Kisah Perjodohan seorang CEO yang cantik jelita dengan Seorang Pengawal Pribadi yang mengawali kerja di perusahaannya sebagai satpam
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MakNov Gabut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Suasana di Nirwana Club malam itu terasa berbeda. Lampu strobo berputar liar memantulkan warna ungu, biru, dan merah ke seluruh ruangan, menciptakan bayangan yang menari-nari di lantai kaca. Musik elektronik berdentum keras, memukul dada pengunjung, sementara aroma campuran rokok, parfum, dan alkohol memenuhi udara, membuat setiap napas terasa berat tapi eksotis. Para penari berjingkrak di lantai dansa, namun tiba-tiba mata semua orang tertuju pada satu titik: seorang laki-laki tinggi besar, berkaus hitam, berdiri mengancam, menatap Aryo dengan mata merah karena marah.
“Ke mari kau! Jangan pengecut begitu!” teriaknya, suaranya menembus dentuman musik, membuat beberapa pengunjung berhenti berdansa dan menatap dengan kagum sekaligus takut.
Aryo menatap lawannya dengan tenang. Tubuhnya tegap, otot-ototnya tegang tapi terkendali. Jantungnya berdegup kencang, adrenalin mengalir, tapi wajahnya tetap dingin dan fokus. Ia menghitung jarak, menganalisis gerakan lawan, dan menilai kekuatan pukulan yang mungkin datang. Tanpa banyak bicara, Aryo bergerak. Dengan satu putaran tubuh yang mulus, tinjunya menghantam pipi lawan. Lawan tersungkur beberapa langkah, menunduk memegangi rahangnya yang sakit, dan hampir menabrak meja bar yang penuh gelas dan botol.
“Maaf, kami tidak jadi pergi,” kata Aryo dengan suara tegas namun tetap terkendali. “Kau saja yang harus pergi dari sini, begundal tengik.”
Beberapa pengunjung bersiul kagum, sebagian lain menahan napas. Mereka tak percaya seorang pria seperti Aryo berani menghadapi laki-laki yang jelas lebih besar dan terlihat ganas.
Si pengganggu menatap Aryo, wajahnya memerah karena amarah. “Pukulan beruntung! Pukulan dari pengecut yang menyerang saat lawan tak siap!” bentaknya. Dengan satu tangan, ia meraih botol bir di meja terdekat dan memecahkannya di lantai. Suara kaca pecah bergema, serpihan botol terlempar ke lantai, beberapa menancap, darah menetes dari pelipis lawannya. Pengunjung menjerit, beberapa mundur, sementara yang lain menatap tegang.
“Kita lihat apakah kau bisa menghindari ini atau tidak!” ancam si pengganggu, sambil mengacungkan pecahan botol ke arah Aryo.
Meliana menempelkan lengan ke Thania, matanya melebar, takut setengah mati. “Aduh… Aryo!” desisnya panik, jantungnya berdegup cepat.
Thania menepuk pundak Meliana, mencoba menenangkan. “Tenang… lihat sendiri, dia terlihat sangat yakin.” Mata Thania tetap tertuju pada Aryo, kagum dengan ketenangan pria itu.
Aryo mengatur napas, memutar tubuh, menghindari pecahan botol yang melayang ke arahnya. Gerakan Aryo begitu cepat dan halus, laksana tarian maut. Tubuhnya menekuk, menunduk, lengan menangkis, dan dalam sekejap botol itu kembali diarahkan ke kepala lawan, menghantam dengan tepat. Botol pecah berserakan, serpihan kaca beterbangan, darah dari jidat lawan menetes ke lantai.
“Pergilah dari sini sebelum aku ubah wajahmu jadi lebih jelek dari sebelumnya,” Aryo menegaskan, suaranya dingin tapi tegas, menimbulkan aura kewibawaan yang memaksa.
“Kau yang harus pergi!” bentak si pengganggu, suaranya menggema di seluruh lantai, “Ini wilayahku! Klub ini markasku!”
Aryo tersenyum tipis. “Hei, aku cuma pengunjung yang ingin minum tenang bersama tunanganku dan temannya.”
Thania menahan tawa, menepuk pundak Meliana. “Lihat sendiri, dia benar-benar berani. Tak satu pun raut takut di wajahnya.”
Meliana menutup wajahnya dengan tangan, setengah malu, setengah takut. Ia tidak tahu harus bereaksi bagaimana, rasa panik bercampur kagum.
Si pengganggu bangkit dan menyeruduk Aryo dengan brutal, menabrak meja bar hingga gelas dan botol jatuh berserakan, pecah berderak. Namun Aryo tetap tenang. Ia menyikut punggung lawan, membuatnya tertekuk lutut, lalu menendang dengan tenaga penuh hingga laki-laki itu tersungkur di lantai.
“Jadi, siapa sekarang yang banci? Siapa yang butuh senjata untuk lawan orang kosong tangan?” ejek Aryo sambil menepuk-nepuk tangannya.
Si pengganggu tetap tak bangun. Aryo menoleh pada Thania dan Meliana. “Ayo kita pergi,” katanya. Mereka melangkah ke pintu keluar, tapi bayangan lain menghadang.
Seorang pria botak, kekar, bahunya selebar pintu, berdiri tegap dengan ekspresi dingin.
“Ya, hajar dia, Charles!” teriak si pengganggu, entah bagaimana sudah bangkit lagi.
“Tak bisa kau pergi begitu saja,” kata Charles dengan suara berat, menimbulkan getaran di lantai.
Aryo menatap Thania dan Meliana. “Cari tempat aman sekarang,” katanya sambil meremas buku tangannya hingga terdengar bunyi keras.
Charles menghentakkan kaki, menyeruduk seperti banteng yang marah. Aryo tersenyum tipis, membokongi tubuhnya, mengejek serangan lawan. Derap kaki Charles bergema ke seluruh lantai, membuat beberapa pengunjung mundur. Namun Aryo bergerak mulus, menghindari setiap serangan, seolah waktu melambat untuknya.
---
Di ruang monitor Nirwana Club, beberapa lantai di atas, suasana juga tegang.
“Anak buahmu bikin ulah lagi, Armai Codet,” kata seorang pria berpakaian jas putih, menatap layar CCTV dengan tatapan tajam.
Armai mengangguk. “Itu Tendi lagi, Bos. Selalu begitu kalau sudah minum.”
“Sekarang Charles ikut campur. Segera hitung kerusakan meja dan botol,” perintah Gaston dengan nada dingin, matanya tidak lepas dari layar.
Anak buah segera mencatat kerusakan, namun mata Armai tertuju pada Aryo. Gerakan Aryo begitu halus, tepat, namun mematikan—seperti tarian strategi yang sudah diperhitungkan.
“Bos… gerakannya… mirip seseorang yang aku kenal,” bisik Armai cemas.
Gaston menyalakan rokok, menghembuskan asap ke wajah Armai. “Aku tahu.”
“Siapa dia, Bos?” tanya Armai, panik.
“Dia abangku,” jawab Gaston dingin, tanpa menyebut nama Aryo, matanya tetap fokus di layar.
Anak buah Armai pucat, saling pandang dengan ketakutan. Mereka ingat betapa mudahnya Gaston menghajar mereka dulu.
---
Kembali ke lantai dansa, pertarungan Aryo berlanjut.
Meliana menatap Aryo dari kejauhan, napasnya tercekat di tenggorokan. Jantungnya berdegup kencang, hampir seperti ingin meloncat keluar dari dada. Ia menahan tangan di mulutnya, sementara matanya tak bisa lepas dari setiap gerakan Aryo. Tubuh Aryo bergerak dengan ritme luar biasa: setiap langkahnya, setiap putaran tubuhnya, setiap tendangan yang melayang, semuanya tampak seperti tarian yang dipenuhi presisi dan ketenangan yang menakutkan sekaligus memukau. Peluh tipis mengilap di kening Aryo, namun wajahnya tetap dingin, matanya fokus, seolah seluruh dunia hanya ada di lantai dansa itu dan lawannya saja.
“Tunanganmu hebat juga, ya…” Thania meneguk birnya perlahan, suaranya lembut tapi tak bisa menutupi kekaguman. Ia mencondongkan badan ke arah Meliana, matanya tak lepas dari Aryo. “Aku nggak nyangka dia bisa begitu lincah, begitu kuat, dan tetap terlihat tenang di tengah kekacauan.”
Meliana cepat-cepat menarik napas panjang, wajahnya memerah. “Bukan tunanganku!” sahutnya cepat, suaranya sedikit panik. “Kan sudah batal! Jadi jangan ngomong begitu!”
Thania terkekeh, menutup mulutnya sebentar untuk menahan tawa, tapi matanya tetap menatap Aryo. “Hahaha, iya sih, tapi lihat sendiri dong. Dia gagah banget. Setiap gerakan itu… aduh, aku penasaran sehebat apa dia…” godanya, sambil menyenggol bahu Meliana lembut, membuat pipi Meliana semakin memerah.
“Hei!” Meliana spontan mencubit paha Thania, setengah kesal, setengah malu. “Ini serius, Thania! Jangan bicara begitu di saat-saat genting seperti ini!”
“Ya biar suasana nggak terlalu tegang saja,” balas Thania sambil tersenyum, matanya berkilau dan terdengar tawa kecil yang bergetar ringan. Ia menyesap minumannya, tapi pandangannya masih terpaku pada Aryo yang tengah menghadapi Charles dan Tendi.
Aryo menghindar dari serangan kedua lawan itu dengan cekatan. Charles menyeruduk, lalu meninju; Tendi mengayunkan botol pecah ke arah kepala Aryo. Meski kedua lawannya sudah babak belur, Aryo tetap tangguh, setiap gerakan diulang dengan presisi: menghindar, menyiku, menendang, menyamping, dan memutar tubuh. Beberapa pengunjung mulai bertaruh, mengedepankan suara berbisik di antara mereka, sebagian lain mengeluarkan ponsel untuk merekam video pertarungan. Petugas keamanan di sekitar hanya menonton, tak berani campur tangan, mengikuti instruksi dari lantai atas.
Aryo memutar tubuh dengan mulus, menyenggol kepala Charles dengan siku tajam. Charles terlempar menabrak dinding dengan suara “bentur!” yang memekakkan telinga, namun dia tetap bangkit, menatap Aryo dengan mata merah karena marah, siap menyerang lagi.
Tendi, yang sempat mundur beberapa langkah, meraih botol bir dari meja yang patah, hendak memecahkannya ke kepala Aryo. Dengan refleks cepat, Aryo menendang botol itu dengan tepat, membuatnya melayang ke udara lalu menghantam jidat Tendi sendiri. Tendi tersentak, tubuhnya terjengkang jatuh ke lantai, kaca pecah berserakan, darah menetes di sisi bibirnya.
“Persetan dengan kalian semua,” gerutu Aryo dingin, suaranya menggema di antara dentuman musik. Matanya menatap Charles yang masih berdiri tegap, napasnya pendek, tubuhnya gemetar menahan sakit, lalu Aryo menunduk sebentar, mengumpulkan tenaga.
Dengan lompatan tinggi yang elegan, Aryo memutar tubuh di udara, tendangan memutar dilepaskan dengan presisi sempurna ke arah Charles. Tubuh Charles melayang sesaat, kemudian menabrak meja bar yang penuh gelas dan botol pecah. Sorak penonton pecah di sekeliling arena pertarungan, beberapa melompat kegirangan, beberapa mengangkat ponsel untuk merekam setiap momen, sementara yang lain hanya menahan napas dengan mata terbelalak.
Tiba-tiba, suara keras dari speaker terdengar, membelah dentuman musik:
“Hentikan! Hentikan kekonyolan ini!”
Lampu sorot menyorot arena pertarungan, membuat semua orang menahan napas. Percikan kaca pecah, botol-botol yang hancur, dan darah yang menetes di lantai semakin menegaskan betapa sengitnya pertarungan itu. Meliana menatap Aryo dengan campuran kagum dan takut, sementara Thania tersenyum kecil, matanya tetap bersinar kagum melihat ketangguhan Aryo.
Setiap gerakan Aryo tampak seperti koreografi yang telah terlatih bertahun-tahun. Tubuhnya yang tegap menangkis, menyerang, dan menunduk dengan sempurna, membuat lawan yang tinggi besar dan berotot itu tampak lemah di hadapannya. Sorak penonton yang bertaruh di antara kursi mereka terdengar bersahut-sahutan, menambah intensitas suasana. Bahkan beberapa pengunjung tampak menahan napas karena takut Aryo terluka atau lawannya bisa membalas dengan fatal.
Meliana menelan ludah, memeluk erat tangannya sendiri, merasa jantungnya seakan berhenti setiap kali Aryo melesat ke arah lawan dengan tendangan atau pukulan. “Astaga… dia benar-benar… luar biasa,” desisnya lirih pada diri sendiri.
Thania menepuk pundak Meliana sambil menahan tawa kecil. “Aku bilang kan, hebat banget. Dan lihat sendiri, dia masih bersih, bajunya sedikit sobek tapi tidak cedera serius. Aku penasaran banget… bagaimana kalau di tempat lain, kalau tanpa tekanan lawan, pasti lebih menakjubkan lagi.”
Aryo melompat lagi, menyerang dengan pukulan cepat ke arah Charles yang mencoba bangkit. Charles terjengkang, tubuhnya terhuyung, botol pecah beterbangan. Tangan Aryo tetap siaga, matanya fokus, tubuhnya terus bergerak seperti bayangan, cepat dan tepat.
Sorak penonton semakin ramai, lampu sorot semakin terang. Musik berdentum, dentingan botol pecah, teriakan, sorakan—semua bercampur menjadi satu, menciptakan atmosfer tegang namun memukau. Aryo menatap lawan terakhirnya, napasnya teratur, tubuhnya siap menghadapi setiap serangan, menunggu momen yang tepat untuk memberikan pukulan pamungkas…
Bersambung…