Tatap Aku, Suamiku
Naina Pelangie berusia 17 tahun, begitulah namanya. Gadis remaja yang baru saja melepas seragam putih abu-abu saat dinikahi Pratama Wirayudha berusia 22 tahun. Perkenalan singkat, saat itu Naina yang berprofesi sebagai penyanyi yang tergabung di kelompok seniman jalanan di Yogyakarta. Selain menyalurkan hobinya, Naina menyanyi untuk membantu biaya sekolahnya.
Pratama Wirayudha yang biasa dipanggil Wira, baru saja menamatkan kuliahnya. Ia yang melakukan touring dengan club motornya tengah menikmati malam santai di salah satu ruas jalan di Yogyakarta yang memang terkenal dengan kuliner malam dan hiburan para kelompok seniman jalanan.
Sorot mata pemuda tampan yang terkesima pada gadis manis berkucir kuda, menggenggam erat microphone dengan alunan suara merdunya. Itulah yang membuat Wira memberanikan diri bertanya nomor ponsel dan saling bertukar cerita setelahnya. Dari sekedar bertanya kabar, bertukar kisah hingga muncul getar-getar rasa. Dan mereka pun sepakat Long Distance Relationship. Menjalin asmara yang terbentang jarak antara Jakarta-Yogyakarta.
Setengah tahun dari perkenalan itu, tepat beberapa hari setelah Naina mendapatkan ijazah Sekolah Menengah Atas, Wira yang memang sudah jatuh cinta pada pandangan pertama akhirnya memutuskan membawa kedua orang tuanya ke Yogyakarta untuk melamar Naina pada bibinya. Karena sejak kecil, Naina yang yatim piatu itu tinggal dengan bibinya yang seorang janda tanpa anak.
Tiga hari dari lamaran, mereka pun melangsungkan pernikahan sederhana di tanah kelahiran Naina, Yogyakarta. Tidak ada perhelatan mewah, tidak ada pre-wedding ala anak muda zaman now. Semuanya terjadi begitu cepat. Hanya pengesahan secara agama dan hukum negara, mengundang kerabat dan beberapa orang tetangga kontrakan.
Setelah pernikahan sederhana di Yogyakarta, Wira yang terlahir dari keluarga berada, memboyong istrinya ke Jakarta. Di salah satu hotel bintang lima, di Jakarta inilah keluarga Wira membuat perhelatan mewah untuk resepsi putra semata wayang mereka.
Naina sempat menolak, karena merasa tidak pantas dan berlebihan, tetapi kedua orang tua Wira membujuknya. Mereka benar-benar orang tua yang baik. Mau menerima Naina yang seorang yatim piatu dan hanya terlahir dari keluarga sederhana. Derajatnya diangkat, dianggap seperti putri sendiri.
***
Lima tahun kemudian.
Sejak sore Naina sudah berdandan cantik. Sengaja membawa pulang salah satu koleksi gaun malam terbaik dari butiknya. Ya, selain menjadi istri dari Wira, Naina juga menjadi owner dari Nai’s Boutique. Butik yang menjual pakaian, tas dan berbagai aksesoris wanita yang diimpor dari Thailand, Korea dan Tiongkok. Untuk itu, dalam setahun, Naina harus beberapa kali terbang ke luar negeri demi berbelanja untuk mengisi stok butiknya.
Butik yang baru dua tahun belakangan berdiri, bertempat di sebuah ruko yang tidak terlalu jauh dari kompleks perumahannya. Butik yang memang sengaja dibangun Wira untuk istrinya supaya memiliki kesibukan di sela waktu senggangnya yang hanya menghabiskan seluruh waktunya di rumah.
Wira sendiri lebih banyak menghabiskan waktu di kantor, tidak jarang harus mengurus bisnis keluar kota, bahkan luar negeri. Sejak menikah lelaki tampan itu mengambil alih tampuk kepemimpinan di perusahaan keluarga. Dan papa Wira memilih pensiun dini dan menyerahkan perusahaan pada putra semata wayangnya.
Ya, rumah tangga keduanya belum dikarunia anak. Sempat beberapa kali Naina hamil, tetapi selalu berakhir dengan keguguran di trimester awal kehamilan. Dan sampai tahun ke lima, rumah tangga mereka masih sepi dari tangis anak kecil.
Beruntung keduanya cukup dewasa dan tidak menjadikan anak sebagai alasan dan pemicu pertengkaran. Setiap hari terasa seperti pacaran.
“Sayang, mungkin karena kita tidak melewati masa pacaran seperti pasangan lain, jadi Tuhan memberi kita kesempatan pacaran setelah menikah. Kita bisa pacaran sampai puas.” Ucapan Wira yang selalu menenangkan hati istrinya, biasa diselingi dengan hujan kecupan di wajah cantik Naina.
Demikian juga kedua orang tua Wira, mereka adalah orang tua yang cukup pengertian dan menyerahkan sepenuhnya keputusan itu pada anak-anaknya.
Naina tersenyum menatap meja makan yang sudah ditata sedemikian rupa. Ia pulang lebih cepat hari ini untuk merayakan ulang tahun pernikahannya yang ke lima. Masih menyempatkan memasak makan malam dibantu Mbok Sumi, asisten rumah tangganya. Semua yang tersaji di atas meja adalah menu kesukaan Wira.
Jam di dinding berdetak, berjalan melambat.
“Menunggu memang melelahkan. Waktu terasa berjalan lambat,” keluh Naina, menatap jam bulat berbingkai keperakan. Saat ini hampir pukul 21.00 malam. Sudah terlewat dua jam dari janji yang diucapkan Wira di telepon tadi siang. Sudah berulang kali Naina menghubungi Wira, tetapi tidak ada satu pun panggilannya tersambung dengan sang suami.
Makanan yang ditata di atas meja sudah mendingin. Kantuk pun mulai menyerang, saat bunyi ponselnya berdering pelan dan teratur. Senyum Naina terkembang saat mendapati Wira yang menghubunginya.
“Mas, kamu sudah di mana?” tanya Naina, begitu ponsel itu menempel di indra pendengarannya.
“Sayang, Mas minta maaf. Mas masih di jalan. Mungkin sedikit terlambat. Ada meeting mendadak yang tidak bisa Mas tinggal,” sahut Wira, terdengar menghela napas penuh sesal.
“Ya, Mas. Nai menunggu Mas saja.”
“Kalau Nai sudah lapar, makan dulu saja. Tidak perlu menunggu Mas,” ucap Wira.
“Tidak, Mas. Ini 'kan perayaan ulang tahun pernikahan kita yang ke lima. Nai menunggu Mas, kita makan malam sama-sama,” tolak Naina.
“Baiklah. Mas akan usa ....” Wira tidak melanjutkan ucapannya, tiba-tiba dari arah depan, sebuah mobil terguling dan memaksa Wira berkonsentrasi dengan kemudi kembali. Ponselnya terjatuh saat menginjak pedal rem tiba-tiba.
Decitan mobil terdengar begitu kencang bergabung dengan jeritan suara wanita yang terdengar dari gawai tipis Naina.
“Aahh, Mas!” pekik suara wanita asing yang tertangkap di telinga Naina, menjerit dan terdengar begitu jelas dari ponsel pintarnya. Setelah itu hening, tidak terdengar apa-apa.
Naina yang mendengar dari seberang tidak kalah panik. Berulang kali memanggil nama suaminya. Berbagai pikiran buruk pun melintas di otak. Matanya sudah mengembun saat berulang kali memanggil nama suaminya tetapi tidak mendapat respons.
“Mas!”
“Mas!”
“Mas!”
“Mas Wira!”
“MAS WIRA!!” teriak Naina dengan sekuat tenaga. Berdoa dan berharap tidak terjadi sesuatu pada suaminya. Hampir putus asa. Mata yang tadi mengembun sekarang mulai luruh. Titik-titik air yang menggenang, mulai turun tanpa terbendung, membasahi wajah cantiknya.
“Mas,” isak Naina, sembari memanggil suaminya.
“Jangan menakutiku. Kamu baik-baik saja 'kan, Mas. Tolong jawab aku,” isak Naina. Tubuhnya melorot ke lantai, hilang tenaganya.
“Bu, apa yang terjadi?” tanya Mbok Sumi, asisten rumah tangga yang kebetulan hendak ke dapur untuk mengambil minum.
“Suamiku, Mbok. Aku takut sekali. Tadi kami sedang berbincang di telepon. Tiba-tiba suara Mas Wira menghilang. Hanya terdengar suara benturan yang begitu keras dan jeritan seorang wanita,” jelas Naina gemetar, ketakutan.
Mbok Sumi segera berlari ke dapur mengambil segelas air putih. Tak lama asisten rumah tangga itu sudah kembali lagi dan membantu memapah majikannya duduk di kursi.
“Diminum dulu, Bu,” ucap Mbok Sumi pelan.
***
Tbc
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 183 Episodes
Comments
sakura
...
2023-08-22
0
Sri Wahyuni
mka klau lgi nyetir brhenti dlu klau terima tlpn membhayakan..cba sprti d brunei ada larangan klau lg nyetir tdk boleh trima tlpon
2023-03-10
0
💕 istri mas hanif💕
aku baru baca,baru bab awal udh deg deg bc nya
2022-01-01
1