Malam bahagia bagi Dila dan Arga adalah malam penuh luka bagi Lara, perempuan yang harus menelan kenyataan bahwa suami yang dicintainya kini menjadi milik adiknya sendiri.
Dalam rumah yang dulu penuh doa, Lara kehilangan arah dan bertanya pada Tuhan, di mana letak kebahagiaan untuk orang yang selalu mengalah?
Pada akhirnya, Lara pergi, meninggalkan tanah kelahirannya, meninggalkan nama, kenangan, dan cinta yang telah mati.
Tiga tahun berlalu, di antara musim dingin Prancis yang sunyi, ia belajar berdamai dengan takdir.
Dan di sanalah, di kota yang asing namun lembut, Lara bertemu Liam, pria berdarah Indonesia-Prancis yang datang seperti cahaya senja, tenang, tidak terburu-buru, dan perlahan menuntunnya kembali mengenal arti mencintai tanpa luka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab: 28
Tiga hari kemudian setelah kedatangan Lara ke rumah sakit untuk menjenguk ibunya Liam, Liam kembali muncul di kafe. Cuaca Annecy sore itu sedang dingin, membuat aroma kopi menghangatkan ruangan lebih dari biasanya. Kafe sedang lengang, hanya ada beberapa pelanggan yang duduk di pojok, sibuk dengan laptop masing-masing.
Liam melangkah ke meja bar, jaket tebalnya masih meneteskan sisa embun dari luar.
“Espresso seperti biasa?” tanya Lara tanpa menatap, tangannya cekatan menyiapkan portafilter.
“Tentu,” jawab Liam sambil menyandarkan siku di meja bar, menatap gadis itu dengan senyum kecil yang tak bisa ia sembunyikan. Sebenarnya dia tidak pernah benar-benar datang untuk kopinya. Kopi hanyalah alasan, Lara adalah tujuan sebenarnya.
Ketika espresso itu sudah jadi, Lara mendorong cangkir kecil itu ke arahnya. “Bagaimana ibumu? Apa dia sudah lebih baik?” tanyanya. Suaranya lembut, menunjukkan ketulusan yang membuat dada Liam sedikit menghangat.
“Dia jauh lebih baik dari terakhir kamu melihatnya,” kata Liam. “Itu juga karena kalian berdua sudah datang menengok. Sebenarnya…” Liam mengusap belakang lehernya, sedikit canggung. “…aku ke sini untuk menyampaikan undangan.”
“Undangan?” Lara mengerutkan kening. “Untuk apa?”
“Karena sudah keluar dari rumah sakit. Ibuku meminta aku menyampaikan bahwa dia ingin mengundangmu ke apartemen kami. Kalau kau berkenan, tentu saja.”
“Aku?” Lara terkejut, menunjuk dirinya sendiri seolah Liam salah sebut nama.
“Iya, kau.”
“Bagaimana dengan Bella? Dia juga diundang?” tanya Lara mencoba mencari celah untuk menolak dengan halus.
“Ya, tentu saja Bella juga diundang,” jawab Liam.
“Sayangnya aku tidak bisa, pulang kerja aku sudah memiliki janji dengan someone.” sahut Bella tiba-tiba, muncul dari dapur sambil membawa nampan. Ia menepuk bahu Lara pelan. “Tapi kamu harus pergi. Dia ibunya Liam. Masa kita berdua menolak?”
“Bella…” Lara mendesah, sudah bisa menebak bahwa sahabatnya itu sengaja memberi jalan bagi Liam.
“Come on, Lara. Tidak sopan kita berdua tidak hadir. Kalau aku tidak bisa, setidaknya kamu mewakili kita,” lanjut Bella, tersenyum penuh arti.
Lara terdiam. Ia tidak ingin menyinggung perasaan ibu Liam, tetapi ia juga tidak terlalu yakin pergi ke rumah seseorang yang bisa membaca dirinya sedalam itu, ibunya Liam seperti bisa melihat langsung ke hatinya.
Namun setelah beberapa detik, ia akhirnya mengangguk kecil. “Baiklah,” katanya pelan.
Pada saat yang sama seorang pelanggan baru masuk, membuat Lara harus kembali bekerja. Namun sebelum ia berbalik, Liam menyahut cepat, “Besok sore, setelah kafe tutup, aku jemput kamu.”
Lara hanya mengangguk singkat, lalu kembali ke meja barnya.
Begitu Lara pergi, Liam mengalihkan pandangan pada Bella yang sedang membersihkan meja bar dengan senyum menggoda.
“Terima kasih,” kata Liam tulus.
Bella mengangkat alis. “Traktir aku kapan-kapan.”
“Dengan senang hati.”
Bella tertawa kecil. “Sungguh, Liam, kalau kamu gagal sama Lara, itu murni salah kamu sendiri. Kesempatannya sudah besar.”
Liam ikut tersenyum, menatap espresso yang perlahan mendingin. “Aku tidak berencana gagal,” gumamnya pelan.
❄️❄️❄️
Hari yang dinanti Liam akhirnya tiba. Sore itu, tepat di menit-menit terakhir jam kerja Lara, Liam sudah berdiri di depan kafe, menunggunya dengan mantel tebal dan rambut yang sedikit basah oleh salju. Saat Lara keluar sambil menutup apron, Liam membuka pintu mobil dan mempersilakan Lara masuk. Salju turun lembut sepanjang perjalanan, mengaburkan kaca jendela dengan embun tipis.
Sesampainya di apartemen Liam, pintu langsung terbuka dari dalam. Ibu Liam, Madame Dayana, berdiri dengan wajah jauh lebih segar dibanding saat terakhir Lara melihatnya di rumah sakit. Matanya berkilau seperti mata Liam, barulah Lara benar-benar mengerti dari mana Liam mewarisi sorot mata indah itu.
“Lara, chérie, ayo masuk,” sambut Madame Dayana hangat.
“Ini, madame…” Lara mengulurkan kotak berisi pastry yang ia bawa.
“Mon Dieu, kenapa repot? Kedatanganmu saja sudah hadiah untukku,” jawab Dayana sambil memeluknya ringan.
“Kalian duduk dulu. Aku siapkan makanannya,” katanya lagi sambil beranjak ke dapur.
“Biar aku bantu, madame,” ujar Lara cepat.
Dayana menoleh pada Liam sambil tersenyum menggoda, “Kau keberatan mama menculik wanita ini sebentar?”
“Aku ikut membantu,” sahut Liam.
Tak lama kemudian, dapur dipenuhi aktivitas mereka bertiga. Saat makan malam, meja dipenuhi kehangatan, makanan rumahan khas keluarga Prancis, lilin kecil, dan tawa Dayana yang mendominasi suasana.
Namun ketika mereka selesai makan, Dayana berkata, “Liam, cokelat kita sepertinya habis. Mama ingin membuat chocolat chaud untuk kita bertiga. Bisa kau belikan sebentar?”
“Oh, baik. Lara, aku tinggal sebentar, tidak apa-apa?” tanya Liam.
“Tidak apa-apa,” jawab Lara.
Liam pun bergegas keluar.
Lara langsung berdiri untuk merapikan piring. “Aku saja yang membersihkan, madame.”
“Merci, sayang,” jawab Dayana lembut.
Beberapa menit kemudian, Dayana memanggilnya pelan. “Lara…”
“Iya, madame?” Lara menoleh.
Dayana menatapnya sejenak, sorot matanya dalam dan penuh perhatian. “Kenapa kamu menolak anakku?”
Lara terhenti. Udara di dadanya seperti menegang. Setelah beberapa detik, dia menjawab lirih, “Karena… Liam pantas mendapatkan yang lebih baik dari aku.”
Dayana tersenyum tipis. “No, mon amour. Itu bukan alasan sebenarnya.”
Lara menunduk. Suaranya bergetar. “Aku seorang janda, madame.”
“Lalu?” Dayana mengangkat alis, seolah itu hal paling biasa di dunia.
Lara terkejut. Reaksi itu sama persis dengan Liam dulu. “Apa… Liam sudah memberitahu madame?”
“Tidak.” Dayana menggeleng. “Anakku tidak pernah menceritakan hal itu.”
“Lalu kenapa madame tidak kaget?” tanya Lara dengan jujur.
“Kenapa aku harus kaget? Status janda bukan aib, chérie. Tidak ada perempuan yang menginginkan akhir seperti itu dalam pernikahannya. Itu bukan salahmu. Itu takdir yang berat. Tapi bukan sesuatu yang membuat nilaimu berkurang.”
Lara menggigit bibirnya. Ada luka lama yang mengintip dari balik matanya.
“Apa hanya karena itu kamu menolak anakku?” tanya Dayana lembut.
Lara menghela napas, suara itu seperti keluar dari tempat paling dalam. “Itu… hanya salah satu alasannya.”
“Lalu apa lagi, sayang?”
Lara menatap lantai, lalu akhirnya mengaku, suara lirih namun jelas, "Aku di lukai di pernikahanku yang lalu, hatiku hancur berkeping-keping. Luka itu terlalu dalam dan belum sembuh. Perasaan takut atas pengkhianatan masih penuh di dadah ini. Dan, ketakutan itu yang membuat aku tidak bisa menjalani apa yang hatiku inginkan. Liam, dia pria yang baik, sejujurnya hatiku goyah, tapi. Rasa sakit dan takut membuat aku tidak bisa menerimanya." Jujur Lara.
"Lara sayang…" suara Bu Dayana terdengar pelan, seperti seseorang yang sedang memilih setiap kata dengan hati-hati, seolah kata-kata itu harus mendarat dengan lembut di hati yang sedang terluka.
Ia mendekat, menatap Lara dengan mata yang tenang namun penuh empati.
"Kemarilah, duduklah dekatku."
Lara menurut, meski gugup. Bu Dayana menghela napas sebelum berbicara lagi.
"Hatimu patah, Lara… aku bisa melihat itu bahkan sebelum kau mengatakannya. Luka yang dalam tidak pernah berteriak, ia hanya diam, tapi diamnya terasa sampai jauh."
Bu Dayana tersenyum lembut, senyum yang mengandung kebijaksanaan bertahun-tahun.
"Lara, dengarkan aku." matanya menatap lekat, hangat, seperti seorang ibu yang ingin memeluk anak yang bukan darah dagingnya.
"Kadang hidup mematahkan kita di tempat yang paling kita percayai. Tapi patah itu bukan akhir. Patah itu… ruang. Ruang untuk sesuatu yang baru tumbuh."
Lara menunduk, menahan air mata. Bu Dayana melanjutkan dengan lebih lembut, namun tetap bertenaga seperti bait puisi:
"Kau tahu, sayang…
Hati manusia itu seperti kaca. Bila retak, ia tidak kembali sama.
Tapi kaca yang pernah retak, bila disatukan kembali, akan memantulkan cahaya dengan cara yang tidak pernah bisa dilakukan oleh kaca yang utuh.
Justru retaknya membuat ia lebih indah."
Lara terpaku. Ia tidak tahu harus menjawab apa.
"Dan tentang rasa takutmu." Bu Dayana tersenyum kecil, hampir seperti lelucon lembut.
"Takut itu bukan kelemahan. Takut itu bukti bahwa hatimu masih hidup."
Ia menyentuh tangan Lara.
"Namun, sayang, jangan biarkan masa lalu yang mematahkanmu, menjadi orang yang menentukan masa depanmu."
Sunyi sejenak. Hanya bunyi mesin pencuci piring yang berputar di belakang mereka.
"Liam bukan laki-laki yang akan menuntutmu sempurna. Ia tidak mencari seseorang tanpa masa lalu, ia mencari seseorang untuk diajak menata masa depan. Dan aku tahu hatinya. Jika dia memilihmu, itu bukan karena ia buta. Itu karena ia melihatmu lebih jelas daripada dirimu sendiri."
Lara menggigit bibirnya, dadanya terasa sesak.
"Lara…" suara Bu Dayana kembali seperti syair lembut, dalam dan menyelimuti,
"Jika kau menolak karena takut, maka takut itulah yang sedang mengendalikan hidupmu.
Tapi jika kau mengambil langkah kecil, sekecil apa pun, kau akan menemukan bahwa tidak semua tangan yang datang mendekat ingin melukaimu. Ada tangan yang datang untuk merawat, bukan menyakiti."
Ia mengusap lembut tangan Lara.
"Anakku yang manis…
Janda bukan aib. Luka bukan kelemahan.
Dan cinta yang datang kedua kali… sering kali adalah cinta yang paling tulus.
Karena ia datang bukan untuk merenggut, tapi untuk memulihkan."
Lara mengembuskan napas gemetar. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh juga.
Bu Dayana tersenyum hangat, memeluknya pelan.
"Jadi, jangan menutup pintu sebelum kau tahu siapa yang berdiri di depan sana.
Kadang kebahagiaan mengetuk dengan suara yang sangat pelan.
Kau hanya perlu keberanian sebesar sebutir pasir, untuk membuka pintu itu sedikit saja."
jd malas bacanya