Musim pertama : Tatap Aku, Suamiku
Musim Kedua : Bunda dari Anakku
Jatuh cinta pada pandangan pertama, membuat Wira (22 tahun) nekad membawa kedua orang tuanya ke Yogyakarta untuk melamar Naina ( 17 tahun), yang hanya seorang gadis yatim piatu.
Wira yang terlahir dari keluarga berada, menikah dengan Naina yang hanya gadis dari keluarga biasa.
Lima tahun pernikahan, guncangan menghantam kehidupan rumah tangga mereka. Dunia Naina hancur seketika. Kebahagiaan yang selama ini direguknya, apakah hanya sebuah kebohongan semata atau memang nyata. Apakah pernikahan ini sanggup di pertahankan atau harus berakhir??
Ikuti perjalanan rumah tangga Wira dan Naina
“Tolong tatap aku lagi, Suamiku.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Casanova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
S1. Bab 28
Dua hari menghabiskan waktu di Paris, Wira mengajak Naina berkeliling menikmati indah dan romantisnya kota Paris. Karena ini perjalanan pertama Naina menyusuri Eropa, ada banyak tempat yang tidak bisa mereka lewatkan. Dari mengunjungi Eiffel Tower, Louvre Museum, sampai melihat megahnya Arc de Triomphe yang dikenal dengan sebutan gapura kemenangan, sebuah monumen paling terkenal yang menjadi latar belakang ansambel perkotaan Paris.
Selain itu Wira juga membawa Naina ke alun-alun kota Paris yang berbentuk oktagon, Place De La Concorde dan melewati Gereja Notre Dame, sebuah karya seni arsitektur yang dibangun pada tahun 1160.
Pasangan suami istri benar benar menikmati waktu berdua. Tak sekalipun genggaman tangan dan belitan pinggang keduanya terlepas. Senyum pun tak pernah hilang dari wajah tampan dan cantik Wira dan Naina. Sang laki-laki benar-benar melupakan bebannya, meninggalkan semuanya di Indonesia dan sang wanita benar-benar menikmati perjalanan romantis mereka.
Di hari ketiga, Wira menyempatkan mengajak Naina menikmati keindahan kota Paris dari atas kapal Seine Cruise setelah siangnya puas berbelanja di Galaries Lafayette, sebuah pusat perbelanjaan terbesar di kota Paris. Ada banyak yang dibeli Naina, sampai Wira geleng-geleng kepala, diminta membawa puluhan shopping bag.
“Nai, kamu suka?” tanya Wira, sesaat setelah menginjakan kaki di atas Seine Cruise.
Anggukan dengan senyum hangat itu begitu menenangkan. Wira sampai lupa diri, mengecup pelan bibir istrinya di tengah keramaian. Bahagia rasanya melihat senyum Naina yang sederhana. Senyum yang sama, di perjumpaan pertama mereka.
“Nanti kita kembali lagi, dengan anak-anak,” ucap Wira spontan. Ada banyak harap, bulan madu kali ini akan membawa pulang benih di rahim Naina. Seperti perjalanan mereka sebelum-sebelumnya, meskipun akhirnya harus berakhir dengan keguguran.
Sebuah belitan di pinggang kekar Wira menandakan persetujuan. Ada banyak cinta Naina yang tidak bisa diungkapkan lewat kata, tetapi sejak lima tahun yang lalu, dia sudah menyerahkan semua hatinya untuk laki-laki yang menjadi nahkoda biduk rumah tangga mereka selama ini.
Dua hari di Paris, hari berikutnya Wira membawa istrinya ke Belgia dan Belanda. Menikmati kota Brussels dan Amsterdam. Tidak sia-sia mengajukan visa schengen. Mereka bisa menjelajah banyak negara di Eropa Barat.
Dari Belanda, keduanya bertolak ke Jerman dan Swiss. Bermalam di Frankfrutt keesokan harinya melakukan perjalanan ke Zurich.
Di salah satu hotel di Jerman inilah, Naina berkenalan dengan seorang Indonesia yang lama tinggal di Austria. Tanpa sengaja menjatuhkan dompetnya saat menikmati makan malam di sebuah restoran, akhirnya mempertemukan Naina pada laki-laki tampan yang baik hati.
“Maaf, Nona menjatuhkan dompet di sana.” Laki-laki tampan yang terlihat matang di usianya itu menunjuk ke arah meja yang tadi di tempati Naina.
Tentu saja Naina terkejut. Wanita yang sedang berdiri menunggu suaminya itu langsung mengenali kalau benda yang disodorkan sang laki-laki benar miliknya.
“Terimakasih.” Singkat, jelas dan tanpa makna apa-apa. Sedikit pun Naina tidak memberi rasa atau perhatian lebih.
“Maaf, saya sempat membuka dompet dan mencari identitas Nona. Dan mengenali Nona dari foto yang terselip di dalam. Beruntung, pemiliknya belum pergi terlalu jauh,” ucap Pieter, tersenyum. Melempar godaan dari kacamata biru yang tembus padang.
“Saya juga dari Indonesia. Perkenalkan, saya Pieter.” Laki-laki itu menyodorkan tangannya, memamerkan deretan gigi putih.
Naina, tentu saja hanya bisa menanggapi seadanya. Tujuannya berdiri di sini, karena tiba-tiba Wira meminta izin ke toilet sebelum kembali ke hotel. Wanita itu memperhatikan tangan Pieter yang menggantung di udara. Setelah lama memperhatikan laki-laki dengan setelan jas rapi dan netra berbingkai kacamata, Naina menyambut uluran tangan itu dengan ragu-ragu.
“Naina Pelangie.” Naina memperkenalkan diri.
“Dia cantik sekali,” batin Pieter.
“Oh, nama yang secantik orangnya.” Pieter melancarkan pujian. Kebiasaan sang casanova, menaklukan para gadis di pertemuan pertama.
“Tunggu sebentar,” ucap Pieter. Melepas tangannya yang masih menggengam tangan Naina. Laki-laki itu meminta pena dan secarik kertas pada seorang pelayan restoran dalam bahasa Jerman. Menggoreskan deretan angka dengan penuh keyakinan.
“Ini nomor ponselku, Angel bisa menghubungiku kapan saja,” ucap Pieter, menyerahkan kertas yang baru ditulisnya. Dengan tidak tahu malu, memanggil seenak hatinya dan tersenyum manis menggoda.
Pieter masih sempat melambaikan tangan pada wanita yang diam mematung di tempat dengan secarik kertas kecil di tangan.
“Nai, kamu baik-baik saja?” tanya Wira, mengalihkan perhatian sang istri yang terlihat aneh. Laki-laki itu masih sempat melihat kertas di genggaman Naina dengan deretan angka ditoreh di atasnya.
“Ini apa?” tanya Wira lagi.
“Bukan apa-apa, Mas.” Naina meremas kertas berisi nomor ponsel itu dan membuangnya ke tempat sampah. Tidak memberi kesan apa pun pada pria yang baru saja menggodanya dengan cara yang elegan.
***
Dari Swiss, pasangan suami istri itu pun menjelajah kota Milan, Italia. Di pusat mode dunia itu, Naina kembali berbelanja barang-barang branded yang sebagian pesanan costumer.
Wanita itu tidak sekali pun melewati kesempatan mencetak uang di tengah liburan mereka. Meskipun hasilnya masih terbilang recehan dibanding bisnis Wira, tetapi ada kepuasan tersendiri saat bisa menghasilkan uang dari tangannya sendiri. Apalagi untuknya yang hanya lulusan SMA, menjadi seperti saat ini saja sudah pencapaian yang luar biasa.
"Mas, kakiku sakit?" keluh Naina, saat keduanya sudah berada di dalam kamar hotel. Seharian berbelanja tanpa ada puasnya, Naina baru mengeluh saat malam tiba.
Dari jendela besar kamar mereka, tampak gemerlapnya kota Milan di malam hari. Hangat dan romantis dipadankan dengan lampu kamar yang menguning.
Wira baru saja keluar dari kamar mandi, hanya berbalut handuk saat istrinya merengek kesakitan, memijat ujung jari-jari kaki.
"Mas kira Nai tidak pernah ada lelahnya. Berjam-berjam mengitari pertokoan demi ...." Wira menunjuk shopping bag yang masih tergeletak pasrah di sudut kamar.
“Mas, itu pekerjaan Nai. Bukan menghabiskan uang!” protes Naina, dengan alunan suara manjanya yang begitu menggoda.
“Mana yang sakit? Mas saja yang memijatnya.” Laki-laki itu sudah memposisikan diri di dekat kaki Naina, jemari-jemarinya pun sudah beraksi layaknya tukang pijat profesional.
Pijatan di ujung kaki yang semakin lama semakin naik ke atas tanpa permisi. Apalagi saat pijatan-pijatan itu berubah jadi usapan yang memberi efek menggelenyar. Membuat Naina yang meringis di awal jadi mendesah pada akhirnya. Bathrobe yang menutupi tubuh mulusnya, teronggok sudah di lantai kamar.
Jangan tanya di mana handuk yang tadinya membelit pinggang Wira. Tidak ada seorang pun yang mengingatnya.
Keduanya sudah berbagi nafas di dalam penyatuan bibir yang panas. Semua terasa indah, saat penyatuan indah itu berdiri di atas ikatan yang sah.
Naina dengan lembutnya meremas setiap kulit tubuh Wira yang memberinya kenikmatan dunia. Demikian juga Wira, laki-laki itu sedang menikmati surga dunia lewat setiap jengkal tubuh indah istrinya.
Benar-benar honeymoon. Detik-detik di mana otaknya keduanya tidak terbebani dengan masalah hidup. Baik Wira maupun Naina melebur dan menyatu dalam nikmatnya hasrat dan gairah.
Bibir mungil Naina sejak tadi hanya mendesah menyerukan nama Wira, dan suara maskulin bercampur erangan hanya menyerukan nama Naina.
Dan saat cinta bercampur hasrat itu tiba di puncak, ucapan cinta berkumandang pelan mengiringi klimaks yang sempurna.
“Nai, semoga ada bayi kita lagi di dalam sini,” bisik Wira, mengusap perut rata istrinya. Napas lelaki itu naik turun, menunjukan seberapa lelahnya. Dia benar-benar berusaha memberikan yang terbaik pada istrinya, malam ini.
“Mas mencintaimu, Nai. Sangat.”
Naina menganguk di dalam helaan napasnya yang masih tersengal-sengal. Senyumaan hangat itu seolah menjawab, seberapa cintanya untuk Wira yaang tak berbatas.
***
TBC
Bahkan seakan ikut merasakan sakit yang sesakit itu bagi Dennis
full bintang ,subricrible, vote d tutup kopi
sebelum2 ni terlalu baik sampai tak peka langsung.