SUATU HARI NANTI
Hari ini adalah hari minggu yang cerah, aku libur sekolah, setelah selesai menjemur pakaian yang baru saja aku cuci, aku meregangkan ototku, rasanya pegal sekali, mencuci baju milik orang-orang seisi rumah. Aku menatap langit biru pagi ini, langit yang bersih tanpa awan yang menghalanginya.
“Kakak ...” tiba-tiba saja rok yang kugunakan di tarik-tarik.
“Iya, ada apa Dek??” tanyaku sambil berjongkok, kuraih saputangan kecil yang ada di kantong celananya, lalu kulap ludah yang selalu menjulur dari ujung bibirnya.
“Pal, pal“ sahutnya, sambil mengacungkan sebuah kapal-kapalan yang terbuat dari kertas.
“Iya, ini kapal, mau diterbangkan??” tawarku sambil meraih kapal-kapalan tersebut dari genggaman tangannya.
“Yah, yah, pal mau bang“ jawabnya sambil berlonjak menunjuk langit biru, yang selama ini menaungi kami.
“Kakak terbangin yaaaa, satu ... dua ... tiga ...!“ Aku melompat sambil melempar kapal-kapalan tersebut ke udara.
“Hollleeeee ...!!!” serunya sambil bertepuk tangan, tapi, tepukannya tidak mengeluarkan suara sama sekali.
Aku tersenyum menatap kapal-kapalan tersebut, yang tidak lama langsung jatuh lagi ketanah.
“Yaaaahhhh....tuh Kak tuh!“ serunya kecewa, sambil menghampiri kapalnya, kemudian dia asyik sendiri mengoceh, dengan bahasa yang tidak Aku mengerti.
“Dek, Kakak dan Bapak berangkat dulu nyari kayu bakar ya!“ terdengar teriakan Kakak dari pintu depan.
“Iya kak, hati-hati yaaa!“ Aku balas berteriak.
“Dek, kamu jagain Adik ya, sebentar lagi Ibu pulang dari rumah Ibu Fatimah kalau pekerjaannya sudah selesai, kamu jangan keluar rumah dulu!“ lagi Kakak berteriak.
“Iya Kak, Kakak sama Bapak hati-hati!“ seruku tanpa menoleh kearah mereka.
“Iya!“ teriak mereka bersamaan.
Aku kembali memperhatikan Adik bungsu kami, namanya Irfan, dia berusia tujuh tahun, namun karena dia memiliki penyakit Down syndrom sejak lahir, dia tumbuh tidak sesuai dengan usianya, dia tergolong lambat dalam pertumbuhannya.
Kasihan dia, masih kecil tapi harus bergelut dengan penyakit yang dia derita, tapi memilikinya membuat kami menjadi manusia yang semakin bersyukur, setidaknya meskipun kami terlahir dari keluarga kelas bawah, tapi aku dan Kakak-ku di lahirkan sempurna.
“Lia, Kakak dan Bapakmu sudah berangkat??” tiba-tiba terdengar suara Ibu, tepatnya dari arah belakangku, aku segera menoleh dan mengangguk.
“Iya Ibu, baru saja“ jawabku, sambil kembali memperhatikan Irfan yang kini, tubuhnya sudah belepotan dengan tanah.
“Ibu capek??” tanyaku menghampiri Ibu, kemudian beranjak pergi ke dapur, dan menuangkan segelas air putih, pada gelas usang, dan memberikannya pada Ibu.
“Iya, hari ini cucian di rumah Ibu Fatimah banyak banget Lia, numpuk“ keluh Ibu sambil mengelus betisnya, lalu meminum air yang baru saja kusajikan. Ada gurat lelah dimata Ibu, Ibu terpaksa harus jadi buruh cuci di salah satu rumah warga, untuk menambah penghasilan bagi keluarga kami, mengingat Bapak hanya pencari kayu bakar di hutan, yang kadang sering di bantu Kak Maman, jika Kak Maman sedang libur bekerja dipasar sebagai kuli panggul.
“Sini biar Lia pijitin“ tawarku.
“Kamu gak capek Lia?? Kamu juga baru selesai nyuci ‘kan??” tanya Ibu sambil menatap jemuran yang masih meneteskan air.
“Gak kok, sini, Ibu mau dipijit di bagian mana??” tanyaku sambil mulai memijat tangan Ibu.
“Iya, tangan aja Lia, rasanya pegel banget tangan Ibu“ lagi, Ibu mengeluh.
“Ibu, sampai kapan hidup kita akan begini??” tanyaku tiba-tiba.
“Kenapa?? Kamu lelah hidup susah bersama Ibu?” tanya Ibu sambil menatapku.
“Tidak, hanya saja aku kasihan melihat Ibu dan Bapak, harus kerja banting tulang untuk menghidupi kami“ jawabku sambil menunduk.
“Kamu gak perlu sedih Lia, kamu hanya perlu belajar dengan giat, dan tunjukkan pada Ibu dan Bapak, jika perjuangan kami tidak sia-sia“ jawab Ibu sambil tersenyum lembut.
“Iya Ibu, Lia akan berusaha“ aku mengangguk, membalas senyuman Ibu, sambil terus memijat tangannya.
Sementara Irfan sudah asyik sendiri dengan tanah di tangannya. Setelah selesai memijat Ibu, aku menghampiri Irfan.
“Dek, kita mandi yuk“ ajakku sambil menuntun tangannya.
“Nak, kak nak“ Aku mengerutkan dahi.
“Apa yang enak??” tanyaku heran, sementara Irfan tidak sedang memakan apapun.
“Naaaakkkk!!“ teriaknya lagi sambil menggelengkan kepala.
“Oh, Adek belum mau mandi??” tanyaku memastikan.
“Huuhh ... huhh“ jawabnya sambil manggut-manggut,
Irfan sudah seperti anakku sendiri, mengingat setiap harinya akulah yang lebih banyak meluangkan waktu bersamanya, aku dan Irfan terpisah, hanya jika aku berangkat sekolah saja. Selebihnya Irfan tidak pernah lepas dari pandangan mataku, bahkan tidurpun kita selalu bersama. Apapun keadaannya, kami menerima Irfan sebagai anugrah dari Allah.
“Dek, udah ya main tanahnya, kita mandi aja yuk“ ajakku yang sudah mulai kepanasan, karena trik mentari yang sudah sepenggalah naik.
“Huuuhhh ...” katanya sambil berlari mendahuluiku.
Aku tersenyum, sambil mengikutinya dari belakang. Kemudian kami mandi bersama, aku membersihkan tubuh kecil Irfan dari segala debu dan kotoran, hingga bersih. Selesai memandikannya, kemudian aku mengoleskan minyak kayu putih keseluruh tubuhnya, dan memakaikan baju bersih, lalu mata Irfan terlihat mulai terkatuk-katuk, aku segera memeluknya kemudian menidurkannya, tak lama kemudian Irfan sudah terlelap dalam tidurnya.
“Lia, Bapak dan Kakakmu kenapa belum pulang juga ya?? Padahal ini sudah sore lho” tanya Ibu sambil mondar-mandir didepan pintu.
“Iya bu, kenapa ya??” Aku ‘pun heran, biasanya sebelum dzuhur Bapak sudah pulang, dengan seikat kayu bakar di pundaknya, sekarang sudah pukul tiga sore, tapi Bapak juga Kakak kenapa masih belum pulang juga? Akupun ikut mondar-mandir seperti Ibu.
“Lia, sebaiknya kamu minta bantuan pak RT saja, buat nyariin Bapak kamu di hutan, soalnya Ibu khawatir sekali“ pinta Ibu, masih dengan wajah cemasnya.
“Baik Ibu” Aku mengangguk sambil beranjak pergi kerumah pak Rt, meminta bantuan kepadanya dan juga pada warga sekitar agar bisa membantu mencari Bapak.
Setelah pak Rt menyetujuinya, kemudian pak Rt bersama beberapa warga berangkat mencari Bapak dan kak Maman kedalam hutan. Sementara aku dan Ibu menunggunya dirumah dengan hati yang tak karuan, waktu sudah menunjukkan pukul lima sore, tapi yang ditunggu belum juga muncul.
Kami semakin dilanda kecemasan, hingga beberapa Ibu-Ibu tetangga, mendatangi kami, ikut menemani kami, seraya berdo’a agar Bapak, Kak Maman, dan juga suami mereka yang sedang mencari diberi keselamatan.
Adzan maghrib sudah berkumandang, hujan gerimis mulai membasahi bumi, tapi sosok yang kami tunggu tak kunjung tiba, kami semakin panik dan segala prasangka sudah menyertai fikiran kami.
“Ya Allah, semoga Bapak dan Kak Maman baik-baik saja“ seruku dalam do’a yang kupanjatkan selepas shalat maghrib.
***
Hay readers ... selamat datang di SUATU HARI NANTI. terimakasih banyak sudah memilih buku ini sebagai bacaan kalian, jangan lupa dukung karyaku yaaaa.
Silahkan tap love, jadikan buku ini sebagai salah satu list buku pavorite kalian, agar tidak ketinggalan jika aku update.
Silahkan tekan tombol jempol sebagai tanda jika kalian menyukai dan mendukung karyaku.
Jika ada unek-unek, silahkan tuliskan komentar kalian di kolom komentar yaaa, semoga dengan begitu aku semakin semangat untuk terus menulis.
Follow akunku, atau akun instagramku di Teteh_neng2020
Untuk yang suka vote karya author yang kalian sayangi, kalian boleh masuk di GC ku karena aku suka bagi-bagi poin di sana.
Jika tidak ingin cerita yang gantung, kalian boleh mampir di karyaku yang lainnya.
KETIKA CINTA DI UJI
TERPAKSA MENIKAHI BRONDONG
CINTA SEGITIGA
MENIKAHI DUDA GALAK
BISIK-BISIK CINTA
KEPALSUAN CINTA
terimakasih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
elen situmorang
jatuh cinta di kepalsuan cinta..aku mampir ya thor
2023-01-23
0
Yashinta
😢😢😢
2022-01-23
1
🍁𝑴𝒂𝒎 2𝑹ᵇᵃˢᵉ🍁
Aku mampir teteh
2022-01-11
1