Di kota Paris yang penuh intrik, Amina De La Croix, seorang detektif swasta berhijab yang jenius dan tajam lidah, mendapati dirinya terjebak dalam kasus pembunuhan misterius yang menyeret tujuh mafia tampan yang menguasai dunia bawah kota tersebut.
Saat Amina menyelidiki, dia berhadapan dengan Alexander Rothschild, pemimpin mafia yang dingin dan tak tersentuh; Lorenzo Devereux, si manipulator licik dengan pesona mematikan; Theodore Vandenberg, sang jenius teknologi yang misterius; Michael Beaumont, jagoan bela diri setia yang berbicara dengan tinju; Dante Von Hohenberg, ahli strategi yang selalu sepuluh langkah di depan; Felix D’Alembert, si seniman penuh teka-teki; dan Lucien Ravenshaw, ahli racun yang mematikan namun elegan.
Di tengah misteri dan bahaya, sebuah hubungan yang rumit dan tak terduga mulai terjalin. Apakah Amina akan menyelesaikan kasus ini sebelum dirinya terseret lebih dalam ke dunia mereka? Atau justru tujuh mafia ini yang akan takluk oleh keunikan sang detektif?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 17
Udara malam terasa menusuk saat Amina melangkah keluar dari markas Alexander. Kakinya bergerak cepat, sepatu botnya mengeluarkan suara pelan di atas trotoar yang lembap. Pikiran di kepalanya berpacu lebih cepat daripada langkahnya.
"Seseorang mengawasi. Seseorang ingin aku mati."
Alexander masih meragukannya. Michael masih menyimpan amarahnya. Lorenzo? Pria itu tampak seperti menikmati pertunjukan. Tapi yang lebih penting sekarang, siapa yang cukup nekat untuk menjebaknya?
Angin dingin berembus, menyibak sedikit jilbabnya. Amina merapatkan jaket, menyelipkan tangannya ke dalam saku. Saat mencapai apartemennya, matanya langsung menangkap sesuatu yang tidak biasa.
Sebuah paket kecil tergeletak di depan pintunya.
Tanpa nama. Tanpa cap pos. Hanya kotak kardus sederhana.
Jantungnya berdegup kencang. Instingnya berteriak agar tidak menyentuhnya.
"Tapi aku harus tahu."
Dengan hati-hati, ia mengambil paket itu dan membawanya ke dalam. Setelah memastikan pintu terkunci, Amina membuka kotak itu perlahan.
Apa yang ada di dalamnya membuat darahnya membeku.
Serangkaian foto dirinya di jalan, di kantor bahkan saat bertemu dengan informan.
Setiap gambar diambil dari sudut yang berbeda, seolah-olah fotografernya selalu berada selangkah di belakangnya, mengawasi setiap gerakannya.
Di foto terakhir, ada sesuatu yang membuat tenggorokannya terasa kering. Wajahnya disilang dengan tinta merah tebal.
Ini bukan peringatan. Ini hukuman mati.
Amina menelan ludah. Tangannya mencengkeram ujung meja, berusaha tetap tenang. Tapi matanya terus memindai foto-foto itu, mencari petunjuk sekecil apa pun.
“Kalau kau pikir aku akan lari, kau salah besar,” gumamnya.
Ia merogoh ponsel, mengetik pesan cepat untuk satu-satunya orang yang bisa membantunya sekarang.
Kafe kecil di sudut kota itu hampir kosong saat Amina masuk. Bau kopi hitam dan roti panggang menyatu dengan keheningan malam. Lorenzo duduk di meja dekat jendela, menyilangkan kaki dengan santai, satu tangan mengaduk cappuccino-nya dengan gerakan malas.
Begitu melihat Amina, ia mengangkat alis. “Cepat sekali. Biasanya kau menyuruh orang menunggu.”
Amina langsung menjatuhkan amplop berisi foto-foto itu di meja. Lorenzo meliriknya sekilas sebelum mengambil satu dan mengamatinya.
“Hm.” Dia menyeringai tipis. “Siapa pun yang mengambil ini, mereka punya selera bagus dalam fotografi.”
Amina mendesah. “Bisa tidak kau serius?”
Lorenzo menaruh foto terakhir di atas tumpukan, menatap wajah Amina yang disilang tinta merah. “Seseorang ingin kau mati. Itu serius.”
Amina duduk, melipat tangannya di dada. “Pintar. Lalu, siapa menurutmu yang melakukannya?”
Lorenzo mengetuk jari di meja, berpikir. “Bisa siapa saja. Seseorang yang kau kejar. Seseorang yang ingin kau diam.”
“Aku tidak punya banyak musuh,” kata Amina.
Lorenzo terkekeh. “Amina, kau seorang detektif yang suka mencampuri urusan orang lain. Kau punya lebih banyak musuh daripada yang kau kira.”
Amina hanya mendengus. Ia tahu Lorenzo ada benarnya. Sebelum mereka bisa melanjutkan pembicaraan, sesuatu terjadi.
Seorang pria, mengenakan jaket gelap, muncul dari pintu belakang kafe.
Amina langsung menyadari ada yang aneh. Langkahnya terlalu ringan, terlalu tenang, seperti predator yang tahu kapan harus menyerang.
Dalam sekejap, pria itu bergerak.
Amina nyaris tidak punya waktu untuk bereaksi saat pukulan pertama melesat ke arahnya. Ia menunduk, merasakan hembusan angin di atas kepalanya.
Pria itu cepat. Tapi Amina lebih cepat.
Ia berputar, menangkap pergelangan tangan lawannya dan menghantamkan sikunya ke perut pria itu. Serangan itu cukup membuatnya mundur beberapa langkah, tapi tidak cukup untuk menjatuhkannya.
Lorenzo, masih duduk, hanya menyaksikan dengan ekspresi tertarik. “Kalau kau butuh bantuan, aku bisa—”
“Diam,” potong Amina sambil menghindari serangan lain.
Pria itu mencoba menyerangnya lagi, tapi kali ini Amina sudah siap. Ia menendang lutut lawannya, membuatnya jatuh berlutut. Lalu, dengan satu gerakan cepat, ia meraih botol kaca di meja dan menghantamkan ujungnya ke belakang kepala pria itu.
Pria itu terjatuh. Tidak sadarkan diri.
Lorenzo akhirnya berdiri, menyesap kopi sebelum berkomentar, “Mengagumkan. Kau bahkan tidak menumpahkan kopiku.”
Amina mengabaikannya. Matanya tertuju pada sesuatu yang mencuat dari saku jaket pria itu.
Sebuah amplop kecil.
Ia meraihnya dan membukanya dengan hati-hati.
Di dalamnya, hanya ada selembar kertas dengan tulisan tangan kasar.
Pesan itu membuat darahnya membeku.
“Kau hanya pion. Dalangnya lebih dekat dari yang kau kira.”
Amina merasakan dingin menjalari punggungnya.
Lorenzo mengintip ke bahunya. “Oke, ini mulai terdengar seperti film thriller kelas berat.”
Amina menggenggam kertas itu erat-erat. Siapa pun yang melakukan ini, mereka tidak hanya mengincarku. Mereka sedang bermain dengan sesuatu yang jauh lebih besar.
Ia berdiri di tengah kafe yang kini sunyi, hanya suara dentingan sendok di gelas dan bisikan pelan yang memenuhi udara. Mata-mata pengunjung masih sesekali melirik ke arahnya, beberapa dari mereka pura-pura tidak melihat, sementara yang lain mencoba menilai situasi.
Pria yang menyerangnya masih tergeletak di lantai, napasnya berat, tetapi tetap tidak sadarkan diri. Amina berjongkok dan menarik napas dalam, matanya meneliti wajah pria itu dagu berlekuk, bekas luka samar di pelipis, dan aroma cologne yang terlalu menyengat. Dia bukan sekadar preman jalanan.
Tangannya menggenggam kertas kecil yang baru saja dia ambil dari saku jaket pria itu. Satu kalimat tertulis dengan tinta merah menyala:
"Hentikan, atau kau akan bernasib seperti korban berikutnya."
Jantungnya berdetak lebih cepat. Ini bukan sekadar peringatan. Ini adalah ultimatum.
"Bagus," gumamnya sambil menyeringai tipis. "Berarti aku sudah di jalur yang benar."
Dia merogoh dompet pria itu dan menemukan sesuatu yang lebih menarik, sebuah kartu akses elektronik dengan logo perusahaan yang familiar. Mata Amina menyipit.
"Golden Summit Corp."
Perusahaan itu tidak asing baginya. Bertahun-tahun lalu, dia pernah menemukan keterkaitannya dengan jaringan perdagangan ilegal, tetapi semua bukti menghilang begitu saja sebelum bisa dibawa ke pengadilan. Kini, kartu akses ini ada di tangannya.
Sebelum ada yang bertindak lebih jauh, Amina beranjak, memasukkan barang bukti ke dalam saku jaketnya. Dia tidak bisa tinggal lebih lama di sini.
Saat berjalan keluar, firasat buruk menyergapnya. Ada sesuatu yang mengawasinya.
Tidak, seseorang.
Dia tidak menoleh langsung, hanya menggunakan pantulan jendela toko di seberang jalan untuk mengamati. Seorang pria dengan mantel panjang dan topi abu-abu berdiri di dekat halte bus, seolah menunggu sesuatu. Tapi sikapnya terlalu kaku, matanya terlalu awas, dan tangannya terus berada di dalam saku—mungkin menggenggam sesuatu.
"Sial, aku sedang dikuntit."
Amina mempercepat langkahnya, berpura-pura sibuk dengan ponselnya sambil mencari rute keluar yang aman. Dia tidak bisa pulang ke apartemennya. Sudah terlalu banyak orang yang tahu tempat itu.
Lima belas menit kemudian, Amina tiba di sebuah apartemen kecil yang dia sewa untuk keadaan darurat. Tidak ada dekorasi mewah, hanya perabotan dasar dan komputer yang selalu siap untuk investigasi mendadaknya.
Dia segera menyalakan laptop dan menyambungkan kartu akses yang dia dapatkan. Beberapa detik kemudian, layar menunjukkan daftar transaksi yang mencurigakan. Mata Amina membesar saat membaca nama-nama yang terlibat.
"Astaga... ini lebih buruk dari yang kuduga."
Nama-nama itu bukan hanya petinggi mafia, tetapi juga pejabat tinggi pemerintahan. Polisi, jaksa, bahkan seorang anggota parlemen. Semua terkait dengan aliran uang dalam jumlah besar.
Amina mengusap wajahnya. Ini bukan hanya soal perebutan kekuasaan antar mafia. Ini konspirasi tingkat tinggi.
romantisnya tipis karena mungkin sesuai genrenya, tapi aku suka baca yang seperti ini.