutnya terlihat sempurna. Mereka akan melakukan USG 4 dimensi.
USG dilakukan dengan lebih dulu mengoleskan gel khusus di atas perut Ajeng. Gel itu berfungsi untuk menghantarkan gelombang suara, sehingga gambaran janin lebih mudah tertangkap.
Setelah itu, Dokter Stela mulai menggeser-geser dengan alat transduser yang digerakkan memutar di atas perut untuk merekam aktivitas janin.
Meski sudah menggunakan teknologi yang canggih, ada kemungkinan wujud janin tetap sulit terlihat saat pemeriksaan USG 4 dimensi. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor dan salah satunya adalah posisi janin. Beruntung hari ini wajah janin tidak membelakangi perut, jadi wajahnya terlihat lebih jelas.
"Wao ... hallo ... Sayang, dijengukin mama papah nih, kamu udah besar ya. Wajahnya jelas banget, masya Allah ... cantik banget, plek kaya mamanya," pekik Dokter Stela girang.
"Air ketuban masih aman, pergerakannya juga aktif, berat janinnya udah 2,3 kg, panjang 46,2 cm. Pertumbuhan tubuhnya juga bagus. Sehat-sehat ya, Sayang," jelas Dokter Stela tersenyum senang.
Abi yang melihat itu merasa takjub, sekaligus haru. Netranya berkaca-kaca, refleks menggenggam tangan Ajeng seraya menatapnya dalam senyuman. Tanpa disadari, keduanya saling menggenggam sambil menatap layar monitor penuh keharuan.
Setelah beberapa detik berlalu, Ajeng baru menyadari kalau Abi menggenggam tangannya. Pelan, perempuan itu melepaskan, membuat Abi menatap dalam. Tak ingin terlalu larut dalam tatapan itu, Ajeng lebih dulu mengalihkan tatapannya ke arah lain.
"Karena ini akan melakukan prosedur caesar, bisa dilakukan di minggu ke 36 nanti sebelum terjadi kontraksi untuk persalinan, mohon disiapkan semuanya. Tentu saja kesiapan si Ibu dan juga lain-lainnya, Pak Abi," ucap Dokter Stela serius.
"Aku sudah nggak sabar menanti kelahirannya," jawab Abi tersenyum bahagia.
Dokter menyarankan agar si Ibu tidak terlalu capek dan pastinya sehat menjelang persalinan. Setelah memberikan tips dan wejangan, keduanya pun pamit.
Berbeda dengan Abi yang terlihat begitu bahagia, Ajeng terlihat melow, hatinya mendadak sedih galau luar biasa. Sadar betul sebentar lagi akan berpisah dengan bayinya. Tanpa sadar, ia menyusut sudut matanya.
"Kenapa tadi tidak mengangkat teleponku? Aku khawatir," ujar Abi seraya berjalan keluar dari rumah sakit.
"Aku tidak dengar, ponselnya aku silent," jawab Ajeng berdusta.
"Sudah aku pesankan taksi, aku harus kembali ke kantor, sedang banyak yang aku urus, maaf tidak bisa mengantarmu, langsung pulang ya, jangan ke mana-mana, hati-hati di jalan!" ucap Abi sambil berjalan.
Ajeng tidak banyak merespon, hatinya masih galau, bila mungkin, seakan menghilang jauh dari pria di depannya.
"Ajeng, tunggu sebentar, aku mau pamitan dulu," ucap pria itu membungkukkan badanya lalu bercakap-cakap ria seperti biasa, tak lupa mencium perut Ajeng sambil memegangnya.
"Aku balik kerja ya?" pamit pria itu terakhir mengusap puncak kepala Ajeng dengan senyuman mengulas di pipinya.
Tanpa mereka sadari, pemandangan itu terekam jelas oleh netra Hanan yang menatapnya tak sengaja.
.
Bersambung
.
Sambil nunggu novel ini up, mampir di karya temen aku yuk ... tidak kalah seru loh ....
🤔🤔🤔
Yang datengnya barengan sama Abi?? 🤔🤔
ceritanya menarik tp bahasanya msh agak kaku antara kakak dgn adik