NovelToon NovelToon
Ikatan Takdir

Ikatan Takdir

Status: sedang berlangsung
Genre:Suami Tak Berguna / Anak Haram Sang Istri
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: si ciprut

Perjalanan hidup Kanaya dari bercerai dengan suaminya.
Lalu ia pergi karena sebuah ancaman, kemudian menikah dengan Rafa yang sudah dianggap adiknya sendiri.
Sosok Angela ternyata mempunyai misi untuk mengambil alih harta kekayaan dari orang tua angkat Kanaya.
Selain itu, ada harta tersembunyi yang diwariskan kepada Kanaya dan juga Nadira, saudara tirinya.
Namun apakah harta yang di maksud itu??
Lalu bagaimana Rafa mempertahankan hubungannya dengan Kanaya?
Dan...
Siapakah ayah dari Alya, putri dari Kanaya, karena Barata bukanlah ayah kandung Alya.

Apakah Kanaya bisa bertemu dengan ayah kandung Alya?

Lika-liku hidup Kanaya sedang diperjuangkan.
Apakah berakhir bahagia?
Ataukah luka?

Ikutilah Novel Ikatan Takdir karya si ciprut

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon si ciprut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Prayudha Wicaksono

Barata baru saja menutup lemari besi ketika nalurinya menjerit—terlambat sepersekian detik. Kaca jendela belakang pecah tanpa ledakan, hanya bunyi krek pendek, lalu bayangan hitam menerobos masuk.

Barata menjatuhkan diri ke lantai saat peluru pertama menghantam dinding tempat kepalanya tadi berada. Debu beterbangan. Lampu kuning berayun liar.

Ia berguling ke balik meja, meraih pistol yang sudah ia siapkan. Dua bayangan bergerak cepat—terlatih, senyap, tak panik. Bukan pembunuh jalanan. Ini tim.

“Dia hidup!” seseorang berbisik melalui earpiece.

Barata tersenyum tipis.

Benar. Mereka tidak datang untuk membunuh.

Ia membalas tembakan—bukan untuk mengenai, tapi memaksa jarak. Satu bayangan mundur, satu lagi memutari sisi kanan. Barata memecahkan lampu dengan satu tembakan; ruangan jatuh ke gelap, hanya cahaya subuh tipis menyelinap dari celah dinding.

Langkah kaki mendekat. Terlalu yakin.

Barata menerjang. Tubuh bertubrukan. Pisau berkilat. Ia menahan pergelangan, memutar, menjatuhkan lawan ke lantai. Sebelum pukulan kedua mendarat, sesuatu menghantam tengkuknya.

Gelap berkilat.

Ia tersadar dengan tangan terikat, duduk di kursi kayu yang dulu sering ia pakai. Kepala berdengung. Di depannya berdiri seorang pria dengan mantel gelap—wajahnya tak dikenal, tapi auranya… Barata mengenal jenis ini.

“Tenang,” kata pria itu ringan. “Kalau kami mau kamu mati, kamu sudah mati.”

Barata tertawa lirih, darah mengalir dari pelipisnya. “Aku tahu.”

Pria itu mengangguk puas. “Bagus. Artinya kita bisa bicara.”

“Kalau kamu mencari Kanaya,” jawab Barata tenang, “kamu salah rumah.”

Pria itu tersenyum tipis. “Kami tidak mencari Kanaya. Kami mencari jalur. Dan kamu… jalur yang paling dekat.”

Barata menatapnya lurus. “Jalur itu buntu.”

“Tidak,” balas pria itu. “Selama kamu bernapas, jalur itu ada.”

Barata menghela napas, lalu berkata pelan—nyaris berbisik:

“Kalau begitu, kalian salah menilai satu hal.”

“Apa?”

“Orang yang tahu dirinya dibiarkan hidup,” kata Barata, “biasanya sudah memilih ke mana bahaya akan diarahkan.”

Di luar rumah, sebuah mobil berhenti jauh dari pandangan.

Sosok lelaki tua turun dari mobil, kemudian masuk ke tempat Barata di sergap.

Udara di rumah lama itu terasa berubah ketika Prayuda Wicaksono melangkah masuk.

Bukan dengan tergesa.

Bukan dengan pengawalan mencolok.

Melainkan dengan ketenangan orang yang tak pernah perlu memperkenalkan diri.

Dua orang anak buah menyingkir, memberi jalan. Barata—tangan masih terikat, kepala sedikit tertunduk—langsung tahu: inilah tuan yang selama ini hanya menjadi bayangan.

Prayuda menatap sekeliling rumah itu, memperhatikan dinding retak, meja kayu tua, lemari besi di sudut ruangan. Ia tersenyum tipis.

“Tempat yang tepat,” katanya akhirnya. Suaranya rendah, berwibawa. “Rumah orang-orang yang menyimpan rahasia… selalu terlihat seperti ini.”

Barata mengangkat wajahnya. Tatapannya tajam, meski tubuhnya terluka.

“Jadi kamu Prayuda Wicaksono,” katanya datar. “Nama besar. Orang penting. Dan ternyata… pengejar hantu.”

Prayuda tertawa pelan. “Hantu tidak mati, Barata. Mereka hanya menunggu.”

Ia menarik kursi dan duduk berhadapan langsung, jarak mereka hanya beberapa langkah. Tidak ada senjata diarahkan. Ini bukan eksekusi. Ini negosiasi.

“Ayahmu pria cerdas,” lanjut Prayuda. “Terlalu cerdas untuk tahu kapan harus berhenti. Sayangnya, dia memilih jalan yang salah.”

Barata mengepalkan rahang. “Dia memilih melindungi saksi.”

“Dia memilih mengancam stabilitas,” koreksi Prayuda tenang. “Negeri ini tidak dibangun dari kebenaran murni. Ia dibangun dari kompromi.”

“Dan Kanaya?” tanya Barata dingin. “Dia juga kompromi?”

Untuk pertama kalinya, senyum Prayuda memudar sepersekian detik.

“Kanaya adalah risiko yang tidak perlu,” jawabnya. “Dan kamu… jembatan yang terlalu manusiawi untuk tidak dimanfaatkan.”

Barata tertawa lirih, darah menetes ke lantai. “Jadi benar. Aku dibiarkan hidup supaya aku membawa kalian ke dia.”

“Bukan hanya ke dia,” kata Prayuda. “Ke keluarganya. Ke dokumen yang ayah kandungnya simpan. Ke kunci yang Nadira bawa.”

Ia mencondongkan badan. “Aku tidak ingin membunuhmu, Barata. Aku ingin kamu bekerja sama. Datanglah sebagai mantan. Sebagai penyesalan. Sebagai orang yang masih dipercaya.”

Barata menatap mata Prayuda lurus-lurus.

“Kalau aku menolak?”

Prayuda berdiri, merapikan jasnya. “Maka kamu akan tetap hidup,” katanya ringan. “Tapi semua orang di sekitarmu akan merasa hidup mereka… dipersempit.”

Ancaman itu tidak diucapkan keras.

Justru itulah yang membuatnya mematikan.

Hening menyelimuti ruangan.

“Aku ingin kamu tahu satu hal, Pak Prayuda,” kata Barata akhirnya, suaranya tenang, hampir lembut. “Aku kembali ke rumah ini bukan untuk bersembunyi.”

Prayuda menoleh.

“Aku kembali,” lanjut Barata, “untuk memastikan orang sepertimu akhirnya terlihat.”

Prayuda tersenyum—senyum orang yang jarang ditantang secara langsung.

“Kita lihat siapa yang lebih dulu kehabisan napas.”

Ia memberi isyarat kecil. Tali di tangan Barata tidak dilepas.

“Aku beri kamu waktu berpikir,” kata Prayuda sambil melangkah menuju pintu. “Karena pada akhirnya, semua orang memilih keluarga.”

Pintu tertutup.

Barata tertinggal sendirian, napasnya berat, tapi matanya jernih.

Ia tahu satu hal kini pasti:

musuhnya bukan lagi bayangan.

Namanya jelas. Wajahnya nyata.

Dan taruhannya adalah seluruh garis hidup Kanaya.

Barata duduk sendiri di rumah lamanya setelah Prayuda pergi. Sunyi kembali menekan, tapi kali ini yang berisik justru kepalanya sendiri.

Nama itu terus berputar-putar.

Alya.

Anak kecil yang dulu pernah ia gendong.

Anak yang pernah memanggilnya ayah, meski tak pernah benar-benar ia jawab dengan yakin.

“Dia anakku… atau bukan?” gumam Barata, suaranya pecah.

Keraguan itu bukan hal baru. Sejak awal, sejak retaknya hubungannya dengan Kanaya, pertanyaan itu selalu menggantung—tak pernah ia ajukan, tak pernah ia jawab. Bukan karena tak ingin tahu, tapi karena ia tak siap menerima apa pun hasilnya.

Jika Alya anak kandungnya,

maka ia telah meninggalkan darahnya sendiri dalam bahaya.

Jika Alya bukan,

maka seluruh keinginannya untuk kembali mendekati Kanaya

tak lebih dari ego yang mencari pembenaran.

Barata menutup wajahnya dengan kedua tangan.

“Aku mau kembali karena Alya… atau karena aku tidak bisa menerima kehilangannya?” bisiknya jujur pada dirinya sendiri.

Ia sadar, Prayuda sangat paham titik lemahnya.

Bukan Kanaya.

Bukan dokumen.

Tapi anak kecil yang tak tahu apa-apa.

Jika Barata mendekat dengan alasan Alya, maka ia menjadi jembatan sempurna—jalan masuk paling manusiawi menuju Kanaya. Dan Barata tahu, itulah yang Prayuda harapkan.

Namun justru di sanalah kebimbangannya mencapai puncak.

“Kalau aku mendekat,” pikirnya pahit,

“aku mempertaruhkan mereka.”

Tapi jika ia menjauh sepenuhnya,

ia harus hidup dengan satu kemungkinan paling kejam:

bahwa ia meninggalkan anaknya sendiri tanpa pernah berjuang.

Air matanya jatuh satu.

Bukan karena lemah.

Tapi karena untuk pertama kalinya, ia dihadapkan pada pilihan yang tak punya sisi benar.

Di benaknya terlintas wajah Kanaya—tenang, tegas, kini berdiri bersama Rafa. Lalu wajah Alya—belajar berjalan, tertawa tanpa tahu apa pun tentang darah, dosa, dan perebutan kuasa.

Barata menarik napas panjang.

“Kalau aku mendekat,” katanya pelan,

“itu bukan untuk mengambil mereka kembali.”

Ia mengepalkan tangan.

“Itu untuk memastikan… apa pun darah Alya,

dia tumbuh tanpa bayangan namaku.”

Barata akhirnya memahami satu hal yang pahit tapi jujur:

Ia tidak butuh kepastian apakah Alya anak kandungnya atau bukan

untuk mencintainya.

Dan justru karena itulah,

ia tidak boleh mendekat.

Karena cinta terbesarnya saat ini

bukan hadir di sisi Kanaya,

melainkan menjauh agar mereka aman.

Di sudut ruangan, ponselnya bergetar. Pesan dari James:

“Rafa sudah mengamankan mereka. Jangan muncul. Prayuda mengawasi.”

Barata menutup mata, lalu membalas satu kalimat saja:

“Aku tahu. Jaga mereka. Aku akan jadi bayangan.”

Ia berdiri, menatap rumah tua itu sekali lagi.

Jika Alya adalah anaknya,

maka pengorbanan inilah warisan satu-satunya yang bisa ia berikan.

Dan jika Alya bukan darahnya,

maka keputusannya tetap sama.

.

.

.

BERSAMBUNG

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

1
🏡s⃝ᴿ 𝒊𝒏ᷢ𝒅ⷶ𝒊ⷮ𝒓ᷡ𝒂ⷶᴳᴿ🐅
cwrdik juga ya lawanya
kira2 gmn akhir dari kisah ini
🏡s⃝ᴿ 𝒊𝒏ᷢ𝒅ⷶ𝒊ⷮ𝒓ᷡ𝒂ⷶᴳᴿ🐅 : ya ya ya selalu seoerti itu di gantung tanpa harapan 🙈🙈
total 2 replies
🏡s⃝ᴿ 𝒊𝒏ᷢ𝒅ⷶ𝒊ⷮ𝒓ᷡ𝒂ⷶᴳᴿ🐅
hisss mumet aq
🏡s⃝ᴿ 𝒊𝒏ᷢ𝒅ⷶ𝒊ⷮ𝒓ᷡ𝒂ⷶᴳᴿ🐅
apa sih sebenarnya ini aq kok makin piyeee gono
🏡s⃝ᴿ 𝒊𝒏ᷢ𝒅ⷶ𝒊ⷮ𝒓ᷡ𝒂ⷶᴳᴿ🐅
jd angela akan mati kah
hahh jd anak itu anak siapa alya kok bisa kanya sma barata dan kok bisa alya hamil hadeh kepingan puzel yg bener2 rumit tingkat dewa 🤣🤣🤣🤣
Perushaa
makin buat aku bertanya, arahnya kemana
🏡s⃝ᴿ 𝒊𝒏ᷢ𝒅ⷶ𝒊ⷮ𝒓ᷡ𝒂ⷶᴳᴿ🐅
lha jd ada flash back nya g kk thor
jawaban dr alya anak dia bukan kira2 kasih flash back nya kapan 🤣🤣🤣
🏡s⃝ᴿ 𝒊𝒏ᷢ𝒅ⷶ𝒊ⷮ𝒓ᷡ𝒂ⷶᴳᴿ🐅 : ohh ttp ada ya
total 2 replies
Anto D Cotto
menarik
Anto D Cotto
lanjut crazy up Thor
🏡s⃝ᴿ 𝒊𝒏ᷢ𝒅ⷶ𝒊ⷮ𝒓ᷡ𝒂ⷶᴳᴿ🐅
jd barata malah berkorban gtu ka
🍃⃝⃟𝟰ˢ🫦✍️⃞⃟𝑹𝑨💫⃝ˢᶦ𝐂ɪᴘяᴜт: bisa jadi
total 1 replies
🏡s⃝ᴿ 𝒊𝒏ᷢ𝒅ⷶ𝒊ⷮ𝒓ᷡ𝒂ⷶᴳᴿ🐅
hadeh mumet bacanya apa sih sebenernya yg bikin rumit 🤣🤣🤣
Perushaa
Cerita ini itu rekomend, bangettttt! Penuh misteri, teka-teki, menengangkan. Serasa kita di ajak untuk bermain menjadi detektif.
🍃⃝⃟𝟰ˢ🫦✍️⃞⃟𝑹𝑨💫⃝ˢᶦ𝐂ɪᴘяᴜт: terimakasih mbak Bening
total 1 replies
Perushaa
makin horor dan penuh tanda tanya
🏡s⃝ᴿ 𝒊𝒏ᷢ𝒅ⷶ𝒊ⷮ𝒓ᷡ𝒂ⷶᴳᴿ🐅
hadehhh ini makin lama makin menyinpan misteri aja 🤭
Perushaa
makin horor, makin misteri
🏡s⃝ᴿ 𝒊𝒏ᷢ𝒅ⷶ𝒊ⷮ𝒓ᷡ𝒂ⷶᴳᴿ🐅
rumit sekalin
🏡s⃝ᴿ 𝒊𝒏ᷢ𝒅ⷶ𝒊ⷮ𝒓ᷡ𝒂ⷶᴳᴿ🐅
hahh ini kek baca kasus lama tp kasus apa ya apakah ininkaitan dengan mafia atau gmn sih
🏡s⃝ᴿ 𝒊𝒏ᷢ𝒅ⷶ𝒊ⷮ𝒓ᷡ𝒂ⷶᴳᴿ🐅
angela maju kena mundur kena jadi apa sebenarnya ini kenapa kek blm terurau apa yg di buru nya ish pusing deh 🤣🤣🤣
🏡s⃝ᴿ 𝒊𝒏ᷢ𝒅ⷶ𝒊ⷮ𝒓ᷡ𝒂ⷶᴳᴿ🐅 : ohh gono yo
total 2 replies
🏡s⃝ᴿ 𝒊𝒏ᷢ𝒅ⷶ𝒊ⷮ𝒓ᷡ𝒂ⷶᴳᴿ🐅
mumet thor
jane apa.sih iki 🤣🤣🤣
🏡s⃝ᴿ 𝒊𝒏ᷢ𝒅ⷶ𝒊ⷮ𝒓ᷡ𝒂ⷶᴳᴿ🐅 : mumet apa yg di buru sebenarnya sih
total 2 replies
Perushaa
makin rumit, makin misteri
ini cerita gak tembus retensi, keterlaluan si LUN itu gak bantu promosiin 😤😤😤
Perushaa: emang minta di santet dukun jombang si lun
total 3 replies
Perushaa
aduh makin banyak teka-teki. bikin penasarannnn

ini bukan genre konflik etika, tetapi horor/ misteri
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!