Dibesarkan oleh keluarga petani sederhana, Su Yue hidup tenang tanpa mengetahui bahwa darah bangsawan kultivator mengalir di tubuhnya. Setelah mengetahui kebenaran tentang kehancuran klannya, jiwanya runtuh oleh kesedihan yang tak tertahankan. Namun kematian bukanlah akhir. Ketika desa yang menjadi rumah keduanya dimusnahkan oleh musuh lama, kekuatan tersegel dalam Batu Hati Es Qingyun terbangkitkan. Dari seorang gadis pendiam, Su Yue berubah menjadi manifestasi kesedihan yang membeku, menghancurkan para pembantai tanpa amarah berlebihan, hanya kehampaan yang dingin. Setelah semuanya berakhir, ia melangkah pergi, mencari makna hidup di dunia yang telah dua kali merenggut segalanya darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puvi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ujian Pertama di Lembah Hijau
Setelah sarapan bubur yang sederhana namun mengenyangkan, ketiganya memulai pencarian informasi di pasar Kota Mata Air yang semakin ramai. Su Yue merasa gelisah. Xuqin yang membayar penginapan, Lanxi yang meminjamkan pakaian. Dia merasa seperti beban, tak berkontribusi apapun selain keheningannya yang menyelimuti.
"Aku... aku akan bertanya juga," ucap Su Yue tiba-tiba, memecah kesunyian mereka saat mereka berhenti di depan seorang penjual kue.
Xuqin dan Lanxi menoleh, terkejut, lalu tersenyum. "Tentu saja!" sahut Lanxi. "Mari kita bagi tugas. Aku tanya yang di kiri, Xuqin yang tengah, Su Yue yang kanan."
Dengan hati sedikit berdebar, Su Yue mendekati seorang pria kekar yang sedang membongkar karung beras dari gerobaknya. Pria itu bertelanjang dada, otot-ototnya berpeluh dan berkilat di bawah matahari pagi.
"Permisi, Paman," kata Su Yue, suaranya kecil namun jelas. "Bisakah Paman memberitahu tentang ujian penerimaan murid Sekte Qingyun?"
Pria itu berhenti, mengusap keringat di dahinya, dan memandang Su Yue dari ujung kepala hingga ujung kaki. Pandangannya teliti, terutama pada tubuh Su Yue yang kurus dan pucat, serta penampilannya yang masih terlihat lusuh meski sudah mengenakan pakaian bersih.
"Murid Sekte Qingyun?" pria itu menggeram, suaranya berat. "Gadis kecil, lihat dirimu. Tulang dan kulit saja. Sekte butuh orang kuat, orang yang bisa bertahan dalam pelatihan keras. Lihat aku!" Dia menepuk dadanya yang bidang. "Ini baru badan yang pantas! Kau? Mending jadi prajurit di garnisun kota, latih otot, buat tubuhmu kekar. Lupakan tubuh seksi dan lemah itu. Dunia kultivasi bukan untuk bunga di dalam vas."
Su Yue terdiam, wajahnya memerah karena campuran malu dan kemarahan yang dingin. Dia bukan tidak terbiasa dengan pandangan meremehkan, tapi kata-kata kasar pria itu tentang tubuhnya terasa menusuk.
"Su Yue! Kemari!" suara Lanxi yang bernada tinggi memanggil dari jarak beberapa langkah. Dia sudah menarik lengan Xuqin dan melihat ke arah mereka dengan ekspresi cemas.
Su Yue membungkuk sedikit, tanpa sepatah kata pun, lalu berbalik dan bergabung kembali dengan teman-temannya.
"Jangan dengarkan dia," desis Lanxi, matanya melotot ke arah pria kekar itu yang sudah kembali membongkar barang. "Dia otaknya di otot, bukan di kepala!"
Xuqin mengamati Su Yue. "Kau baik-baik saja?"
Su Yue mengangguk, rahangnya terkunci. "Aku baik. Dia hanya... tidak tahu apa-apa." Tapi insiden itu meninggalkan rasa pahit. Dunia ini memang selalu menilai dari penampilan luar.
Mereka melanjutkan, lebih berhati-hati memilih orang yang ditanya. Seorang nenek penjual bunga hanya tahu bahwa sekte itu "di atas gunung". Seorang pedagang rempah bilang ujiannya "sulit sekali, banyak yang pulang menangis."
Saat hampir putus asa, mereka melihat seorang pria paruh baya duduk santai di sebuah bangku batu di pinggir kanal, sedang memberi makan ikan-ikan kecil dengan remah-remah kue. Pria itu mengenakan jubah kain sederhana berwarna abu-abu, rambutnya hitam beruban di pelipis, disanggul rapi. Wajahnya biasa saja, tetapi matanya yang setengah terpejam memancarkan kedalaman dan kewibawaan yang alami, seperti danau tenang yang menyimpan arus deras di dasarnya.
Orang itu terlihat berbeda. Xuqin, dengan nalurinya, memberi isyarat. "Coba tanya dia."
Mereka mendekat. Kali ini, Xuqin yang memulai. "Permisi, Paman. Bolehkah kami bertanya sesuatu?"
Pria itu mengangkat wajah, senyum tipis menghiasi bibirnya. Matanya yang bijak menyapu ketiga gadis itu, berhenti sejenak lebih lama pada Su Yue, seolah menangkap sesuatu yang tersembunyi di balik kepucatan dan mata birunya yang dingin. "Tanyalah, anak-anak."
"Kami mencari informasi tentang ujian penerimaan murid Sekte Qingyun," kata Xuqin. "Apakah Paman tahu kapan diadakan dan seperti apa bentuk ujiannya?"
Pria itu mengangguk pelan, melemparkan sisa remah kuenya ke air. "Sekte Qingyun... Bagus. Kalian bertiga ingin mendaftar?"
"Ya!" sahut Lanxi penuh semangat.
"Ujian penerimaan murid baru," kata pria itu, suaranya tenang namun terdengar jelas di antara keriuhan pasar, "akan diadakan besok, di Lapangan Batu Besar di depan gerbang utama sekte, saat matahari terbit."
Mereka saling pandang, mata bersinar. Akhirnya informasi yang jelas!
"Namun," lanjut pria itu, nadanya tiba-tiba menjadi lebih berat, "jangan terlalu bersemangat dulu. Ujiannya ada tiga tahap. Masing-masing akan menguji batas kemampuan, keteguhan hati, dan bakat spiritual kalian. Bukan hal yang mudah. Banyak anak desa seperti kalian yang pulang dengan kaki gemetaran dan hati remuk redam." Dia menatap mereka satu per satu, seolah mengukur kekuatan dalam diri mereka. "Jika kalian tidak memiliki tekad baja, lebih baik kembali ke rumah sekarang. Tidur nyenyak di kasur sendiri lebih baik daripada menangis ketakutan di lereng gunung yang dingin."
Kalimat terakhir itu seperti tantangan. Lanxi langsung bereaksi. Matanya seolah berapi-api, napasnya memburu. "Paman jangan meremehkan kami! Kami datang dari jauh, melewati hutan dan bukit! Kami punya tekad! Kami tidak akan menyerah!"
Pria paruh baya itu mengangkat alis, terlihat agak terhibur oleh reaksi Lanxi. Dia memandang Xuqin dan Su Yue. "Bagaimana dengan kalian berdua? Apakah hanya gadis ini yang berapi-api?"
Xuqin berdiri tegak, wajahnya serius. "Kami memang dari desa, Paman. Tapi kami datang dengan sungguh-sungguh. Menyerah sebelum mencoba bukanlah sifat kami."
Semua mata kini tertuju pada Su Yue. Dia merasakan tekanan dari tatapan pria itu, yang seolah bisa melihat langsung ke dalam hatinya yang penuh luka dan es. Dia menarik napas dalam-dalam.
"Saya... tidak punya rumah untuk kembali. Jadi, saya harus berhasil."
Kata-katanya sederhana, datar, tapi dipenuhi oleh keteguhan yang mengerikan, seperti baja yang ditempa dalam dingin yang ekstrem.
Pria itu terdiam sejenak, memandang Su Yue lebih dalam. Sebuah kilatan sesuatu yang mirip pengakuan atau penyesalan melintas di matanya yang bijak, tetapi cepat hilang. Kemudian, senyumnya melebar, lebih hangat dari sebelumnya.
"Bagus. Sangat bagus. Niat dan tekad itu penting. Bahkan lebih penting daripada bakat di awal."
Dia berdiri, menyapu debu dari jubahnya. "Kebetulan, aku sedang tidak ada urusan. Dan melihat tekad kalian, aku ingin memberikan kalian... sebuah kesempatan awal."
"Kesempatan?" tanya Lanxi penuh curiga namun penuh harap.
"Iya. Ikutlah denganku. Keluar kota sebentar. Jika kalian bisa melewati tantangan kecil dariku hari ini, besok kalian bisa melewati ujian tahap pertama tanpa perlu mengikutinya. Langsung ke tahap dua."
Mata mereka bertiga membelalak. Ini tawaran yang tak terduga. Xuqin berkerut kening. "Siapa... siapa Paman sebenarnya?"
Pria itu tertawa ringan, suaranya seperti gemericik air. "Panggil saja Paman Grey. Aku hanya seorang tua yang suka berjalan-jalan, menikmati suasana, dan terkadang... membantu anak-anak yang punya cahaya di mata mereka. Nah, mau ikut atau tidak? Ini pilihan."
Su Yue, Xuqin, dan Lanxi saling memandang. Insting mereka berkata pria ini bukan orang biasa. Tapi ada aura kejujuran dan kekuatan dari dirinya yang tidak terasa mengancam.
"Kami ikut, Paman Grey!" akhirnya Lanxi menjawab untuk mereka semua, dengan semangat yang tak terbendung.
Mereka mengikuti Paman Grey berjalan keluar dari keramaian pasar, melewati gerbang kota, dan memasuki jalur setapak yang menanjak di pinggiran hutan. Perjalanan itu memakan waktu hampir satu jam, hingga mereka tiba di sebuah lembah kecil yang tersembunyi. Lembah Hijau. Namanya cocok. Rumput hijau lembut seperti permadani, diapit oleh tebing batu yang tidak terlalu tinggi, dan sebuah sungai kecil berkelok-kelok di tengahnya. Udara segar dan sunyi, jauh dari kebisingan kota.
"Tempat yang indah," gumam Xuqin.
Paman Grey berbalik menghadap mereka, senyumnya menghilang, digantikan ekspresi netral namun tegas.
"Ujian kalian hari ini sederhana. Lari bolak-balik, dari ujung lembah ini," dia menunjuk ke sebuah batu besar di satu ujung, "ke pohon ara besar di ujung sana," dia menunjuk ke seberang sungai.
"Lakukan terus menerus, tanpa henti, sampai matahari tepat di atas kepala." Dia menunjuk ke langit dimana matahari masih condong ke timur. "Kira-kira tiga jam lagi."
Lanxi mengerenyit. "Hanya lari? Itu mudah!"
"Tunggu dulu," potong Paman Grey. "Aturannya: tidak boleh berjalan. Harus berlari. Jika terjatuh, bangun dan lanjutkan. Jika berhenti lebih dari lima napas, gagal. Jika mengeluh, gagal. Paham?"
Mereka mengangguk kompak, meski hati Xuqin mulai menghitung jarak dan durasi. Itu akan melelahkan.
"Baik. Bersiaplah... mulai!"
Tanpa pikir panjang, Lanxi melesat seperti anak panah. "Ayo! Kita bisa!" teriaknya, mengabaikan semua strategi. Dia berlari dengan langkah lebar dan cepat, penuh semangat. Namun, dengan dadanya yang montok, setiap langkahnya menyebabkan goncangan yang tidak nyaman dan mengganggu keseimbangan. Pakaiannya yang sederhana tidak memberikan cukup penyangga.
Paman Grey menggeleng sambil menepuk dahinya sendiri. "Bodoh antusias. Semangat itu bagus, tapi tanpa pengendalian diri dan kesadaran akan kondisi tubuh, itu hanya akan menyiksa diri sendiri."
Su Yue dan Xuqin memulai lebih hati-hati. Mereka mengatur napas, mengatur kecepatan lari yang stabil, tidak secepat Lanxi. Lembah itu tidak sepenuhnya datar; ada tonjolan akar, batu kecil, dan area yang agak berlumpur di dekat sungai.
Lima putaran pertama masih terasa mudah. Lanxi masih memimpin dengan semangat tinggi, meski napasnya sudah mulai tersengal. Putaran kesepuluh, kaki mulai terasa berat. Udara segar di lembah mulai terasa panas di paru-paru. Lanxi sudah tidak bisa lagi bicara, wajahnya memerah. Dia mulai memperlambat langkah, dan setiap kali kakinya mendarat, dadanya yang bergoyang terlihat jelas menyebabkan ketidaknyamanan. Dia mencoba menyilangkan lengan di dada, tapi itu malah mengganggu keseimbangan larinya.
"Fokus pada napas, jaga langkah tetap ringan!" teriak Xuqin kepada Lanxi saat mereka berpapasan. Xuqin sendiri berkeringat deras, tetapi ritmenya masih terjaga.
Su Yue berlari dalam keheningan. Bagi tubuhnya yang kurus dan pernah kelelahan sampai pingsan, ini adalah tantangan besar. Otot kakinya berteriak, paru-parunya seperti terbakar. Tapi dia memiliki sumber daya lain: keteguhan hati yang ditempa dari penderitaan. Setiap langkah yang menyakitkan diingatkannya pada rasa sakit yang lebih besar. Setiap tarikan napas yang berat diingatkannya pada saat dia bangkit dari antara orang mati. Dia memusatkan perhatian pada sensasi Qi kecil di dantiannya, mencoba, sesuai naluri, menarik sedikit energi langit dan bumi yang bertebaran di lembah yang subur ini untuk meredakan kelelahan. Itu tidak banyak membantu, tapi memberi sedikit ketahanan ekstra.
Setelah sekitar satu jam, Lanxi terjatuh. Kakinya tersandung akar. Dia terjungkal ke rumput, napasnya terengah-engah, wajahnya penuh tanah. Dia melihat ke arah Paman Grey yang duduk tenang di atas batu, mengamati mereka dengan mata tajam.
"Bangun, Lanxi!" teriak Xuqin, yang juga sudah kelelahan namun masih bertahan.
Dengan gemetaran, air mata kebingungan dan frustrasi di mata, Lanxi berdiri. Dia tidak mengeluh. Dia hanya mengusap air matanya dengan lengan, lalu mulai berlari lagi, kali ini dengan kecepatan yang jauh lebih pelan, lebih tersendat-sendat.
Paman Grey mengamati ketiganya. Matanya yang bijak menganalisis setiap gerakan, setiap ekspresi. Dia melihat keteguhan Xuqin, tekad Su Yue yang sunyi dan mengerikan, dan semangat pantang menyerah Lanxi meski dengan cara yang kacau. Sebuah senyum tipis kembali muncul di bibirnya.
Lari bolak-balik di Lembah Hijau terus berlanjut, menguji setiap fiber otot dan keteguhan jiwa ketiga gadis itu, di bawah pengawasan seorang tua yang ternyata adalah Pemimpin Sekte Qingyun yang sedang menyamar, mencari berlian mentah di tengah keramaian dunia biasa.