Alvan hanyalah seorang anak petani yang baru lulus kuliah.
Hidup sederhana di desa, membantu orang tuanya di sawah sambil mencari arah hidup yang belum pasti.
Satu kalimat dari gurunya dulu selalu terngiang:
“Nak, ibu sarankan kamu lanjut kuliah"
Namun dunia Alvan berubah bukan karena gelar tinggi, melainkan karena satu tindakan kecil, menolong seorang anak yang terjatuh di sawah.
Ding!
[Sistem berhasil terikat]
Sejak hari itu, kehidupannya tak lagi sama.
Setiap kebaikan kecil memberinya “misi,” setiap tindakan membawa “hadiah”
dan setiap bibit yang ia tanam… bisa muncul nyata di hadapannya.
Namun, seiring waktu berjalan, Alvan menyadari sesuatu, bahwa selain hal-hal baik yang ia dapatkan, hal-hal buruk pun perlahan mulai menghampiri dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Quesi_Nue, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 - Musuh
Di sebuah ruangan mewah berlapis marmer dan dinding kaca yang memantulkan cahaya sore, suasana tegang menggantung.
Beberapa pria berbaju hitam berlutut, kepala mereka menunduk dalam - dalam di hadapan seorang pemuda berjas abu tua.
Pria muda itu menghentakkan tongkat golf ke lantai marmer.
PLAK!
suara kerasnya memantul ke seluruh ruangan.
“Sialan, Sialan, Sialan!” serunya dengan mata tajam menatap para bawahannya.
“Kalian ini gimana sih?! Tinggal nabrak doang aja gak bisa! Mobil itu harganya dua puluh miliar, paham?! Dua puluh miliar! Sekarang rusak parah dan orangnya masih hidup! Gimana gue harus jelasin ke ayah!?”
Salah satu anak buahnya gemetar, mencoba menjawab,
“Ma-maaf, bos… kami nggak nyangka ada orang yang punya refleks secepat itu, kami kira ber-
“Hentikan ocehan gak berguna kalian itu!” potong si pemuda, suaranya menggema.
“Kalau gak becus, jangan salahkan orang lain! "Sudah kalian bertiga keluar. Kembali ke tugas kalian masing-masing, seperti yang diperintahkan ayah.”
Mereka serentak menunduk lebih dalam, lalu bergegas keluar dengan langkah gugup.
Saat pintu ruangan tertutup rapat dan langkah para bawahannya sudah tak terdengar lagi, pria muda itu mengepalkan tangan di sisi meja marmernya.
Ia menatap pantulan dirinya di kaca besar dengan wajah kesal, lalu menggeram pelan,
“Sialan… untung saja belum ada laporan dari tim pengintai bahwa mereka menyadarinya.”
Ia merapikan jasnya yang sedikit kusut karena amarah barusan, lalu berjalan pelan menuju jendela besar yang menampilkan pemandangan kota dari lantai atas gedung.
Tatapannya kosong, namun di baliknya ada kegelisahan yang sulit disembunyikan.
Layar ponsel di meja bergetar pelan menampilkan pesan baru dari kontak bernama [Tim Pengintai - Sektor Timur].
Ponsel di meja itu terus bergetar pelan. Pria muda itu meraihnya dengan satu tangan dan membaca pesan yang baru masuk:
[Tim Pengintai - Sektor Timur] :
Aman bos, tidak ada pemeriksaan di perjalanan. Sepertinya mereka menganggap ini kecelakaan biasa.
Ia menarik napas panjang, lalu menjatuhkan diri ke kursi kulit hitam di belakang meja.
Matanya memejam sejenak, berusaha menenangkan diri.
“Kecelakaan biasa, huh…” ucapnya pelan sambil mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya.
“Bagus. Selama mereka belum tahu siapa di baliknya, semuanya masih di bawah kendali.”
Ia membuka ponselnya kembali, menulis pesan balasan singkat:
[Bos]:
Tetap awasi lokasi. Kalau ada yang mencurigakan, kabari dulu sebelum ambil tindakan. Jangan buat kesalahan lagi.
Setelah menekan tombol kirim, pria muda itu menatap keluar jendela, melihat langit senja yang mulai memerah.
—————
Sementara itu, di sisi lain kota, Alvan menatap layar ponsel nya yang menampilkan dua petak ladang dengan ikon kecil wortel di atasnya.
Timer panen muncul kembali di atas tanaman,
[Waktu Panen: 00:00:10]
[Kualitas Tanah: Baik]
[Cuaca Virtual: Cerah]
“Delapan… tujuh… enam…” hitungnya pelan sambil menunggu waktu panen.
Udara pagi yang masuk dari jendela terasa segar, tapi pikirannya justru sibuk dengan game di tangan nya.
[Ding!]
[Wortel 200gr × 2 berhasil dipanen!]
[Diamond +2 × 2 diterima!]
Alvan tersenyum kecil. “Lumayan. Pelan-pelan juga bisa jadi banyak.”
Tanpa berpikir panjang, ia mengetuk ikon toko bibit di sudut layar. Logo jagung berputar sebentar sebelum daftar bibit muncul kembali.
[Toko Bibit]
[Wortel x2 – 1 Diamond]
[Kentang x2 – 4 Diamond]
[Terkunci – Terbuka di Level 1]
[Terkunci – Terbuka di Level 2]
[Belum Tersedia]
“Hmm… Ganti dengan kentang ga ya? Sekalian aja deh, lagian pas juga jumlah diamond nya.. ” gumamnya.
Ia menekan tombol beli pada bibit kentang.
[Ding!]
[Bibit Kentang ×2 berhasil dibeli!]
[Silakan cek di inventory Anda.]
Tanpa mengecek lagi, Alvan langsung mengetuk petak tanah dan menanam bibit kentang itu.
Tampilan di layar berubah menampilkan informasi baru:
[Waktu Panen: 00:10:00]
[Kualitas Tanah: Baik]
[Cuaca Virtual: Cerah]
Alvan kembali meletakkan ponselnya di meja, menatap layar yang menampilkan ladang virtual dengan dua bibit kentang kecil tertanam rapi.
“Lima menit, huh…” gumamnya pelan sambil menyandarkan tubuh ke kursi kayu. Ia melirik ke arah jam dinding yang berdetak pelan, lalu menarik napas panjang.
Pikirannya mulai melayang, membayangkan hasil panen yang melimpah di inventory, toko bibit yang makin luas, dan uang yang di e-wallet bertambah banyak.
“Kalau kayak gini terus, bisa bisa aja aku jadi juragan sayur hehe,” ucapnya sambil tersenyum kecil dengan nada bercanda.
Sambil menunggu waktu panen, ia membuka notifikasi lain di layar.
Beberapa pesan masuk, termasuk dari nomor baru di simpan nya yaitu Sisi Fira.
“Kak, udah nyampe rumah belum? Makasih ya buat tadi udah nolongin.”
Alvan membaca pesan itu sebentar. Matanya melembut, tapi ia hanya menjawab singkat
“Iya udah sampe barusan banget, kamu juga hati-hati sekali lagi ya kalo lagi jalan." Tulis Alvan di bagian chat nya.
Setelah itu, ia kembali membuka dan menatap layar game sebentar, bar indikator waktu panen masih menunjukkan 4 menit 12 detik.
“Yah, sabar dulu deh aj deh, haus juga ini,” katanya sambil menaruh ponsel di meja, lalu berdiri untuk mengambil minum.
Alvan yang baru saja meneguk segelas air dingin mendengar bunyi notifikasi lagi dari ponselnya.
[Ding!]
[Pesan baru - Sisi Fira]
“Kak, jangan lupa ya paperbag nya di buka, ada hadiah khusus buat kakak ^_^ "
Alvan menatap layar itu sebentar, lalu mengarahkan pandangannya ke paperbag besar berwarna pink yang masih tergantung di stang motor dekat pintu.
“Oh iya... paperbag nya belum aku buka ya,” gumamnya sambil berjalan mendekat ke arah motor.
Ia mengambil paperbag itu dan membawanya ke meja.
Dari luar saja, aromanya samar tapi wangi entah parfum, atau kue.
Ia membuka dengan hati-hati, dan di dalamnya terlihat kotak kecil berwarna biru muda, serta selembar kertas bertulisan beraroma bunga di atasnya.
Di selembar kertas itu tertulis dengan huruf rapi,
“Sebagai tanda terima kasih karena udah nolong aku hari ini.”
Alvan terdiam sesaat, menatap tulisan itu tanpa tahu harus bereaksi seperti apa.
Di dalam dadanya ada sesuatu yang hangat, tapi samar, perasaan yang belum bisa ia definisikan.
"Hadiah, ya..?” ucapnya pelan, membuka kotak kecil itu dengan perlahan.