Amorfati sebuah kisah tragis tentang takdir, balas dendam, dan pengorbanan jiwa
Valora dihancurkan oleh orang yang seharusnya menjadi keluarga. Dinodai oleh sepupunya sendiri, kehilangan bayinya yang baru lahir karena ilmu hitam dari ibu sang pelaku. Namun dari reruntuhan luka, ia tidak hanya bertahan—ia berubah. Valora bersekutu dengan keluarganya dan keluarga kekasihnya untuk merencanakan pembalasan yang tak hanya berdarah, tapi juga melibatkan kekuatan gaib yang jauh lebih dalam dari dendam
Namun kenyataan lebih mengerikan terungkap jiwa sang anak tidak mati, melainkan dikurung oleh kekuatan hitam. Valora, yang menyimpan dua jiwa dalam tubuhnya, bertemu dengan seorang wanita yang kehilangan jiwanya akibat kecemburuan saudari kandungnya
Kini Valora tak lagi ada. Ia menjadi Kiran dan Auliandra. Dalam tubuh dan takdir yang baru, mereka harus menghadapi kekuata hitam yang belum berakhir, di dunia di mana cinta, kebencian, dan pengorbanan menyatu dalam bayangan takdir bernama Amorfati
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Varesta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Makan Malam
🦋
Namun pintu itu tak hanya membuka peluang… tapi juga memanggil kembali masa lalu.
Pintu restoran terbuka.
"Maaf kami terlambat, penerbangan sedikit terganggu."
Shara membeku.
Lucas. Dan di sampingnya, Yenna.
Darahnya dingin.
Auliandra berdiri menyambut, senyum tipisnya seperti tuan rumah yang tak tahu badai apa yang baru ia undang masuk.
"Tak masalah, Tuan Lucas, Nyonya Yenna. Kami juga baru tiba."
Lucas—kakak Valora. Yenna—wanita yang dulu selalu menatap Shara seperti ancaman berjalan. Mereka tak seharusnya ada di sini.
Shara berdiri, memaksa tangannya terulur. Jemarinya bergetar halus, dingin seperti logam.
"Se-selamat malam."
Lucas menatap sebentar, lalu tersenyum samar. "Jangan terlalu gugup. Saya tak makan daging manusia."
Nada bercandanya ringan, tapi setiap kata terasa seperti pisau yang digelincirkan di permukaan kulit.
Mereka duduk. Di meja bundar, hanya tersisa satu kursi kosong.
Lalu suara langkah sepatu terdengar, mantap dan terukur. Seorang pria tinggi dengan blazer peach senada gaun Auliandra melangkah masuk. Kacamata hitam, senyum yang nyaris terlalu manis, dan tatapan yang menyapu ruangan seperti milik panggung.
"Selamat malam semuanya. Semoga saya tak terlambat."
"Silakan duduk," ujar Auliandra, menepuk kursi di sampingnya.
Pelayan menuang wine, sementara Auliandra memulai perkenalan.
"Nyonya Shara, ini Tuan Lucas Kivandra Majesty, CEO Majesty Grup. Istrinya, Nyonya Yennatha Lavanya Majesty, pemilik toko perhiasan terbesar di Singapura. Dan ini… Tuan Muda Jevano Xiever Atharel, CEO Atharel Grup."
Nama terakhir membuat Gavriel kaku. Jevano pria yang dulu menjadi bayang-bayang penghalang cintanya dengan Valora. Apa yang dia lakukan di sini? Bukankah dia masih di Amerika?
Shara menggenggam tangan Gavriel di bawah meja, genggamannya kaku. Ia tahu satu kata salah bisa menutup seluruh masa depannya.
"Perkenalkan saya Gavriel Askara Wardana, calon penerus dari perusahaan Wardana Grup. Dan ini ibu saya Nyonya Shara Patrania Wardana putri sulung dari Tuan Wardana" Ucap Gavriel memperkenalkan dirinya dan ibunya
Lucas menatap Gavriel. Tenang, nyaris netral tapi bagi Gavriel, itu tatapan yang menguliti rasa bersalah yang ia pendam lima tahun.Tatapan Lucas malah membuat Gavriel semakin merasa bersalah, karna ke egoisan dirinya lah kedua keluarga ini bisa hancur dan bahkan tidak saling berkomunikasi selama lima tahun ini. Entah bagaimana caranya agar keluarga Majesty bisa memaafkannya
Suasana teralihkan ketika Yenna mengeluarkan sebuah kotak beludru biru.
"Untuk Anda, Nona Auliandra. Desain saya sendiri."
Kotak itu dibuka. Kalung sederhana dengan liontin ruby, merahnya berkilau di bawah lampu.
"Biar saya bantu," ucap Jevano, berdiri, jarinya sengaja menyentuh bahu Auliandra ketika memasangkan kalung itu. Sorot matanya sekilas mengarah pada Gavriel dan menangkap rahang yang mengeras, mata yang dipalingkan.
Lucas akhirnya berbicara. "Nona Auliandra… Anda sangat mirip adik bungsu saya."
"Benarkah? Kalau dia masih hidup, mungkin kalian tak akan bisa membedakan kami," jawab Auliandra, senyum kecilnya entah ditujukan untuk siapa.
Lucas tersenyum tipis, tapi tatapannya kembali ke Gavriel lama, dalam, dan penuh pesan yang tak diucapkan.
Malam itu berakhir bukan dengan kemenangan, melainkan perang dingin yang baru dimulai. Shara terpaksa menyetujui kerja sama dengan Majesty Grup dan Atharel Grup. Menolak… sama saja bunuh diri.
Di dunia bisnis ini kita mencari keuntungan bukan kerugian, jadi pilahlah rekan kerjamu dengan baik jika tidak menguntungkan jangan bekerjasama
***
Gavriel memasuki kamarnya ia melepas blazer dan bajunya dan hanya menyisakan celananya saja, meletakan baju dan blazernya di keranjang baju kotor yang terletak di pojok kamar dan besok pelayan akan mencucinya
"Andai kau masih hidup sayang, pasti sekarang aku sedang bercanda gurau denganmu dan anak kita."
"Rasanya sangat malas untuk pulang karna tidak ada lagi yang menunggu kepulanganku."
"Kebiasaanmu yang tidak tidur jika aku belum pulang selalu membuatku mengingatmu ketika memasuki kamar kita, kebiasaanmu yang tidak makan jika aku tidak makan membuatku selalu mengingatmu ketika aku makan. Kebiasaanmu yang selalu menghadangku untuk pergi jika tidak menciummu membuatku selalu ingat denganmu ketika ingin keluar rumah" ucap Gavriel berjalan menuju foto Valora, ia mengambilnya dan terus menatap wanita manis yang ada di foto itu.
"Sayang... Tidak ada lagi yang menyisir rambutku, mengeringkan rambut dan tubuhku, memakaikanku baju, yang melarangku minum alkohol, yang menemaniku bepergian di malam hari dan yang selalu memelukku ketika aku butuh kehangatan"
Air mata Gavriel sudah berjatuhan, mengingat Valora dan kenangan manis mereka membuat Gavriel tak pernah bisa melupakan Valora walau hanya sejenak. Memejamkan mata adalah hal yang paling Gavriel tunggu-tunggu.
*Mimpi*
Langkah kaki Gavriel terhenti di depan pintu, jemarinya masih terhuyung di udara, nyaris mengetuk, tapi hatinya terlalu berisik untuk memutuskan.
Dari celah pintu yang terbuka sedikit, ia melihat Valora duduk di tepi ranjang, tubuhnya membungkuk, kedua tangannya mencengkeram kain gaun di pangkuannya. Bahunya bergetar.
Bukan tangisan keras.
Bukan pula isak yang meminta belas kasih.
Ini… suara retak yang teredam, seperti kaca yang pecah di dalam dada seseorang.
"Valora…" suara Gavriel akhirnya lolos, namun hanya seberkas napas.
Gadis itu tak menoleh. Ia mengusap pipinya cepat, seolah ingin menghapus bukti bahwa ia pernah rapuh di hadapan dunia.
"Aku… tidak ingin melihatmu hancur begini." Gavriel melangkah masuk, suaranya seperti menahan sesuatu yang hendak meledak. "Jevano bukan satu-satunya jalanmu untuk bahagia."
Valora tersenyum tipis, senyum yang sama sekali tidak menyentuh matanya. "Kau pikir aku tidak tahu? Tapi aku juga tidak bisa berpura-pura, Gav… aku tidak bisa menghapus dia begitu saja."
Kata-kata itu menghantam Gavriel lebih keras dari yang ia perkirakan.
Ia menatap Valora lama, seperti ingin menahan semua kata yang menuntut keluar. Tapi yang terdengar justru nada yang nyaris berbisik, nyaris berdoa,
"Kalau saja… kau mengizinkanku, aku akan menjadi orang itu untukmu. Orang yang tidak akan pernah meninggalkanmu, meski dunia ini bersekongkol untuk menjatuhkanmu."
Valora terdiam.
Matanya perlahan mengangkat, bertemu tatapan Gavriel yang begitu pekat. Ada sesuatu di sana—campuran rasa takut, cinta, dan… luka yang terlalu dalam untuk diobati kata-kata.
Namun sebelum ia sempat menjawab, langkah cepat di luar kamar memecah momen itu. Suara ketukan keras di pintu terdengar, diiringi teriakan,
"Gavriel! Kakek memanggilmu. Sekarang."
Gavriel menoleh cepat, lalu kembali menatap Valora. Ada janji yang tak terucap di antara mereka.
Namun ia tahu, begitu ia melangkah keluar pintu ini, semua bisa berubah.
***
Auliandra memasuki apartementnya dengan wajah tanpa ekpresi berbeda dengan Auliandra yang kita lihat biasanya yang selalu menampakan wajahnya yang ceria dan anggun walau tidak terlalu ramah tapi kali ini tatapannya terlihat kosong
"Apa kau tidak tau jam?"
"Sudah jam berapa ini! Mana ada pria yang mengunjungi wanita di tengah malam seperti ini. Pulanglah, aku ingin tidur" ucap Auliandra melewati pria tampan yang duduk di sofa apartmentnya.
Pria itu tidak menjawab namun ia mengikuti Auliandra sampai masuk kedalam kamar Auliandra dan kembali duduk di sofa yang ada di kamar Auliandra.
30 menit telah berlalu, Auliandra keluar dari walk in closet yang langsung terhubung dengan kamar mandinya.
Auliandra keluar dengan menggunakan baju tidur dan dengan wajah yang segar. Auliandra mengabaikan pria itu dan langsung masuk ke selimutnya untuk langsung tidur. Pria itu bangkit dari duduknya mendekati Auliandra lalu menggendong Auliandra ala bridal style.
"Edwin! apa yang kau lakukan!!" jerit Auliandra yang terkejut karna tiba-tiba di gendong
"Keringkan dulu rambutmu baru tidur" ucap Edwin yang mendudukan Auliandra di depan meja riasnya.
Dengan telaten Edwin mengeringkan rambut Auliandra sedangkan Auliandra susah payah menahan kantuknya yang berkali-kali menjatuhkan kepalanya lalu kembali kembali sadar saat Edwin menarik halus rambutnya.
"Selesai" lirih Edwin yang menarik tangan Auliandra untuk kembali kekasur dan kembali menidurkan Auliandra
Saat Auliandra sudah tertidur pulas, Edwin mengecup kening dan bibir Auliandra sedikit lama, ya hanya sedikit lama
"Good night my queen" bisik Edwin lalu berjalan keluar dari kamar Auliandra dan kembali duduk di sofa yang ia duduki tadi saat menunggu Auliandra
"Sudah puas?"
"Belum! untuk apa kau kemari?" tanya Edwin yang tidak suka dengan kehadiran pria lain di apartement Auliandra
"Untuk menemani Auliandra" ucap Jevano, sepertinya ia habis mandi jika dilihat dari rambutnya yang basah
"Kekasih Auliandra sudah datang, jadi pergilah!" usir Jevano
"Tidak akan!"
🦋To be continued...