NovelToon NovelToon
Pengawal Yang Bunuh Ayahku

Pengawal Yang Bunuh Ayahku

Status: sedang berlangsung
Genre:Anak Yatim Piatu / Action / Cinta Terlarang / Mafia / Romansa / Balas Dendam
Popularitas:100
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

"Tujuh tahun aku hidup di neraka jalanan, menjadi pembunuh, hanya untuk satu tujuan: membunuh Adipati Guntur yang membantai keluargaku. Aku berhasil. Lalu aku bertaubat, ganti identitas, mencoba hidup normal.
Takdir mempertemukanku dengan Chelsea—wanita yang mengajariku arti cinta setelah 7 tahun kegelapan.
Tapi tepat sebelum pernikahan kami, kebenaran terungkap:
Chelsea adalah putri kandung pria yang aku bunuh.
Aku adalah pembunuh ayahnya.
Cinta kami dibangun di atas darah.
Dan sekarang... kami harus memilih: melupakan atau menghancurkan satu sama lain."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 12: MICHAEL SANG SAUDARA ANGKAT

Michael membawa Alex ke apartemen kecil di pinggiran Distrik Sombra—bukan mewah, tapi jauh lebih layak daripada kolong jembatan.

Ada kasur sungguhan. Ada kamar mandi dengan air panas. Ada dapur kecil dengan kulkas yang berisi makanan.

Alex berdiri di tengah ruangan itu, hampir tidak percaya.

"Ini... ini benar-benar untukku?"

"Ya. Ini tempat tinggal untuk rekrutan baru." Michael duduk di sofa lusuh, menyalakan rokok. "Kau bisa pakai sesukamu. Tapi ingat—ini bukan gratis. Kau harus kerja untuk organisasi."

Alex mengangguk, masih terpesona dengan tempat yang untuk pertama kalinya dalam setahun terasa seperti rumah.

"Mandi dulu," kata Michael sambil menghembuskan asap. "Kau bau mayat dan sampah. Setelah itu kita bicara."

Tiga puluh menit kemudian, Alex keluar dari kamar mandi—bersih untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan. Michael sudah menyiapkan baju baru—celana hitam dan kaos sederhana.

"Lebih baik," komentar Michael. "Sekarang duduk. Kita perlu bicara."

Alex duduk di sofa, masih memegang boneka beruang lusuh—satu-satunya barang yang ia bawa.

Michael melirik boneka itu, alisnya terangkat. "Itu apa?"

"Boneka adikku," jawab Alex pelan, memeluknya. "Satu-satunya yang tersisa."

Michael tidak berkomentar, tapi ada sesuatu yang berubah di matanya—sesuatu yang lembut, meski hanya sekilas.

"Nak, aku akan tanya sekali dan aku mau jawaban jujur." Michael membuang puntung rokoknya. "Kenapa kau bunuh preman itu? Bukan karena dia bunuh gelandangan tua. Ada yang lebih dalam."

Alex terdiam.

Michael menunggu—tidak mendesak, hanya menunggu.

Akhirnya Alex membuka mulut, suaranya serak.

"Keluargaku dibunuh. Papa, Mama, adikku yang berusia sepuluh tahun. Delapan belas bulan lalu."

Michael tidak terlihat terkejut—seolah ia sudah menduga.

"Siapa yang bunuh mereka?"

Alex mengangkat kepalanya, mata bertemu mata.

"Adipati Guntur."

Untuk pertama kalinya, Michael benar-benar terkejut.

Tubuhnya menegang. Rokoknya yang baru ia nyalakan jatuh dari tangannya.

"Adipati... Guntur?" ulangnya pelan, seolah memastikan ia tidak salah dengar.

Alex mengangguk.

"Papa jurnalis investigasi. Dia akan publish korupsi lima puluh triliun yang dipimpin Adipati Guntur. Jadi... Adipati Guntur kirim sepuluh orang untuk bunuh keluargaku."

Tangan Alex mengepal, menghancurkan boneka beruang di pelukannya.

"Mereka memperkos* Mama lalu bakar dia hidup-hidup. Mereka memperkos* Elena yang baru sepuluh tahun, lalu potong tenggorokannya. Mereka bunuh Papa dengan tembak kepalanya. Semuanya di depan mataku."

Air mata mulai turun—tapi suara Alex tetap datar, seperti ia menceritakan cuaca.

"Aku bersembunyi di lemari. Aku dengar semuanya. Elena teriak-teriak panggil namaku, minta tolong. Tapi aku tidak keluar. Aku pengecut."

Michael mendengarkan dalam diam—wajahnya tidak ada ekspresi, tapi tangannya mengepal di atas pahanya.

"Setelah itu?" tanyanya pelan.

"Polisi tutup kasus. Bilang ini kebakaran kecelakaan. Dibayar oleh Adipati Guntur." Alex menatap boneka beruang di tangannya. "Aku jadi gelandangan. Hidup di jalanan. Nyaris bunuh diri. Tapi Marcus—gelandangan tua yang kau liat foto di dompetku—dia selamatkan aku. Dia latih aku selama setahun. Lalu dia dibunuh preman."

Alex mengangkat kepalanya, menatap Michael dengan mata yang kosong tapi penuh kebencian.

"Jadi ya. Aku bunuh preman itu bukan cuma karena dia bunuh Marcus. Tapi karena aku latihan. Suatu hari nanti, aku akan bunuh Adipati Guntur. Perlahan. Menyakitkan. Seperti dia bunuh keluargaku."

Keheningan memenuhi ruangan.

Michael berdiri, berjalan ke jendela, membelakangi Alex.

"Nak," katanya akhirnya, suaranya bergetar sedikit. "Kau dan aku... kita sama."

Alex mengangkat kepalanya. "Apa?"

Michael berbalik, dan untuk pertama kalinya, Alex melihat sesuatu di mata pria itu—kesedihan yang sangat dalam.

"Keluargaku juga dibunuh oleh Adipati Guntur."

Alex berdiri, tidak percaya. "Apa?"

Michael duduk lagi, menunduk, tangannya saling menggenggam erat.

"Lima tahun lalu. Aku berusia dua puluh tiga. Punya keluarga sederhana—Papa, Mama, adik laki-laki dan perempuan. Kami punya rumah kecil di tepi kota. Tidak banyak, tapi itu rumah kami."

Ia menarik napas dalam.

"Lalu Adipati Guntur mau bangun mall mewah di area itu. Dia mau gusur semua rumah di sana—seratus keluarga lebih. Tanpa kompensasi yang layak. Dia tawarkan sepuluh juta per rumah. Padahal harga tanah waktu itu seratus juta."

Michael mengusap wajahnya, seolah mencoba menghapus kenangan.

"Papa kami—namanya Hendra Adriano—dia pemimpin warga. Dia kumpulkan semua tetangga, bikin petisi, protes. Mereka minta kompensasi yang adil atau jangan digusur."

"Terus?"

"Adipati Guntur kirim preman. Bakar rumah kami tengah malam." Michael menatap tangannya—gemetar. "Papa terjebak di dalam. Kami dengar dia teriak minta tolong. Tapi api terlalu besar. Pintu digembok dari luar. Kami tidak bisa selamatkan dia."

Air mata mulai turun di pipi Michael—untuk pertama kalinya sejak Alex bertemu dengannya.

"Papa terbakar hidup-hidup. Kami dengar teriakannya sampai suaranya hilang."

Alex merasakan dada sesak—ini persis seperti Mama dan Elena.

"Setelah itu, kami tidak punya apa-apa. Rumah hangus. Papa mati. Kami harus pindah ke Distrik Sombra, hidup di gubuk kardus."

Michael mengusap air matanya dengan kasar—seolah marah pada dirinya sendiri karena menangis.

"Mama... Mama tidak kuat. Dia putus asa. Untuk menghidupi kami—aku, adik laki-lakiku yang dua belas tahun, adik perempuanku yang delapan tahun—Mama jadi PSK."

"Tidak..." bisik Alex.

"Setiap malam Mama keluar, jualan tubuh di jalanan. Setiap malam aku dengar dia nangis di kamar setelah pulang. Tapi dia tetap lakukan itu. Karena itu satu-satunya cara kami bisa makan."

Michael mengepalkan tangannya, pukulan ke dinding—BRAK—sampai buku-buku jarinya berdarah.

"Setahun kemudian, Mama mati. Dibunuh salah satu kliennya. Kami temukan tubuhnya di gang—telanjang, penuh luka tusukan."

"Michael..."

"Adik laki-lakiku—Dion—dia tidak kuat. Dia bunuh diri dengan gantung diri. Umur tiga belas tahun."

Michael tertawa pahit—tawa yang penuh air mata.

"Tinggal aku sama Alyssa—adik perempuanku. Dia waktu itu sembilan tahun. Aku kerja jadi apapun—kuli, pencopet, bahkan ikutan geng kecil-kecilan—demi bisa makan."

"Di mana adikmu sekarang?"

Michael tersenyum—senyum paling sedih yang pernah Alex lihat.

"Dia... dia sekarang aku jaga di panti asuhan yang lebih baik. Aku bayar biaya dia bulanan dari uang kerja di organisasi. Dia sekolah sekarang. SD kelas empat. Dia tidak tahu aku jadi... ini. Dia pikir aku businessman biasa."

Michael menatap Alex dengan mata merah.

"Aku jadi mafia bukan karena mau. Tapi karena ini satu-satunya cara aku bisa survive dan jaga Alyssa. Dan suatu hari nanti... aku akan punya cukup kekuatan untuk bunuh Adipati Guntur. Sama sepertimu."

Keheningan lagi.

Dua orang yang hancur karena orang yang sama.

Dua orang yang kehilangan segalanya.

Dua orang yang hidup hanya untuk balas dendam.

Alex melangkah mendekat, memeluk Michael—pelukan pertama yang ia berikan ke orang lain sejak Marcus mati.

Michael terkejut, tapi lalu ia membalas pelukan itu—dua orang yang saling memahami rasa sakit satu sama lain.

"Kita sama," bisik Alex. "Kita sama-sama korban dia."

"Ya," jawab Michael, suaranya serak. "Kita sama."

Mereka melepas pelukan, saling menatap.

"Mulai sekarang," kata Michael, mengulurkan tangannya, "kita bukan cuma atasan dan bawahan. Kita saudara. Saudara angkat yang punya musuh yang sama."

Alex menggenggam tangan itu—erat, seperti janji yang tidak bisa diputus.

"Saudara," ulangnya.

"Suatu hari nanti," Michael berbisik, mata menyala dengan kebencian yang sama seperti Alex, "kita akan bunuh dia. Bersama."

"Bersama," Alex setuju.

Dan malam itu, dua jiwa yang rusak jadi satu—bersatu dalam kebencian, dalam rasa sakit, dalam tekad untuk membalas.

Adipati Guntur tidak tahu—tapi ia baru saja menciptakan dua monster yang suatu hari nanti akan menghantui mimpi buruknya.

Dua monster yang tidak akan berhenti sampai ia mati.

Perlahan.

Menyakitkan.

Seperti semua orang yang ia bunuh.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!