Suatu hari nanti, anganmu akan menjadi nyata, mimpimu akan terwujud, dan do’amu akan terkabul.
Liliana Pramesti, seorang gadis yatim piatu yang hidup dalam sebuah kemiskinan, menjadi tulang punggung bagi adik semata wayangnya yang menderita penyakit down syndrom, tentu saja adalah hal sulit baginya.
Namun, kerasnya hidup, tidak lantas menyurutkan keyakinan dan perjuangannya untuk tetap bertahan.
Hingga ... suatu hari, dia terpaksa harus menikah dengan cinta pertamanya sedari kecil, semenjak itu, dunianya berubah, jungkir balik, kedamaiannya terenggut begitu saja.
“Bang Ilham itu, seperti batu, dan aku seperti air, batu dan air bisa hidup berdampingan, meski batu memang memiliki karakter yang keras, dan air memiliki karakter yang lembut, namun tidak tersentuh. Tapi suatu hari nanti ... air mampu menghancurkan batu”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Neng Neng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pagi, di Meja Makan
Hening.
Itu suasana meja makan pagi ini. Dulu, aku sering melihat keluarga ini tengah sarapan bersama, pagi mereka sungguh menyenangkan, di mulai dari suami Bu Fatimah yang mencium kening istrinya, lanjut mencium kening anak-anaknya, mereka juga seringkali berbagi canda tawa di meja makan ini, dan aku bisa mendengar semuanya dari dapur.
Tapi kali ini, atmosfirnya sungguh berbeda, aku duduk di samping Bang Ilham dan di hadapanku ada Almira, yang sedari tadi hanya melirik kami bergantian. Mungkin dia bingung, apa yang sebenarnya sudah terjadi pada keluarganya.
“Aku seneng banget Kak Lia tinggal di rumah ini sekarang, aku jadi semangat ngerjain PR nya, soalnya pasti ada yang bantuin” suara Almira memecah keheningan, membuat kami semua menatapnya, kecuali Bang Ilham tentunya, dia hanya fokus pada piring di hadapannya.
“Mira, kalo lagi makan jangan sambil bicara yah ... gak baik” peringat Bu Fatimah, Almira hanya tersenyum, lalu menatapku yang juga tengah tersenyum menatapnya.
“Habis Mira seneng sih Mah, sekarang Mira jadi ada temennya,” ucap Mira lagi, menghentikan kunyahannya.
“Iya, tapi jangan seneng dulu sayang ... karena besok, Kak Lia dan Bang Ilham akan pindah rumah” Bu Fatimah mengelus kepala putrinya, sementara aku hanya bisa mengerutkan keningku, kenapa aku akan pindah rumah?.
Ttrrraaannggg ...
Kami semua menoleh pada sumber suara, kecuali Papah, yang dari tadi hanya asyik pada makanannya, seolah sudah tidak asing dengan suasana ini, aku tahu di rumah ini, bukan hanya Bu Fatimah yang memiliki sifat bijaksana, tapi Papah juga.
“Aku tidak akan pindah dari rumah ini dengan Lia! Aku akan pindah ke rumahku sendiri!” ucapan Bang Ilham sungguh menusuk hatiku.
“Loh? Apa maksud kamu? Kamu mau meninggalkan istrimu di sini begituh?” Bu Fatimah meninggikan suaranya, untuk pertama kalinya aku melihat Bu Fatimah seperti itu.
“Dia ini istri pilihan Mamah! Bukan istri pilihan Ilham! Jadi, apapun yang akan Mamah lakukan pada dia! Terserah!” sakit! Sudah! Cukup! Sungguh aku sudah tidak tahan lagi dengan semua ini.
“Lia mungkin istri yang Mamah pilihkan untukmu, tapi sekarang Lia adalah tanggung jawabmu dunia akhirat, bimbing dia sebagai istrimu, hingga kalian bisa bersama tidak hanya di dunia, tapi juga di akhirat” suara Bu Fatimah terdengar melemah.
“Ilham tidak pernah menginginkan Lia menjadi istri Ilham!” Bang Ilham berteriak.
Bulir bening ini, tiba-tiba meronta ingin keluar dari tempatnya, meski aku sudah menahannya sejak tadi.
“Mamah kecewa pada Ilham” Bu Fatimah menunduk, Bang Ilham pun terdiam,
“Bisakah kita sarapan dengan tenang??” suara berat dari Papah menghentikan semua perdebatan kami di pagi ini, kami semua menunduk lalu menghabiskan makanan masing-masing, meski kini rasa dari makanannya menjadi hambar. Sehambar hatiku.
“Aku berangkat kerja dulu, setelah itu aku ada kelas sore” Bang Ilham berdiri, lalu mencium tangan bu Fatimah dan Ayahnya, lalu mengacak rambut adiknya, aku ikut berdiri kaku, harusnya aku juga mencium tangannya, dan mengantarkan kepergian suamiku hingga teras rumah, begitu bukan? Itu yang selalu ku lihat dari keseharian Bapak dan Ibuku waktu mereka masih hidup.
“A Abang ...” aku memberanikan diri, mengulurkan tanganku untuk menyaliminya, tapi dia berlalu tidak menghiraukanku,
Aku melirik bu Fatimah “Ayo susul suamimu” ucap Bu Fatimah sambil tersenyum.
Aku mengangguk, lalu berlari menyusul Bang Ilham, “Abang!” teriakku.
Bang Ilham menghentikan langkahnya, lalu dia menoleh padaku, aku tersenyum semanis mungkin, lalu kembali mengulurkan tanganku.
“A Abang, semoga pekerjaannya lancar ya” ucapku.
Tapi Bang Ilham malah tersenyum sinis, lalu berlalu pergi, menaiki mobilnya. Aku mendesah, kenapa dia sungguh seperti batu??.
“Yang sabar ya Lia, Mamah yakin, suatu hari nanti Ilham pasti akan menerimamu, untuk saat ini, mungkin Ilham masih syok atas kejadian kemarin” Bu Fatimah datang lalu mencengkram tanganku kuat, berusaha menyalurkan kekuatannya padaku. Aku tersenyum dan mengangguk.
“Papah berangkat kerja dulu ya ...” Papah datang, lalu bu Fatimah mencium punggung tangannya, dan di balas dengan kecupan mesra di keningnya, jujur ... aku iri melihat pemangdangan ini.
“Lia, Papah berangkat kerja dulu ya” Papah mengulurkan tangannya padaku, aku menerimanya lalu mencium punggung tangannya.
“Hati-hati ya Pah, semoga pekerjaan Papah lancar” ucapku sambil tersenyum.
“Terimakasih Lia, kalian hati-hati di rumah yaaa ...” kami tersenyum mengantarkan kepergian Papah.
Aku dan Bu Fatimah kembali masuk kedalam rumah,
“Mamah ... Lia mau pamit ke tempat sekolahnya Irfan boleh?” tanyaku menatapnya penuh harap.
“Tentu boleh Lia, Irfan pasti masih butuh kehadiran Lia sekarang, soalnya Irfan masih adaptasi di sekolah dan di asrama barunya” ucap Bu Fatimah, tersenyum.
“Terimakasih Mah ...” aku memeluk Bu Fatimah erat, tak apa pangeranku bersikap dingin padaku, yang penting aku masih punya Bu Fatimah di sisiku.
“Sama-sama Lia, tapi jangan lupa izin dulu sama suamimu yah ...” bu Fatimah mencubit hidungku, lalu berlalu meninggalkanku sendirian.
Ragu. Entah apa yang harus kulakukan? Bagaimana caraku meminta izin untuk mengunjungi Irfan pada Bang Ilham? Aku terlalu takut untuk memulai percakapan.
‘Abang ... Lia, mau minta izin, Lia mau mengunjungi Irfan, apa boleh?’ send. Ku kirimkan chat padanya.
Statusnya online, tapi dia tidak kunjung membuka pesanku, apa dia begitu sibuk?
‘Abang?’ send. Kembali ku kirim pesan padanya.
Statusnya masih online, dan chatku berubah menjadi centang dua berwarna biru, itu artinya dia sudah membaca pesanku.
Lima belas menit tidak ada jawaban, aku jadi pusing sendiri, sebenarnya aku ini boleh pergi atau tidak sih?
‘Abang ... Lia boleh pergi tidak?’ send.
“Huuhhh ...” aku menarik napas panjang ... jika pergi tanpa izin darinya akan salah bagiku, meminta izin padanya, tapi chatku saja tidak di balasnya.
Tring!
Aku segera membuka chat yang ternyata di kirim dari Bang Ilham.
‘Bukan urusanku!’ itu balasannya.
“Hhhhhh ... aku tahu, kau tidak perduli padaku,” aku mendengus sebal kala berulang kali membaca pesannya.
Ya sudahlah ... dia bilang bukan urusannya bukan? Aku akan pergi saja kalau begitu.
Aku segera bergegas, menyambar tasku, dan pergi menuju sekolah baru Irfan. Semoga Allah ridha akan keputusanku.
Bersambung ....
Next?
jujur saya lbh suka cerita yg real life drpd yg haluu....
semua cerita teteh bagus2 kok. semangat terus ya teh....🥰🥰🥰🥰
Sehat terus tetehku, terus lah berkarya. Love you 🤗🤗🤗
semangat berkarya Teteh, ttp sehat & bahagia, maafin para readers yg suka komplen ky netizen😌
tapi percayalah, aku menikmati cerita Lia yg bnyk bgt beri pelajaran bt kita. makasih Teteh🤗
...