Keira Anindya memiliki rencana hidup yang sempurna. Lulus kuliah, kerja, lalu menikah dengan pria dewasa yang matang dan berwibawa. Namun rencana itu hancur lebur saat ayahnya memaksanya menikah dengan anak rekan bisnisnya demi menyelamatkan perusahaan.
Masalahnya calon suaminya adalah Arkan Zayden. Pria seumuran yang kelakuannya minus, tengil, hobi tebar pesona, dan mulutnya setajam silet. Arkan adalah musuh bebuyutan Keira sejak SMA.
"Heh Singa Betina! Jangan geer ya. Gue nikahin lo cuma biar kartu kredit gue gak dibekukan Papa!"
"Siapa juga yang mau nikah sama Buaya Darat kayak lo!"
Pernikahan yang diawali dengan 'perang dunia' dan kontrak konyol. Namun bagaimana jika di balik sikap usil dan tengil Arkan, ternyata pria itu menyimpan rahasia manis? Akankah Keira luluh atau justru darah tingginya makin kumat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aluina_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27
Kekacauan melanda kamar utama kediaman Zayden siang itu. Keira Anindya sedang melakukan aksi akrobatik di atas koper besarnya yang berwarna merah muda. Dia duduk bersila di atas koper yang menggembung, berusaha menekan isinya agar resleting bisa ditutup. Namun tumpukan baju, tas, sepatu, dan perlengkapan skincare miliknya seolah memberontak ingin keluar.
Arkan berdiri di ambang pintu sambil memakan apel dengan santai. Dia menggelengkan kepala melihat perjuangan istrinya yang sudah banjir keringat.
"Ra, kita mau ke Bali cuma tiga hari. Bukan mau pindah kewarganegaraan. Kenapa lo bawa baju selemari?" tanya Arkan heran.
Keira menyeka keringat di dahinya tanpa turun dari koper.
"Arkan, lo enggak ngerti seni berlibur. Di Bali itu kita butuh outfit yang beda buat setiap momen. Baju buat breakfast, baju buat ke pantai, baju buat dinner, baju tidur, baju cadangan kalau kehujanan. Belum lagi topi pantai gue yang lebar itu. Semuanya penting," jelas Keira dengan napas terengah.
"Tapi itu koper udah kayak mau meledak. Kalau resletingnya jebol di bandara, baju dalam lo bisa berhamburan di landasan pacu. Bayangin malunya," ledek Arkan.
Keira membayangkan skenario horor itu dan bergidik ngeri.
"Makanya bantuin gue, Tuan Muda. Jangan cuma nonton sambil makan apel. Sini duduk di sebelah gue biar tekanannya makin kuat," perintah Keira.
Arkan meletakkan apelnya dan berjalan mendekat. Dia naik ke atas koper, duduk berhadapan dengan Keira. Posisi mereka sangat dekat, lutut saling bersentuhan di atas koper yang bergoyang tidak stabil.
"Oke. Dalam hitungan ketiga kita tekan bareng-bareng ya. Satu, dua, tiga," aba-aba Arkan.
Mereka berdua menekan tubuh mereka ke bawah sekuat tenaga. Bunyi resleting yang ditarik paksa terdengar menyayat hati. Keira menarik kepala resleting dengan jari gemetar. Sedikit demi sedikit, gerigi resleting itu menyatu.
"Dikit lagi Ra! Tahan napas lo! Kecilin perut lo!" seru Arkan heboh.
"Gue udah tahan napas dari tadi! Lo yang berat badan turunin dikit!" balas Keira.
Akhirnya dengan satu tarikan kuat terakhir, koper itu berhasil tertutup rapat. Keira dan Arkan langsung merosot lemas di atas koper itu, saling bersandar bahu.
"Gila. Ini baru packing aja udah kayak latihan militer. Gimana nanti pas bulan madunya," keluh Arkan.
"Itu namanya perjuangan, Arkan. Sekarang ayo berangkat. Sopir Mama udah nunggu di bawah dari tadi," ajak Keira sambil turun dari koper.
Perjalanan menuju bandara Soekarno-Hatta berjalan lancar berkat sopir keluarga yang paham jalan tikus. Arkan dan Keira duduk di kursi belakang sambil berpegangan tangan. Kali ini tidak ada lagi kecanggungan. Mereka menikmati status baru mereka sebagai pasangan yang saling mencintai, meski gengsi masih sering muncul.
Sesampainya di bandara, Arkan bertingkah layaknya selebriti yang sedang dikejar penggemar. Dia memakai kacamata hitam dan topi, berjalan tegap sambil menggandeng Keira posesif.
"Kenapa sih lo jalan kayak gitu? Kayak robot kehabisan baterai," bisik Keira risih dilihat orang.
"Ini gaya protektif, Ra. Bandara itu tempat umum. Banyak cowok mata keranjang. Gue harus kasih sinyal kalau lo itu milik gue. Wilayah teritorial Arkan Zayden," jawab Arkan bangga.
Keira hanya bisa pasrah. Dia membiarkan Arkan membawakan koper besarnya sementara dia hanya menenteng tas tangan kecil.
Saat di pesawat, sisi lain Arkan terungkap. Pria yang biasanya tengil dan sok berani itu mendadak pendiam saat pesawat mulai bergerak menuju landasan pacu. Wajahnya sedikit pucat dan tangannya mencengkeram lengan kursi dengan kuat sampai buku jarinya memutih.
Keira menoleh dan menyadari ketegangan suaminya.
"Lo takut terbang?" tanya Keira pelan.
Arkan menoleh kaku. "Enggak. Siapa bilang. Gue cuma lagi konsentrasi berdoa biar pilotnya enggak ngantuk."
"Bohong. Tangan lo dingin banget kayak es batu," Keira meraih tangan Arkan dan menggenggamnya. Dia mengusap punggung tangan Arkan lembut.
"Tenang aja. Statistik kecelakaan pesawat itu kecil banget kok. Lebih bahaya naik angkot di Jakarta daripada naik pesawat," hibur Keira dengan fakta yang sebenarnya kurang menenangkan.
"Makasih faktanya, Ra. Sangat membantu menaikan asam lambung gue," sindir Arkan, tetapi dia tidak melepaskan tangan Keira.
Saat pesawat lepas landas dan guncangan terjadi, Arkan memejamkan mata rapat-rapat. Dia baru membuka mata saat pesawat sudah stabil di udara dan lampu tanda sabuk pengaman dipadamkan.
"Gue enggak takut ya. Tadi gue cuma meditasi," elak Arkan saat melihat Keira tersenyum geli.
"Iya, iya. Meditasi sambil komat-kamit baca ayat kursi," ledek Keira.
Setelah penerbangan satu jam setengah, mereka mendarat di Bali dengan selamat. Udara tropis yang hangat langsung menyambut mereka. Sopir dari pihak hotel sudah menunggu dengan papan nama bertuliskan Mr. & Mrs. Zayden.
Mereka dibawa menuju sebuah resor mewah di kawasan Ubud. Berbeda dengan Kuta yang ramai, Ubud menawarkan ketenangan dan pemandangan hutan yang asri. Villa tempat mereka menginap sangat privat, dikelilingi tembok batu alam dan pepohonan rimbun.
Begitu masuk ke dalam villa, mata Keira berbinar. Ada kolam renang pribadi dengan air biru jernih. Kamar tidurnya luas dengan kasur berkelambu putih. Dan yang paling mengejutkan, kamar mandinya berkonsep semi terbuka. Bathtub besar dari batu alam terletak di luar ruangan, dikelilingi tanaman hias.
"Wow. Ini sih surga," komentar Arkan sambil meletakkan koper.
Keira berjalan menuju kamar mandi terbuka itu dengan tatapan waspada. Dia melihat ke atas, ke arah pepohonan.
"Arkan, ini kamar mandinya terbuka banget. Kalau ada monyet ngintip gimana? Atau kalau ada drone lewat?" tanya Keira paranoid.
Arkan tertawa sambil membuka kemejanya, menyisakan kaos dalam.
"Monyet di sini sopan-sopan kok, Ra. Paling mereka cuma minta pisang, bukan minta liat lo mandi. Lagian kalau ada drone, biar aja. Anggap aja kita lagi syuting film dokumenter alam liar," canda Arkan.
"Enak aja. Gue mandi pakai baju renang kalau gitu," putus Keira.
Malam harinya, mereka bersiap untuk makan malam romantis. Keira mengenakan maxi dress putih dengan motif bunga biru yang cantik. Rambutnya digerai indah dengan hiasan bunga kamboja terselip di telinga. Arkan mengenakan kemeja linen putih dan celana pendek krem, terlihat santai namun tampan.
Mereka memutuskan makan malam di restoran hotel yang terletak di pinggir tebing dengan pemandangan lembah sungai. Suasana sangat romantis dengan lilin-lilin kecil di setiap meja.
Namun, ketenangan mereka terganggu oleh pasangan di meja sebelah.
Meja itu diduduki oleh pasangan muda yang terlihat sangat flashy. Si pria memakai kemeja bermerek dengan logo besar di dada, dan si wanita memakai gaun merah menyala dengan perhiasan emas yang bergemerincing setiap kali dia bergerak. Mereka bicara dengan suara keras, seolah ingin seluruh restoran mendengar percakapan mereka.
"Sayang, besok kita pindah ke villa yang harganya lima puluh juta per malam itu ya? Yang ini kurang mewah buat aku. Kolam renangnya kekecilan," kata si wanita dengan nada manja yang dibuat-buat.
"Beres, Beb. Apa sih yang enggak buat kamu. Nanti aku suruh asisten aku booking satu pulau sekalian kalau perlu," jawab si pria dengan nada sombong.
Arkan dan Keira saling pandang. Mereka menahan tawa.
"Ra, denger enggak? Satu pulau. Saingan berat nih," bisik Arkan.
Keira menyikut lengan Arkan. "Jangan diladenin. Makan aja."
Tapi Arkan Zayden pantang kalah gengsi. Jiwa kompetitifnya meronta-ronta melihat ada orang yang lebih sombong darinya. Arkan tiba-tiba memanggil pelayan dengan lambaian tangan yang elegan.
"Mas, tolong bawakan menu termahal di sini. Apa aja. Saya enggak peduli harganya. Dan tolong wine tahun tertua yang kalian punya. Kalau ada yang dari zaman Majapahit, keluarkan saja," kata Arkan dengan suara yang sengaja dikeraskan agar meja sebelah dengar.
Pelayan itu terlihat bingung tapi mengangguk sopan. "Baik, Pak. Kami punya Lobster Bakar Jimbaran Spesial dan Wine impor tahun 1990."
"Oke, bawakan dua porsi lobsternya. Jangan lupa lilinnya ditambahin biar makin silau," perintah Arkan.
Pasangan di meja sebelah langsung menoleh. Si pria menatap Arkan dengan tatapan menantang.
"Wah, Masnya pesen lobster juga? Kebetulan saya juga pesen itu. Tapi saya minta yang ukurannya jumbo ya Mas Pelayan. Yang paling gede di laut," sela pria itu tak mau kalah.
Arkan tersenyum miring. "Mas Pelayan, punya saya tolong lobsternya yang rajanya ya. Yang punya kerajaan di laut. Ukurannya harus lebih gede dari piring," balas Arkan.
Keira memijat pelipisnya. Makan malam romantis berubah menjadi ajang pamer kekayaan.
"Arkan, cukup. Malu tau. Lobster ya lobster aja. Enggak usah bawa-bawa kerajaan laut. Lo kira Aquaman," bisik Keira tajam.
"Ini soal harga diri, Ra. Dia duluan yang mancing. Liat tuh mukanya songong banget," bisik Arkan balik.
Tak lama kemudian, pesanan datang. Dua piring besar berisi lobster bakar tersaji di meja Arkan. Ukurannya memang besar. Si pria di meja sebelah melirik dengan iri karena lobsternya ternyata sedikit lebih kecil.
Arkan tersenyum puas penuh kemenangan. Dia mengambil pisau dan garpu.
"Ayo makan, Sayang. Liat nih, suami kamu jago mengupas lobster," kata Arkan dengan suara keras.
Arkan mencoba memotong cangkang lobster yang keras itu. Namun karena terlalu bersemangat ingin pamer, pisau Arkan meleset.
Potongan cangkang lobster yang cukup besar terpelanting terbang ke udara, melayang indah melewati meja, dan mendarat tepat di dalam gelas wine milik wanita di meja sebelah.
Cairan merah wine itu muncrat membasahi gaun merah wanita itu.
Suasana hening seketika.
Wanita itu menjerit histeris. "AAAA! GAUN AKU! INI GAUN MAHAL!"
Pria pasangannya langsung berdiri dan menggebrak meja. "Heh! Maksud lo apa lempar sampah ke gelas cewek gue? Lo ngajak ribut?"
Wajah Arkan pucat pasi. Keira menutup wajahnya dengan tangan. Bencana.
"Ma-maaf Mas. Mbak. Sumpah enggak sengaja. Lobsternya licin. Mungkin dia masih hidup dan mau loncat," Arkan mencoba melucu di saat yang sangat tidak tepat.
"Enggak lucu! Ganti rugi! Gaun ini harganya sepuluh juta!" bentak wanita itu sambil mengibas-ngibaskan gaunnya yang basah.
Keira akhirnya turun tangan. Dia berdiri dengan tenang, mengambil serbet, dan menghampiri meja sebelah.
"Maaf ya Mbak. Suami saya emang tangannya agak kaku kalau soal makanan laut. Biasa makan kerupuk soalnya. Nanti tagihan laundry atau ganti ruginya kirim ke kamar kami aja. Kami di Villa nomor satu," kata Keira sopan namun tegas.
Pria itu melihat wajah cantik Keira dan sedikit melunak. "Oke. Awas ya kalau kabur."
"Enggak bakal kabur Mas. Suami saya ini CEO Zayden Group. Kalau Mas mau cek Google silakan. Sepuluh juta kecil buat dia. Yang mahal itu malunya," sindir Keira sambil melirik Arkan tajam.
Arkan menunduk dalam-dalam. Sombong membawa petaka.
Setelah keributan mereda, Arkan dan Keira kembali duduk. Nafsu makan Arkan hilang setengah.
"Maafin gue, Ra. Niatnya mau keren malah jadi zonk," cicit Arkan.
Keira menghela napas, lalu memotongkan daging lobster di piring Arkan dan menyuapkannya ke mulut suaminya.
"Makanya jangan sombong. Di atas langit masih ada langit. Di atas orang kaya masih ada orang yang lebih kaya atau lebih gila. Udah makan aja. Sayang lobsternya mahal," kata Keira.
Arkan mengunyah lobster itu dengan perasaan campur aduk.
"Tapi Ra, lo tadi keren banget pas bilang gue CEO Zayden Group. Berasa dibelain Wonder Woman," puji Arkan.
"Gue belain lo karena gue enggak mau kita ribut di sini dan diusir satpam. Reputasi gue juga yang hancur," jawab Keira ketus, tapi tangannya terus menyuapi Arkan dengan telaten.
Malam itu berakhir dengan mereka tertawa di dalam kamar villa, menertawakan kebodohan Arkan yang melempar cangkang lobster.
"Besok kita pindah restoran ya Ra. Gue malu ketemu mereka lagi," kata Arkan saat mereka sudah berbaring di kasur berkelambu.
"Iya. Besok kita makan nasi jinggo aja di pinggir jalan. Lebih aman. Enggak ada cangkang terbang," setuju Keira.
Arkan memeluk Keira erat. "Ra, makasih ya."
"Buat apa?"
"Buat selalu ada di samping gue pas gue lagi keren maupun pas gue lagi malu-maluin. Love you," bisik Arkan.
"Tidur Arkan. Besok kita harus bangun pagi. Katanya mau liat lumba-lumba," Keira membalas pelukan itu, menyembunyikan senyum bahagianya di dada Arkan.
Namun di luar villa, di balik tembok batu alam yang tinggi, seseorang sedang mengamati mereka. Seseorang yang memegang kamera dengan lensa panjang. Seseorang yang dikirim oleh masa lalu yang belum rela melepaskan cengkeramannya. Arkan dan Keira mengira masalah sudah selesai di Jakarta, tetapi ternyata bayang-bayang itu mengikuti mereka sampai ke Pulau Dewata.