Super nyesek.
Jevander Park menyudahi hubungan percintaannya dengan Roze Moza setelah mengetahui background keluarga Roze yang tidak jelas, ditambah lagi dengan kenyataan bahwa kekasinya merupakan putri dari seorang germo alias mucikari kelas kakap.
"Aku tidak bisa memilihmu, karena setelah ini aku akan menikahi sahabat baikku."
Dunia terasa berhenti. Roze lagi-lagi kehilangan seseorang yang ia cintai dengan tulus. Ayah yang tidak menginginkannya, ibu yang tega meninggalkannya dan hidup bahagia dengan anak tiri dan suami baru, sekarang giliran kekasih yang sudah ia percayai selama ini, pun melakukan hal yang sama. Salahkah jika Roze marah besar dan membakar semua kenangan?
Kelahiran tiga bayi kembar ternyata mampu mengubah banyak hal. Kehidupan Roze kini penuh warna. Tapi siapa sangka, Ezralia Moze, anak perempuan Roze memiliki dendam membara terhadap ayah yang bahkan tidak mengenalnya.
Sedangkan Daniel Moza, ia bahkan tidak peduli siapa ayahnya. Tapi berbeda dengan Darriel
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reetha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melapor Diri
"Malam sudah larut, Ezra. Apa mau menginap saja?" Roze kembali mengingatkan Ezra yang sangat asik berbincang dengan Darriel. Ezra bahkan ikut duduk disebelah Darriel diatas ranjang sempitnya. Pemandangan langka yang tentu saja membuat hati Roze berdesir hangat. Anak-anak tidak pernah seperti ini sebelumnya. Berbincang hangat bahkan sambil tertawa.
"Aku akan pulang, Bunda... sebentar lagi. Oia Bunda, apa ... perbedaan antara aku, Darriel sama Danniel?" demi apapun, Ezra tidak pernah menanyakan hal ini. Tapi wajah ceria putrinya itu membuat Roze harus menjawab.
"Perbedaan kalian bertiga yang bisa bunda lihat, kamu adalah anak bunda yang sebelumnya sangat sensitif, mudah marah dan sangat pemberani. Daniel, dia anak bunda yang sangat tenang bahkan cenderng pendiam. Darriel, dia yang paling periang dan selalu positif. Tapi ... baru - baru ini, putra - putri bunda sudah banyak berubah." dengan raut wajah sedih yang dibuat - buat Roze mengutarakan pendapatnya tentang anak -anaknya.
Binar ceria di wajah Ezra dan adiknya perlahan menghilang. Keduanya menerka - nerka, perubahan apa yang bunda maksud?
"Sebelumnya, Daniel ... adalah orang yang sangat pendiam, bahkan tidak memiliki senyum. Tapi ... mau berlatih untuk tersenyum, dan bunda tahu dia kesulitan melakukan itu pada awalnya, tapi, belakangan ini senyumnya mulai natural dan dia sudah banyak berinteraksi dengan orang-orang baru. Dan Ezra, bunda melihat beberapa hari belakangan ini Ezra bisa bersikap hangat, kalem dan meskipun bunda merasa itu aneh tapi bunda bahagia karena putri bunda bisa berubah lebih baik.-"
Penjelasan Roze tetiba terhenti saat Ezra malah berlari dan memeluknya erat.
"Ezra sayang, kamu kenapa, nak?"
Ezra menggeleng tanpa kata, masih memeluk sang bunda. Dengan sepenuh tenaga ia jaga supaya air matanya tidak meleleh keluar yang hanya akan membuat sang bunda kebingungan.
"Sudahlah, lebih baik kamu pulang sayang, bunda order ojek buat kamu, ya,"
Ezra menggeleng, "Jangan, Bunda. Ezra bisa sendiri."
"Bunda, apa ada orang yang benar - benar bunda rindukan saat ini?" pertanyaan Ezra membuat Roze menautkan kedua alis dan akhirnya menggeleng adalah yang terbaik.
"Dulu, bunda pernah tersiksa karena rasa rindu. Tapi sekarang, bunda tidak ingin merindukan siapapun selain anak -anak bunda."
Ezra tersenyum lalu meraih kedua tangan ibunya itu. "Mulai hari ini, bunda akan terus merindukan aku." menyentuh pipinya dengan tangan sang bunda, seolah menginginkan bunda menyentuh wajahnya.
"Kenapa anak cantik bunda jadi manja begini? Kamu tidak malu di lihat Darriel bersikap sok manis, hmm? Hei! Rasanya ini bukan kamu, sayang."
Ezra akhirnya pamit pergi. Namun, baru saja kakinya akan melewati pintu, suara bunda kembali memanggilnya. Roze melangkah mendekat, memberi puterinya itu pelukan.
"terima kasih, sayang, kamu sudah dewasa." Roze mengurai pelukan lalu giliran dirinya yang memegang kedua jemari Ezra saat ini.
"Selama sembilan tahun terakhir ini, bunda ingin mengatakan sesuatu padamu, tapi ... karena keegoisan bunda, kamu tidak pernah mendengarnya. Maafkan bunda sayang, karena saat itu bunda tidak membiarkanmu mendapatkan gendong dari ayah yang sangat kamu rindukan. Maaf ya sayang,"
Grep...
Ibu dan anak itu kini saling memeluk, Ezra yang menyambar pelukan lebih dulu, tanpa bisa lagi menahan kesedihan, keduanya berpelukan sambil menangis.
"Padahal itu akan menjadi pengalaman pertama dan terakhir untukmu merasakan digendong oleh ayahmu, tapi bunda menggagalkannya. Ezra, bunda bersalah padamu, Nak."
"No no no no! Bunda tidak bersalah. Bunda, maafkan karena selama ini aku nakal dan membuat bunda harus bermasalah dengan orang lain. Bunda, ingat ini, aku, Ezralia Moza, sangat mencintai Bunda."
Darriel yang menyaksikannya memilih mengalihkan pandangan ke arah ponsel.
.
.
Kantor polisi. Ezra akhirnya tiba disini, ditengah dinginnya malam ini.
"Ada yang bisa kami bantu?" para petugas degan ramah menyapa Ezra yang mendekati meja salah satu dari mereka. Wajah datarnya menggambarkan bahwa ada masalah yang harus ia laporkan.
"Saya telah membuat seseorang celaka." lapornya seraya mengulurkan kedua tangan untuk di borgol. Tindakannya yang cukup berani membuat semua petugas saling menoleh, melempar pandangan.
"Silakan duduk dulu, jangan buru-buru di borgol."
Ezra pun duduk di hadapan dua petugas.
"Silakan ceritakan apa yang terjadi."
Ezra mulai bercerita ...
Tanpa banyak berpikir ia menceritaka semuanya dan dia adalah penyebab peristiwa itu. Para petugas terlihat kaget dan merasa merinding seketika. Wajah gadis remaja yang terlihat begitu manis, siapa yang akan mengira bahwa dia adalah seorang penjahat.
"Apa kau yakin? lalu ... kenapa kau mau mengaku setelah membiarkan semua orang mencari pelakunya?"
"Saya hanya ingin mengakui kesalahan. Tidak hanya itu, saat perayaan ulang tahun sekolah, saya juga membuat Nana Park gagal tampil karena keracunan minuman. Dan ... satu lagi, saat berumur tujuh tahun saya pernah membakar kakinya." kenang Ezra.
Semua petugas berubah tegang. Wajah datar yang tampak serius itu tidak mungkin sedang membuat lelucon.
Pihak polisi sepakat untuk melakukan interogasi lebih lanjut di ruang khusus, serta memanggil pihak korban, yakni Keluarga Park, mengingat keluarga itu meminta pihak berwajib untuk mengusut tuntas kasus yang menimpa Nana Park.
Ezra dibiarkan duduk sendiri di dalam ruang interogasi. Ia merasa bingung apakah ini adalah penjara untuknya?
Dua puluh menit berlalu, Ezra mulai dilanda rasa kantuk.
Di posisi luar ruang interogasi, tiba tiga orang dari pihak keluarga Park, Jevander beserta ibu dan ayahya.
"Jadi dia orangnya? Bukan seorang laki -laki melainkan seorang gadis muda?" Ezra yang menutup wajahnya dengan kedua tangan menahan rasa kantuk, sehingga wajahnya tidak terlihat dari kaca pemantau.
"Mom, biar aku saja yang masuk." Jevan mengambil langkah memasuki ruangan itu.
Mendengar langkah kaki seseorang, Ezra menoleh seraya mengucek kedua matanya.
Degh...
Baik Jevan mau pun Ezra, sama - sama merasakan detak jantungnya. Keduanya bertatapan untuk beberapa saat. Ezra berdiri tanpa diminta.
Ya ... Ezra, momen ini memang harus terjadi, hadapilah.
Jevan tidak salah dalam mengingat gadis ini. Dia adalah siswi yang tampil menggantikan Nana waktu itu.
Apa anak ini memiliki dendam pada Nana?
Jevan kembali melangkah dan duduk di kursi yang berhadapan dengan Ezra.
"Jadi ... kau adalah pelakunya?"
Ezra mengangguk, ia tidak berani menaikkan sorot matanya.
"Kenapa kau lakukan itu, pada Nana? Apa ... dia pernah mengganggumu?"
Sumpah demi apapun, rasanya Jevan ingin berteriak membentak gadis ini, namun ia berusaha menahan diri.
"Aku ... salah, mengira ... dia, telah ... mengambil sesuatu milikku. Aku mengira dia telah merampas sesuatu milikku yang sangat berharga, tapi ... rupanya aku salah. Hal berharga itu memang ditakdirkan untuknya, bukan untukku."
"Bicara yang jelas. Apa kalian memperebutkan sesuatu? Katakan, apa itu?" Dari nada bicaranya, Jevan terdengar sudah tidak sabar.
"Baiklah! Hal itu sudah tidak penting lagi. Lihat saya! Jadi benar kau yang telah membuat Nana sakit perut keracunan minuman?"
Ezra mengangguk takut.
Bruak!
Ezra menjerit kesakitan, terjatuh ketika tubuhnya didorong oleh seorang wanita tua.
"Apa katamu? Kau sengaja lakukan ini? Hah?" Wanita tua dengan emosi tingkat tinggi dan napas yang sudah tidak stabil, mencengkeram leher baju Ezra. "Kenapa kau tega lakukan itu padanya? Hah? Kenapa?" wanita itu berteriak tepat di depan wajah Ezra.
"Mommy, tenang." Jevan membantu ibunya yang sudah gemetar karena marah, untuk kembali berdiri.
"Jevander! Jangan menahanku. Aku ingin memarahi anak ini!"
"Iya, tapi bukan begini caranya, Mom! Tenang dulu!"
"Ezra!" begitu mengejutkan, Roze hadir disana membawa wajah kahawatirnya.
Ezra ingin berdiri namun Roze dengan sigap menopang putrinya yang tiba-tiba kehilangan keseimbangan. Bahkan ia memalingkan wajahnya, malu terhadap bunda yang entah bagaiman bisa muncul disini.
"Ezra sayang, ada apa ini Nak?"
Jevan membeku, terkejut ketika Roze hadir dan menyebut nama Ezra sebagai anaknya.
Jevan disini? Apa yang telah terjadi?
Kembali Roze menatap putrinya. "Sayang, kenapa kau ada di ruangan ini? Jawab bunda... Kau melakukan kesalahan?"
.
.
Bersambung..
Sarange guys...🥰