Bram, playboy kelas kakap dari Bekasi, hidupnya hanya tentang pesta dan menaklukkan wanita. Sampai suatu malam, mimpi aneh mengubah segalanya. Ia terbangun dalam tubuh seorang wanita! Sialnya, ia harus belajar semua hal tentang menjadi wanita, sambil mencari cara untuk kembali ke wujud semula. Kekacauan, kebingungan, dan pelajaran berharga menanti Bram dalam petualangan paling gilanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zaenal 1992, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kutukan Sang Wanita dan Dendam yang Membara
Sinta tiba di kontrakan barunya. Tempatnya jauh dari kata mewah, hanya sebuah kamar petak kecil yang lembap dan seadanya di gang sempit. Namun, bagi Bram, ini adalah satu-satunya benteng pertahanan. Begitu pintu kayu tua itu tertutup dan dikunci ganda, 'Sinta' ambruk.
Bram menjatuhkan tas yang baru dibelikan Rian ke lantai dan membiarkan dirinya terduduk lemas di atas kasur tipis. Ia meremas rambut halusnya yang panjang, rasa panik yang selama ini ia tahan meledak tak terkendali.
“Gila! Gila! Aku ditembak!” bisik Bram, suaranya parau. Jantungnya masih berdebar kencang, bukan karena romansa, tetapi karena horor murni. “Rian bilang dia cinta... Tiga cowok berebut! Dan aku harus pura-pura terkejut dan terharu! Aku cowok, sialan! Aku butuh cewek cantik, bukan cowok cakep!”
Seluruh adegan dramatis di jalanan tadi berputar di kepalanya. Tatapan serius Rian, mata terluka Reno dan Raka. Mereka semua melihat 'Sinta' sebagai wanita yang mereka cintai. Ironisnya, semakin cantik dan menawan tubuh ini, semakin besar pula bahaya yang mengintai dirinya yang sesungguhnya.
Perasaan bersalah karena membohongi Rian yang tulus, dan jijik pada dirinya sendiri yang terjebak dalam tubuh perempuan, sudah mencapai puncaknya. Ia tidak tahan lagi.
“Aku nggak bisa begini terus. Aku harus kembali. Aku harus jadi Bram,” tekadnya, bangkit dan menatap bayangan dirinya di cermin kumal. Sosok wanita cantik bermata sendu itu balas menatapnya. Ia meninju tembok di samping cermin, sebuah reaksi maskulin yang terasa aneh karena tangannya yang lentik.
Namun, tekadnya langsung tergoyahkan oleh pertanyaan mendasar yang menghantamnya seperti palu godam.
"Tapi Bagaimana caranya?" Bram (Sinta) bergumam putus asa, menatap bayangannya di cermin kumal.
"Aku sudah coba segalanya. Setelah kejadian Dinda, aku dan Maya mati-matian cari jalan keluar," gumamnya pada diri sendiri, mengingat kembali minggu-minggu penuh pencarian.
"Sudah seharian penuh googling dengan segala macam kata kunci aneh: 'cara menghilangkan kutukan gender', 'mimpi jadi wanita', 'karma playboy jadi perempuan'. Hasilnya? Nihil! Hanya prank dan forum horor tak jelas," keluhnya, memejamkan mata.
"Terus, aku nuruti Maya untuk coba jalur belakang. Dukun! Dari yang berkedok 'konsultan spiritual' pasang tarif jutaan, sampai yang cuma modal kemenyan dan air kembang di gang sempit. Semua cuma omong kosong, penipu! Aku tetap Sinta! Tidak ada yang bisa membatalkan kutukan ini!"
Kepala Bram (Sinta) sakit. Ia sudah tahu bahwa cara-cara konvensional dan supranatural (dukun) yang umum sudah tidak mempan. Tidak ada mantra yang jelas, tidak ada obat yang tersisa.
Bagaimana caranya?
Dia harus mengingat kembali detail mimpi itu, bukan untuk mengetahui penyebabnya lagi, melainkan untuk mencari petunjuk lain.
✨ Kilas Balik Bram
Saat itu, setelah berkencan dengan Maya, aku pulang ke apartemen. Aku langsung ambruk di tempat tidur, aroma parfum masih melekat di baju. Dalam tidur yang tidak tenang, aku bermimpi aneh.
Aku berada di lapangan hijau luas dengan langit ungu keemasan. Di depanku, muncul seorang wanita cantik dengan jubah berkilauan, memancarkan aura misterius. Rambutnya hitam legam, matanya tajam, dan senyumnya sinis.
"Bram, Bram... si penakluk wanita," suaranya menggema. "Waktunya merasakan apa yang kau tanam."
Aku ingin protes, tapi suaraku tercekat. Wanita itu mengangkat tangannya, dan sebuah bola berwarna pelangi muncul. Dengan gerakan anggun, dia melemparkan bola itu ke arahku.
Bola itu melayang cepat, menghantam "aset"-ku dengan kekuatan penuh. Rasanya seperti disambar petir. Aku menjerit kesakitan, melengkung ke belakang, lalu terbangun dengan napas tersengal dan jantung berdebar kencang. Keringat membanjiri tubuhku, dan aku merasakan sakit yang masih berdenyut di antara kedua kaki.
"Sialan mimpi!" gerutuku serak. Aku bangkit dari tempat tidur, kepalaku masih pening. Aku berjalan terhuyung ke kamar mandi untuk mencuci muka. Saat itulah aku melihatnya—wajah Sinta di cermin.
🤯 Kembali ke Kenyataan
Bram (Sinta) membuka matanya. Kalimat wanita berjubah itu terngiang jelas: "Waktunya merasakan apa yang kau tanam."
“Aku sudah tahu pasti. Ini adalah kutukan yang dikirim oleh salah satu wanita yang pernah kusakiti di masa lalu. Wanita berjubah itu mungkin hanya perantara, atau penyihir yang disewa. Yang penting adalah siapa pengirimnya,” desis Bram.
Wajah Bram (Sinta) menjadi pucat pasi. Ia sudah tahu masalahnya: Siapa wanita itu?
Bram merosot ke lantai, lututnya lemas. Ia menyadari inti masalahnya. Sebagai seorang playboy yang tak bertanggung jawab, Bram telah menyakiti, membohongi, dan berselingkuh dari banyak sekali wanita.
“Wanita yang sakit hati dan dendam...” Bram tertawa getir, ironis. "Sialan! Ada begitu banyak! Siapa? Maya? Lisa? Tiara? Atau malah pacar-pacar selingkuhan yang namanya saja aku sudah lupa?”
Daftar mantan kekasih, korban perselingkuhan, dan wanita yang ia perlakukan dengan buruk berputar di kepalanya. Daftar itu sangat panjang. Dia bahkan tidak ingat wajah semua dari mereka, apalagi siapa yang paling ia sakiti hingga dendamnya membara dan berujung pada kutukan.
Ini mustahil. Bagaimana aku bisa melacak wanita yang namanya saja sudah samar-samar? Dan bagaimana cara mematahkan kutukan dari orang yang tidak kukenal namanya?
Dia harus mencari tahu identitas korban itu. Dia harus mulai dari yang paling baru dan yang paling emosional. Tapi, ia harus melakukannya sebagai Sinta.
Ponsel Sinta bergetar. Sebuah pesan masuk. Dari Rian.
“Sinta, aku janji nggak akan memaksamu. Tapi tolong, balas pesanku. Aku khawatir kamu marah. Aku serius dengan perasaanku.”
Bram mendesah panjang. Ia terjebak. Ia tahu siapa musuhnya—seseorang dari masa lalunya. Namun, jumlah musuhnya terlalu banyak. Ia harus membuat daftar dan menyaringnya.
“Aku harus mulai dengan membuat daftar hitam. Mencari tahu siapa yang paling mungkin mengirimkan kutukan ini,” gumam Bram.
Scene berpindah di suatu tempat, di tengah kegelapan pekat yang seolah tak berujung, sesosok wanita berjubah hitam duduk. Cahaya yang ada hanya berasal dari pantulan samar pada sebuah cermin tua yang memancarkan aura dingin. Wajah wanita itu tersembunyi di balik tudung jubahnya, hanya menyisakan kilau mata yang tajam dan bibir yang melengkung sinis.
Dia memegang miniatur boneka laki-laki yang aneh di tangannya, seolah sedang mempermainkan nasib. Boneka itu tampak kusut dan sedikit cacat, seperti baru saja mengalami trauma fisik.
“Rasakan, Bram,” bisik wanita itu, suaranya dingin dan penuh kepuasan, namun samar-samar terdengar familiar. “Rasakan bagaimana rasanya menjadi wanita yang lemah, yang diperebutkan, yang tak berdaya. Kutukan ini baru permulaan. Ini adalah balasan atas semua tangisan dan air mata yang kau sebabkan.”
Dia tertawa pelan, suara tawanya seperti desiran daun kering yang dibawa angin malam. Bola pelangi kecil yang sama seperti di mimpi Bram, berputar-putar di antara jari-jarinya.
“Kau pikir kau bisa lolos? Tidak semudah itu, Bram. Kau akan mencariku, tapi kau tidak akan pernah menemukanku."
Wajah wanita itu sedikit terangkat, menampakkan kilatan matanya yang tajam di kegelapan, sebelum kembali diselimuti bayangan. Senyum kemenangannya yang kejam terukir samar.
Apakah Bram (Sinta) akan mulai menyusun 'daftar hitam' mantan-mantannya sekarang, atau apakah ada gangguan dari luar (seperti Reno, Raka, atau Clara) yang menghambat langkah pertamanya?