Hanya kisah sederhana yang menceritakan tentang kehidupan rumah tangga dua anak manusia yang memiliki perbedaan usia yang sangat jauh berbeda.
Walaupun dengan perbedaan usia yang sangat jauh itu, mereka tetap saja saling jatuh cinta. Dan sama-sama berusaha untuk menjaga kesucian cinta mereka.
Si pria dewasa yang bertingkah seperti bocah, dengan sikap posesif dan pencemburunya. Dan si Gadis Kemarin Sore yang bertingkah sok dewasa.
Mereka diibaratkan bagaikan dua sayap dari satu ekor burung. Patah satu sayap saja, maka seekor burung pun tidak bisa terbang dengan satu sayap lainnya. Begitulah mereka, saling menyayangi, saling merawat dan saling menjaga, agar tidak ada sayap yang patah, dan agar seekor burung bisa tetap terbang sesuai dengan keinginan hatinya.
Om Posesif Itu, SUAMIKU!
________
Ig: Ichaannisaamanda
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Icha Annisa Amanda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HADIAH
Aku tersenyum begitu selesai mengerjakan semua soal ujian. Dengan gerakan cepat aku melipat dan menyusun lembar soal dan jawaban. Lalu menyerahkannya pada guru pengawasan.
"Sudah selesai, Bu. Manda boleh pulang kan sekarang?"
Bu Eka tersenyum saat melihat kertas jawabanku. "Tunggu sebentar Manda. Tadi pagi Bu Diah berpesan pada saya. Agar kamu menemui beliau dia ruang guru."
"Di ruang guru?" Aku berpikir sejenak. "Ah, iya Bu. Manda langsung ke sana sekarang!"
Aku meraih tangan Bu Eka, menciumnya.
"Semangat ya, Nak. Besok hari terakhir ujianmu!" Bu Eka mengelus bahuku pelan.
"Iya, Bu. Manda pasti semangat. Kalo gitu, Manda duluan ya. Assalamu'alaikum, Bu."
"Wa'alaikumussalam."
Aku melangkah meninggalkan ruang ujian. Menuruni tangga dan langsung menuju ruang guru.
"Assalamu'alaikum," ucapku saat sudah berdiri di depan pintu. Bu Diah yang sepertinya sudah menungguku pun tersenyum begitu melihatku.
"Wa'alaikumussalam. Silahkan masuk, Manda!"
Bu Diah mengajakku ke ruangannya, mempersilahkan aku duduk. "Ibu bangga sekali dengan pencapaianmu Manda."
Beliau menyerahkan kertas ujian Bahasa Indonesia milikku. Tertulis jelas di sana angka 95. Aku sendiri tidak menyangka akan mendapatkan nilai sebanyak itu.
"Semua nilai kamu di atas rata-rata. Hanya nilai matematika saja yang sedikit turun. Tapi nggak masalah. Semuanya bagus!"
"Terimakasih, Bu." Aku menyentuh lembar jawaban ujian Matematika yang Bu Diah tunjukan. Delapan puluh dua. Tidak terlalu mengecewakan.
"Emmm, untuk merayakan ini. Ibu punya sesuatu buat kamu. Anggap saja sebagai hadiah karena prestasimu."
Bu Diah meletakan sebuah bingkisan dia atas meja. "Jangan di liat dari harganya. Ibu harap kamu suka!"
Aku tersenyum. "Terimakasih ya, Bu."
Bu Diah memegang bahuku sambil tersenyum juga. "Sama-sama, Manda." Sekali lagi, aku merasakan kehangatan dalam pelukan Bu Diah. Beliau terlihat begitu tulus. Tanpa ada maksud dan niat tertentu padaku.
"Sekali lagi, terimakasih ya, Bu. Manda pamit pulang dulu. Assalamu'alaikum." Aku mencium punggung tangan Bu Diah sebagai tanda hormat padanya.
"Wa'alaikumussalam. Hati-hati di jalan ya!"
"Iya, Bu."
Aku mendekap bingkisan yang Bu Diah berikan. Tidak pernah menyangka bahwa hubunganku dan orang yang sempat mencintai dan mengagumimu suamiku akan seperti ini. Tidak seperti drama ataupun novel yang sering kubaca.
Senyumku semakin mengembang ketika melihat mobil Om Zidan sudah terparkir, menungguku di depan gerbang. Dengan berlari kecil aku menghampiri dan mengetuk kaca mobil.
Aku terkejut begitu kaca mobil diturunkan. "Mama?"
Mama tersenyum sembari keluar dari mobil. Memelukku dengan erat. "Bukannya Mama kan datang besok?"
"Emm, kalo bisa sekarang, kenapa harus besok?" Mama mengelus kepalaku. Lalu mengajakku untuk masuk dan duduk di kursi belakang. Membiarkan Om Zidan sendiri di depan.
"Oh jadi gitu ya. Kalo ada Mama. Aku dilupain gitu aja?" sindir Om Zidan sambil menatapku melalui kaca depan.
"Hehehe, maaf. Habis Manda lupa kalo ada Om Zidan juga." Aku cengengesan saat mendapatkan cubitan di pipi dari Mama.
"Kalian berdua ya."
Aku bisa melihat Om Zidan mengukir senyum indah di bibirnya. Rasa bahagia yang aku rasakan sekarang. Pasti sama dengan apa yang Om Zidan rasakan.
"Eh, ini apa, Manda?" Tanya Mama sambil memegang bingkisan yang aku pangku.
"Ini hadiah dari guru Manda, Ma."
"Dalam rangka apa?" sahut Om Zidan.
"Ya, dalam rangka merayakan nilai bagus Manda?" Aku menatap Mama yang tiba-tiba mengelus kepalaku lagi. Seolah Mama ingin mengatakan. 'Uh, pinter sekali anak Mama.'
"Cewek atau cowok?"
"Zidan...." Mama langsung menepuk pundak Om Zidan. "Jangan mulai lagi!"
"Cewek atau cowok? Jawab, Sayang!" Om Zidan menghiraukan apa yang Mama katakan. Tetap saja menanyakan pertanyaan yang ia inginkan.
Aku tersenyum jahil. "Kalo cowok?"
Srettt...
Mobil ngerem mendadak. Om Zidan langsung memutar tubuhnya menghadapku. "Mana? Liat bingkisannya!"
"Zidan." Mama kembali memberikan teguran.
"Liat, Sayang!"
Bodoh sekali, Manda. Seharusnya kamu jangan usik mode serigala mabuk yang sudah tidur lama ini!
Aku pun menyerahkan bingkisan yang aku sendiri belum tau apa isinya. Om Zidan dengan cepat membuka bingkisan itu, dan menatapku dengan tajam.
"Apa isinya?" tanya Mama sedikit berbisik padaku.
"Manda juga nggak tau, Ma."
Om Zidan kembali melajukan mobil dan menyimpan bingkisan itu di kursi depan. Tidak mengizinkan aku untuk menyentuhnya.
"Kamu sih, seneng godain dia!" Mama menggeleng pelan lalu menggandeng tanganku untuk masuk ke dalam rumah. Sedangkan Om Zidan sudah terlebih dahulu masuk. Dia membawa bingkisan itu, dan juga koper milik Mama.
"Tanggung jawab lo, Manda!" Mama mengedipkan sebelah matanya, sebelum masuk ke dalam kamar tamu untuk istirahat sejenak.
Antara takut dan berani aku melangkah menaiki tangga menuju kamar. Membuka pintu kamar dengan pelan.
"Hallo, Hen. Tolong ambilin pesenan Kakak di butik Kiara!" Begitulah percakapan yang aku denger saat Om Zidan berdiri membelakangiku, menelpon seseorang.
Setelah selesai dengan percakapan di telepon. Om Zidan pun memutar tubuhnya, matanya langsung tertuju padaku.
"Guru yang mana? Siapa namanya?" Pertanyaan yang masih membahas malasah bingkisan ternyata!
"Manda cuman becanda. Bu Diah yang ngasih Manda!" Aku melangkah mendekat. Ingin menjelaskan faktanya.
"Bu Diah ya?" Om Zidan mengambil bingkisan yang ia letakkan dia atas kasur. Menyerahkannya kepadaku.
"Sejak kapan Bu Diah mencintaimu?"
Hah. Aku juga ikut terkejut ketika membaca surat kecil yang terselip di dalam bingkisan.
...Congratulations on your achievement....
...From me, who still loves you. Just like before....
"Siapa Manda?" Tanya Om Zidan sekali lagi. Aku pun hanya bisa menggeleng pelan.
"Manda nggak bohong, Sayang. Itu emang dari Bu Diah. Mungkin bingkisan itu Bu Diah pesan, terus dia nggak tau ada surat kaya gitu? Sumpah, Manda nggak bohong!"
Om Zidan meraih tanganku. Ia menarik tubuhku ke dalam pelukannya. "Iya, aku percaya kok sama kamu. Aku tau kamu nggak bohong. Tapi aku nggak tau dengan gurumu itu, apakah dia yang berbohong?"
Hah, gimana maksud Om Zidan? Bu Diah berbohong? Berbohong tentang hadiah ini maksudnya? Maksudnya, hadiah ini sebenarnya bukan dari dia? Begitu?
...********************...
"Tante?" Seorang remaja berlari menghampiri wanita yang baru saja turun dari taksi itu.
"Gimana? Udah Tante kasih ke Manda?" Tanyanya dengan raut wajah penuh harap.
"Udah. Tante harap ini yang terakhir ya Tante bantuin kamu, Lang! Lain kali Tante nggak mau lagi!"
"Makasih, Tan."
"Sama-sama. Ayo masuk!"
Gilang, remaja yang masih menyimpan dan memendam perasaan cinta yang begitu dalam itu terus berusaha untuk menemukan cara. Agar dia bisa berhubungan baik dengan Mantan Kekasihnya, Manda. Gadis yang berhasil menaklukkan hatinya sampai saat ini.
Tapi sayang, situasi dan keadaan yang sekarang tidak berpihak lagi padanya. Tidak ada harapan lebih untuk menjadi kekasih Manda lagi. Manda sudah memliki kekasih halalnya. Kekasih yang begitu ia cintai.
Hati Gilang benar-benar hancur malam itu. Saat ia mengetahui fakta tentang pernikahan Manda dan Pria yang selama ini sering mengantar dan menjemputnya ke sekolah.
Tak jauh berbeda dengan Gilang. Ada hati juga yang ikut hancur setelah mengetahui fakta itu, hati Rabiatul Adawiyah. Atau wanita yang sering di sapa Diah, atau Bu Diah. Adik kandung dari Mama Gilang. Ia juga merasakan hal yang sama seperti keponakannya. Sakitnya kehilangan harapan.
Namun, keduanya sama-sama sadar diri. Sama-sama berusaha untukku menerima fakta yang ada. Sama-sama berusaha untuk mengubur dan membuang rasa yang ada. Dan sayangnya, untuk hal itu, Gilang belum bisa.
"Selalu mencintaimu, akan selalu seperti itu."