Kekhilafan satu malam, membuat Shanum hamil. Ya, ia hamil setelah melakukan hal terlarang yang seharusnya tidak boleh dilakukan dalam agama sebelum ia dan kekasihnya menikah. Kekasihnya berhasil merayu hingga membuat Shanum terlena, dan berjanji akan menikahinya.
Namun sayangnya, di saat hari pernikahan tiba. Renaldi tidak datang, yang datang hanyalah Ervan—kakaknya. Yang mengatakan jika adiknya tidak bisa menikahinya dan memberikan uang 100 juta sebagai ganti rugi. Shanum marah dan kecewa!
Yang lebih menyakitkan lagi, ibu Shanum kena serangan jantung! Semakin sakit hati Shanum.
“Aku memang perempuan bodoh! Tapi aku akan tetap menuntut tanggung jawab dari anak majikan ayahku!”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30. Ervan Aneh
“Tunggu. Bukannya dokter Karina bilang kamu harus bedrest penuh? Termasuk kalau mau ke kamar mandi pun harus dibantu.”
Shanum merengut, tangannya meraih tiang infus untuk menopang tubuhnya. “Shanum enggak lumpuh, Pak. Cuma hamil. Bukan sakit.”
Hanya saja gadis itu tidak menampik, kemarin saja saat ingin buang air kecil saja tidak diperbolehkan turun dari atas ranjang. Dibantu oleh dua perawat menggunakan pispot. Ah, sungguh malu sebenarnya, untuknya saja tidak ada Ervan.
Ervan mendekat lebih cepat daripada yang bisa Shanum prediksi. Dalam satu gerakan sigap, ia sudah membungkuk dan mengangkat tubuh gadis itu dalam gendongannya.
“Hei! Pak Ervan!” Shanum terkejut, kedua tangannya reflek melingkari leher Ervan agar tidak jatuh. “Pak, turunin! Shanum bilang bisa sendiri!”
Ervan tetap melangkah menuju kamar mandi, tenang tapi tegas. “Kalau kamu jatuh gimana? Mau kandungan kamu kenapa-kenapa?”
“Bapak terlalu lebay!”
“Dan kamu terlalu keras kepala,” balas Ervan cepat. “Biarin saya jagain kamu, Shanum. Sekali ini aja, jangan ribet.”
Shanum mendengus kesal, wajahnya sudah memerah bukan hanya karena marah, tapi juga malu. Kamar mandi sudah di depan mata, dan ia tahu perawat pun bisa masuk kapan saja.
“Pak, ini memalukan,” bisiknya dengan suara tertahan.
“Lebih memalukan kalau kamu jatuh dan saya tidak bertanggung jawab,” balas Ervan tanpa ragu.
“Hah!” Shanum semakin terkesiap dengan tindakan suaminya. Lagi-lagi mengatakan tanggungjawab. Bukankah semalam mereka sudah bahas perceraian?
Begitu sampai di depan pintu kamar mandi, Ervan membuka pintu dengan sikunya, lalu menurunkan Shanum pelan di dalam. “Saya tunggu di luar. Kalau udah selesai, panggil.” Aura dinginnya amat mengental di balik tindakan yang menurut Shanum aneh.
Shanum nyaris membanting pintu kamar mandi, tapi ia hanya menutupnya sedikit keras—cukup untuk menunjukkan rasa kesalnya. Dari dalam, terdengar suara gemericik air dan desahan napasnya yang kesal.
Sementara di luar, Ervan menyandarkan punggung ke dinding, menyilangkan tangan di dada. Ia menghela napas panjang.
“Perempuan itu keras kepala sekali ..,” gumamnya.
Beberapa menit kemudian, pintu kamar mandi terbuka sedikit.
“Pak, saya udah selesai.”
Tanpa menjawab, Ervan langsung masuk untuk kembali menggendongnya. Tapi Shanum sudah berdiri tegak, menatapnya dengan pandangan menantang.
“Enggak usah gendong. Shanum. bisa jalan sendiri balik ke ranjang.”
Ervan menaikkan alis. “Yakin?”
Shanum mengangguk, keras kepala seperti sebelumnya. Ia melangkah keluar perlahan, sambil berpegangan pada dinding. Tapi belum dua langkah, tubuhnya sedikit goyah. Seketika tangan Ervan menangkap lengannya.
“Kan sudah dibilang,” gumamnya, lalu tanpa menunggu persetujuan, kembali mengangkat Shanum ke dalam pelukannya.
“Pak Ervan!” protes Shanum, suara nyaris melengking. “Kamu suka banget ya gendong-gendong orang!”
“Yang saya gendong itu istri saya sendiri,” jawab Ervan santai. “Sah secara hukum dan agama. Mau protes?”
Shanum membuang muka, bibirnya cemberut. Tapi tak lagi melawan.
“Ck, bilang istri, bentar lagi kita juga segera bercerai kok. Shanum bisa jalan, tahu.”
“Tau,” jawab Ervan, “tapi saya lebih tenang kalau kamu tidak memaksakan diri.”
Mereka kembali ke ranjang. Ervan menurunkan Shanum pelan, lalu merapikan bantal dan menyelimutinya lagi. Shanum hanya diam, tak menatap wajah pria itu, menahan sesuatu yang entah itu kesal atau gugup.
“Udah,” gumamnya. “Makasih.”
“Besok-besok jangan maksa jalan sendiri. Kamu itu bukan lagi sendiri, Shanum.”
Kata-kata itu membuat Shanum terdiam sejenak. Ada jeda panjang, lalu akhirnya ia bertanya pelan, “Kenapa Anda tiba-tiba berubah, Pak Ervan?”
Ervan duduk di pinggir ranjang. Pandangannya lurus ke depan. “Tidak tahu. Mungkin karena saya mulai sadar ... saya tidak bisa terus pura-pura semuanya baik-baik aja. Hubungan kita memang tidak semestinya seperti ini. Tapi saya tidak bisa terus nyalahin kamu atau keadaan.”
“Dan Bapak pikir bantuin Shanum ke kamar mandi bisa nyelesaiin semua?”
Ervan berdecih pelan. “Tidak. Tapi ini langkah kecil. Buat nunjukin kalau saya tidak akan lari dari tanggungjawab. Tidak kayak Reinaldi.”
Nama itu membuat udara mendadak berat. Shanum menarik napas panjang, lalu memejamkan mata.
“Saya tidak meminta kamu memaafkan dia. Tapi ... biar saya yang tanggung semuanya. Kalau kamu masih mau, kita jalan pelan-pelan. Kalau tidak ... saya tetap akan jadi bagian dari hidup anak ini.”
Shanum membuka mata, menatap pria di depannya. Sorot mata Ervan bukan sok pahlawan, bukan juga dramatis. Tapi tulus. Dan untuk pertama kalinya, Shanum tak bisa membaca hatinya sendiri.
“Pak,” gumamnya akhirnya, “sadarlah, semalam kita sudah membahas perceraian. Kita sama-sama sepakat untuk bercerai sebelum anak ini lahir, dan Pak Ervan bisa tenang menikahi tunangannya.
Ervan menunduk, menggenggam tangan perempuan itu. “Fokus dengan kesehatan kamu, jangan membahas perceraian dulu.”
Dan untuk beberapa detik, pagi terasa berhenti. Tidak ada suara lain selain napas mereka. Di luar, cahaya matahari mulai menyusup lebih terang lewat celah gorden, menimpa lantai yang dingin. Hangat dan pelan.
Lalu pintu terbuka, dan Bik Laras masuk membawa kantong plastik berisi makanan.
“Duh, kayaknya saya datang di waktu yang salah. Ini sudah saya belikan pesanannya, Tuan,” gumamnya tampak kikuk
Ervan berdiri menyambut. “Tidak, Bik. Justru pas. Shanum memang butuh sarapan, makanan dari rumah sakit belum datang. Tolong dibantu.”
Shanum menutup wajah dengan selimut. Tapi bukan karena marah. Melainkan karena pipinya mulai terasa panas.
...***...
Sementara itu, di tempat berbeda — Mansion Wijatnako.
Suasana ruang makan tampak tenang namun penuh ketegangan tersirat. Mama Diba duduk di ujung meja panjang berlapis taplak renda putih, menatap jam dinding beberapa kali sembari melirik ke arah tangga. Ia menunggu Ervan turun untuk sarapan. Sementara itu, Papa Wijatnako sudah lebih dulu duduk di meja, menikmati sarapan pagi dengan tenang, menyeruput kopi hitam sambil membaca koran bisnis.
Tanpa menunggu kehadiran putranya, Mama Diba meletakkan sendok perlahan dan membuka pembicaraan.
“Mama sudah memberi kabar pada orang tua Meidina. Kita sepakat ... pernikahan Ervan dan Meidina akan dilangsungkan bulan depan.”
Koran yang dipegang Papa Wijatnako langsung dilipat. Tangannya berhenti di udara sejenak, sebelum ia dengan tegas menghentakkan sendoknya ke atas meja. Suara logamnya menggema, membuat suasana mendadak tegang.
“Tidak!” serunya tajam. “Papa tidak setuju, Ma. Pernikahan itu baru bisa dilaksanakan setelah Shanum melahirkan dan resmi diceraikan oleh Ervan.”
Mama Diba memucat. “Tapi, Pa—”
“Papa tidak mau dengar alasan apa pun.” Nada suara Papa Wijatnako dingin, penuh otoritas. “Kalau Mama tetap memaksakan rencana itu, maka Papa akan mencoret nama Ervan dari surat wasiat. Ia tidak akan mewarisi satu sen pun dari keluarga Papa.”
Mama Diba terkesiap. “Apa?! Papa tak bisa begitu saja—”
“Bisa. Dan sudah Papa lakukan. Bahkan nama Renaldi sudah lebih dulu Papa hapus, karena Papa kecewa. Seharusnya dia yang bertanggung jawab menikahi Shanum, tapi ia kabur dari tanggung jawab. Kalau Ervan ikut menelantarkan Shanum, maka ia pun tak berbeda. Papa tidak butuh anak yang hanya mementingkan nama baik dan ego pribadi.”
Mama Diba terdiam, hatinya panas oleh amarah, tapi wajahnya mencoba tetap tenang. Ia tahu, jika sang suami sudah mengambil keputusan, maka hanya keajaiban yang bisa mengubahnya.
“Bagaimana ini, aku sudah terlanjur sepakat sama temanku. Aku harus cari jalan keluarnya kalau begini."
Bersambung ... ✍️
Ervan....juga jangan memaksakan diri, selesaikan dulu masalah mu dg Yessi
𝑚𝑎𝑘𝑎𝑠𝑖ℎ 𝑚𝑜𝑚𝑚𝑦 𝑢𝑝 𝑛𝑦𝑎 𝑤𝑎𝑙𝑎𝑢𝑝𝑢𝑛 𝑠𝑖𝑏𝑢𝑘 𝑙𝑒𝑏𝑎𝑟𝑎𝑛 𝑡𝑎𝑝𝑖 𝑚𝑎𝑠𝑖ℎ 𝑠𝑒𝑚𝑝𝑒𝑡𝑖𝑛 𝑢𝑝𝑙𝑜𝑎𝑑
𝑠𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎𝑡 ℎ𝑎𝑟𝑖 𝑟𝑎𝑦𝑎 𝑖𝑑𝑢𝑙 𝐴𝑑ℎ𝑎 𝑀𝑜𝑚𝑚𝑦 🙏🙏