NovelToon NovelToon
Milikku Selamanya

Milikku Selamanya

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Percintaan Konglomerat / Diam-Diam Cinta / Crazy Rich/Konglomerat / Aliansi Pernikahan / CEO Amnesia
Popularitas:3.6k
Nilai: 5
Nama Author: erma _roviko

Bukan pernikahan kontrak! Satu atap selama 3 tahun hidup bagai orang asing.

Ya, Aluna sepi dan hampa, mencoba melepaskan pernikahan itu. Tapi, ketika sidang cerai, tiba-tiba Erick kecelakaan dan mengalami amnesia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon erma _roviko, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Manja

Tiga hari pertama di rumah, Aluna memainkan perannya dengan kesempurnaan yang mematikan. Ia adalah kekasih yang baik, perawat yang sabar, dan penipu ulung.

Di dalam kamar yang dindingnya diubah menjadi warna hangat, Erick yang kini sepenuhnya adalah Erick versi 2015, kembali bertingkah manja. 

Kelemahan fisiknya, dipadukan dengan kembalinya memori ke masa-masa paling intim mereka, membuatnya sangat bergantung pada Aluna. 

“Luna, jangan ke mana-mana!” pintanya setiap lima menit, bahkan jika Aluna hanya mengambil obat dari meja di samping ranjang. Matanya menunjukkan kecemasan anak anjing yang ditinggalkan. 

“Tetaplah di sini. Ceritakan lagi tentang perjalanan yang ingin kita lakukan!”

Aluna terpaksa duduk di sisi ranjang, menceritakan detail fiksi tentang kota-kota yang akan mereka kunjungi, sambil menahan keinginan histerisnya untuk mengambil laptop dan mengecek email penting.

Erick bukan hanya membutuhkan kehadirannya, tapi menuntut ritual keintiman yang sudah lama hilang.

“Suapi aku, Luna,” pintanya saat makan siang. 

“Rasanya lebih enak kalau kau yang menyuapi. Kau tahu porsi yang pas.”

Aluna dengan sabar mengambil sendok. 

Momen-momen ini adalah ujian terberat, jarak antara wajah mereka hanya beberapa sentimeter. Ia mencium aroma sup dan aroma kulit Erick yang murni, bebas dari parfum mahal milik Erick Wijaya, diganti dengan aroma sabun dan vanili.

“Pelan-pelan, Sayang!” Aluna mengingatkan, saat Erick terlalu bersemangat menerima suapan.

“Kau harus menyuapi orang yang kau cintai dengan perlahan,” goda Erick, matanya berkedip nakal, senyum murni yang meluluhkan hati Aluna yang kelelahan.

Aluna harus mengabaikan jantungnya yang berdebar kencang. Ia tahu, Erick Wijaya yang asli akan memecat siapa pun yang berani menyuapinya. 

Tetapi Erick yang ini menikmati kerentanannya, menikmati pengabdian Aluna sebagai bukti cinta.

“Bulu halusnya mulai mengganggu!” kata Erick suatu sore, menyentuh dagunya. Ia masih belum diizinkan bergerak berlebihan, apalagi mengangkat tangan untuk mencukur.

Maka, Aluna-lah yang harus melakukannya. Ia menghangatkan busa cukur, memegang shaver elektrik dengan tangan gemetar. 

Ia harus sangat dekat, merasakan nafas hangat Erick di pergelangan tangannya.

“Kau berhati-hati, ya,” bisik Erick, menikmati perhatian itu.

“Tentu saja,” Aluna bergumam. Ia melihat wajah Erick yang polos di bawah cahaya lampu kamar yang hangat, sebuah kontras dramatis dengan bayangan wajah Erick Wijaya yang kaku dan tajam. 

Erick Wijaya akan memaksanya melakukan ini untuk menghemat waktu. 

‘Apa yang kau lakukan, Luna?’ batin Aluna memarahi dirinya sendiri. 

Ritual ini begitu intim, adalah cara Erick mengikatnya.

Erick tidak hanya manja, ia posesif. 

Kehadirannya yang konstan di kamar membuat Aluna hampir tidak mungkin melaksanakan tugas logistiknya yang rumit, membalas Hendrawan, mengurus tagihan rumah sakit, dan yang paling penting, membaca berita bisnis untuk mengetahui gerakan Karina dan bu Dewi.

Setiap kali Aluna mencoba mengambil laptopnya, Erick akan mengerang.

“Luna, jangan bekerja!” Erick memohon, suaranya dramatis. 

“Kita sedang liburan. Kau berjanji akan merencanakan perjalanan kita ke Eropa.”

“Aku hanya perlu mengecek email sebentar, Sayang.” Aluna menjelaskan, frustasi mulai merayap. 

“Hanya lima menit.”

“Tidak ada email yang lebih penting daripada aku,” balas Erick, bibirnya mengerucut. Ia bertindak seperti anak kecil berusia lima tahun yang tahu persis bagaimana cara menekan Aluna. 

“Jika kau sibuk dengan laptop, berarti kau sudah tidak betah di sini. Kau mau tinggalkan aku lagi?”

Kata lagi itu menghantam Aluna seperti pukulan keras. Itu adalah senjata utama Erick. Dia tahu bahwa dia tidak bisa menjelaskan situasinya. 

Jika Erick melihat mansion ini, melihat berita tentang perusahaannya yang sedang berjuang, dan terutama melihat email dari pengacara, seluruh sarang palsu itu akan runtuh.

Aluna akhirnya menghela nafas panjang, meletakkan laptopnya di bawah tumpukan selimut. Ia kalah. 

‘Andai kau pulih, sudah pasti kobaran matamu bukan lagi cinta, melainkan rasa benci terhadapku.’

Malam tiba. Setelah seharian yang melelahkan oleh suapan, cukuran, dan janji-janji masa depan yang palsu, Aluna akhirnya mendapatkan waktu 30 menit sendirian. Ia pergi ke kamar mandi, mengunci pintu, dan keramas. Ia membutuhkan air dingin untuk menyegarkan otaknya yang terlalu panas oleh kebohongan.

Ketika ia keluar, rambutnya basah kuyup, meneteskan air ke bahunya.

Erick terbaring di ranjang, matanya setengah tertutup, tetapi ia segera sadar. Ia melihat Aluna, rambutnya basah dan berantakan, tanpa make up, hanya mengenakan piyama katun lama.

“Kau keramas?” tanyanya, suaranya serak.

“Ya,” jawab Aluna. Ia mengambil handuk di rak. 

“Aku akan mengeringkannya di kamar mandi agar tidak mengganggu tidurmu.”

Tiba-tiba, Erick mencoba bangkit. Dengan susah payah, ia menggeser kakinya, dan ia menjangkau kruknya.

“Jangan! Erick, jangan bergerak!” seru Aluna, panik. Ia segera berlari ke sisi ranjang, khawatir Erick akan terjatuh.

“Kau mau apa?” tanya Aluna, menahannya.

Erick menatapnya dengan tekad yang aneh. “Aku akan mengeringkan rambutmu.”

“Apa? Tidak, tidak perlu! Aku bisa melakukannya sendiri!” Aluna bersikeras, mencoba mendorongnya kembali ke bantal. 

“Kau harus istirahat!”

“Aku ingin melakukannya,” kata Erick, nadanya berubah tegas, sebuah nada otoritas yang jarang ia tunjukkan sebagai Erick versi 2015, tetapi sangat khas Erick Wijaya. 

“Aku selalu suka mengeringkan rambutmu. Itu ritual kita. Kau lupa?”

“Kau tidak bisa berdiri lama-lama,” ungkap Aluna mencoba menawar.

“Aku akan duduk di kursi itu?!” perintah Erick, menunjuk ke kursi berlengan di samping ranjang.

Akhirnya, Aluna menyerah. Ia tahu, menolak lebih keras hanya akan menimbulkan stres emosional yang dilarang oleh dokter Bayu. 

Aluna membantunya duduk di kursi dengan hati-hati. Ia mengambil hairdryer dan menyerahkannya.

Aluna duduk di lantai, bersandar di antara kaki Erick. Ia merasakan tangan Erick dengan kruk yang menyangga tubuhnya yang lemah, dan tangan kanannya yang memegang hairdryer.

Suara desing hairdryer mengisi keheningan yang tebal di kamar mewah itu. 

Erick mulai mengeringkan rambut Aluna, tangannya bergerak dengan gerakan yang familiar, memijat lembut kulit kepala Aluna, memilah helai rambutnya. Tangannya terasa lemah, tetapi gerakannya penuh perhatian.

“Rambutmu jadi panjang sekali,” gumam Erick, suaranya nyaris tenggelam oleh suara mesin. 

“Aku suka. Tapi kau harus memotongnya sedikit, Luna. Aku suka saat sedikit menyentuh bahumu, seperti ini.”

Aluna memejamkan mata. Sentuhan ini, rutinitas yang hilang terasa begitu jujur. Itu adalah kontak manusiawi yang ia rindukan di tengah semua kebohongan. Dalam momen itu, ia bukan lagi perawat atau penipu, tapi wanita yang dicintai oleh pria di belakangnya.

“Aku merindukan ini,” bisik Aluna, tanpa sengaja.

Erick mematikan hairdryer sebentar. 

“Merindukan apa?”

“Merindukan... kita,” kata Aluna, memilih kata yang aman. 

“Merindukan hal-hal kecil seperti ini.”

Erick menyentuh punggung Aluna, jemarinya terasa hangat dan bergetar. 

“Kita tidak akan pernah kehilangannya lagi, Luna. Aku janji. Setelah aku sembuh, kita akan kembali ke kehidupan kita, ke impian-impian kita. Aku tidak akan membiarkan apa pun merusaknya lagi.”

Aluna merasakan kata-kata itu sebagai janji yang menusuk, janji yang hanya bisa ditepati oleh ilusi. Ia tahu bahwa janji itu akan hancur begitu Erick Wijaya yang ambisius kembali.

Ketika rambut Aluna kering, Erick mematikan alat itu. Ia menunduk dan mencium puncak kepala Aluna, ciuman yang lembut, penuh rasa memiliki.

Aluna bangkit, matanya basah. Ia harus segera pergi. Ia tidak tahan lagi dengan keintiman yang terlarang ini. Ia sudah terlalu menikmati Erick versi muda dan itu adalah pengkhianatan terbesarnya pada dirinya sendiri dan pada Erick Wijaya yang sedang berjuang untuk kembali.

Aluna hanya mengangguk, membantu Erick kembali ke ranjang, dan dengan cepat menarik diri ke sofa di sudut ruangan, di mana ia akan menghabiskan malam itu. 

Ia telah melewati batas fisik, dan ia harus membangun kembali perisainya, selapis demi selapis, agar cinta Erick muda tidak menghancurkan sisa-sisa dirinya.

1
kalea rizuky
lanjut donk
erma _roviko: Siap👍
total 1 replies
kalea rizuky
Aluna pura2 bahagia g enak mending jujur trs cerai biar aja erik gila sebel q liat laki. gt
Soraya
hadiah pertama dari q lanjut thor
erma _roviko: siap😍😍
total 1 replies
Soraya
mampir thor
erma _roviko: Makasih kak😍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!