Diora, seorang wanita yang hidup mandiri. Kehidupannya cukup senang, tentram, nyaman, dan damai dengan cinta serta kasih sayang yang diberikan oleh kekasih dan sahabatnya.
Namun, ketentraman itu musnah seketika setelah Davis, pria kaya yang arogan masuk ke dalam kehidupan Diora. Hanya karena kebaikan Diora menolong pria itu ketika badai salju membuat Davis begitu menginginkan Diora menjadi miliknya.
Berbagai cara Davis lakukan untuk mendapatkan wanita itu, hingga akhirnya Diora terpaksa harus menikah dengan Davis atas jebakan yang dibuat oleh pria itu.
Kehidupan pernikahan yang mereka jalani tanpa cinta, karena Davis hanya terobsesi dengan Diora. Akankah pernikahan itu membawa kebahagiaan untuk Diora? Atau sebaliknya?
Follow instagram Author yuk : heynukha
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NuKha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 28
Diora tak bodoh, ia tahu mobil apa yang ia tabrak.
“Justru mobil tuan terlihat mahal, artinya tuan itu sultan, tidak seperti aku hanya mobil murahan,” celetuk Diora. “Kita berdamai saja tuan, apa tuan tidak kasian denganku? Aku juga rugi disini, lagi pula tuan terlihat bisa memperbaiki mobil tuan sendiri,” mohonnya, karena dia pasti tidak memiliki uang sebanyak yang harus dikeluarkan untuk memperbaiki mobil Davis. Ia memasang wajah puppy eyes, berharap dapat dilepaskan.
Sial, wajah Diora yang terlihat menggemaskan dengan mata sembabnya membuat Davis ingin sekali mengulang pelukan saat badai salju. Buru-buru ia tepis fikiran itu, bisa gagal rencananya jika dia memeluk Diora saat ini.
“Enak saja damai, apa kau tidak pernah belajar tanggung jawab ha!” sinis Davis, berkata tepat di depan wajah Diora. Wangi mint dari mulut Davis pun sampai tercium oleh Diora.
Tin ... tin ... tin ...
Bunyi klakson dari mobil di belakang mereka. Ternyata lampu sudah hijau, perdebatan mereka di jalan membuat pengendara yang akan melintas terhalang.
“Woy! ... jika ingin bertengkar jangan di tengah jalan! Kecuali kalian ingin mati!” seru para pengendara.
“Diam kalian!” bentak Davis tak kalah galak.
Para pengendara itu tak terima, mereka turun hendak menghajar Davis. Mereka kesal, salah tidak mau mengaku salah. Malah yang salah lebih garang daripada yang benar.
“Kau fikir jalan ini milik nenek moyangmu dan yang lain hanya sewa ha!” berang salah satu pengendara bertubuh gemuk, memegang kupluk jaket Davis.
Davis melepas paksa tangan itu dengan kasar. “Jangan berani memegangku kau!” serunya. Ia mengeluarkan pistol dari saku dalam jaketnya. “Berani kau menyentuhku? ku lubangi kedua matamu!” ancamnya mengarahkan pistol ke mata pengendara yang menantangnya.
Glek ...
Susah payah mereka menelan saliva berjamaah, begitu juga dengan Diora.
Sial! Apakah dia seorang pembunuh bayaran ... kenapa aku harus berurusan dengan orang yang mengerikan seperti dia. Diora merutuki dirinya sendiri dalam hati.
“Hei kau ...,” lirih Diora memanggil George. “Pria yang sedari tadi hanya diam seperti patung,” lanjutnya tak lupa menunjuk dengan jari.
“Aku?” tanya George dingin. Merasa dirinya dipanggil.
“Ya kau ... tolong kondisikan tuanmu itu,” pinta Diora menunjuk Davis yang masih memegang pistolnya.
“Biarkan saja,” tolak George tak perduli.
“Kau itu bagaimana ... jika dia sungguh menembak orang, kalian bisa jadi pembunuh,” sungut Diora.
“Lalu aku harus apa?” tanya George dingin dengan wajah datarnya.
“Astaga ... kau itu kan bodyguardnya, seharusnya kau tahu apa yang harus kau lakukan dengan tuanmu itu,” kesal Diora memegang kepalanya lalu bergeleng kepala. Merutuki manusia yang seperti patung itu.
“Apa matamu buta! Pria setampan diriku kau kata bodyguard,” ketus George tak terima.
Dasar dua pria aneh! Satu pria arogan plus mengerikan, yang satu dingin tak perduli dengan orang lain. Oh God ... kenapa hari ini aku sial sekali ... apakah aku kurang berlaku baik dengan orang lain, sehingga kau memberiku ujian kesabaran seperti ini. Batin Diora.
“Ah lupakan ... apapun jabatanmu, aku tak perduli! yang jelas tolong kondisikan tuanmu itu,” pinta Diora.
“Itu urusanmu ... yang membuat dia seperti itu juga kau,” elak George melipat kedua tangannya di dadanya. “Jika kau tak menabrak mobilnya pasti tak akan terjadi seperti ini.” Ia menyalahkan Diora. Padahal merekalah yang merencanakan tabrakan itu.
Diora menghentakkan kakinya di aspal. Kesal dengan respon George yang tak mau membantu melerai.
“Apa yang harus aku lakukan?” gumam Diora bertanya dengan dirinya sendiri. Berfikir langkah apa yang akan dia perbuat untuk menghentikan Davis agar tak menarik pelatuk pistolnya.
my love cocoknya panggilan itu buat Doria bukan sebaliknya ya Thor ....he....
Dannes
baru emak bapak nya 😁
tapi kesemuanya bagus2 thor
lgsg like, subscribe,vite dan d tutup ☕