Terkejut. Itulah yang dialami oleh gadis cantik nan jelita saat mengetahui jika dia bukan lagi berada di kamarnya. Bahkan sampai saat ini dia masih ingat, jika semalam dia tidur di kamarnya. Namun apa yang terjadi? Kedua matanya membulat sempurna saat dia terbangun di ruangan lain dengan gaun pengantin yang sudah melekat pada tubuh mungilnya.
Di culik?
Atau
Mimpi?
Yang dia cemaskan adalah dia merasakan sakit saat mencubit pipinya, memberitahukan jika saat ini dia tidak sedang bermimpi. Ini nyata!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ana_nanresje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28_Pelukan Hangat Sang Kakak
Meskipun isakannya tak lagi terdengar, namun buliran seperti kristal itu masih terjatuh dari iris matanya. Hidung dan matanya memerah karena terlalu lama menangis. Gelengan kecil di kepalanya membuat sang empu tangan kekar itu menghentikan aktivitasnya, berjalan sebentar lalu berjongkok untuk mensejajarkan tinggi tubuh mereka.
Tangannya bergerak pelan, menghapus jejak cairan asin yang masih basah " Maaf, kakak sudah membuatmu menderita seperti ini!" Aya menggelengkan kepala kuat. Bibir bagian bawahnya dia gigit berharap bisa meredam tangisan yang akan lolos dari mulutnya.
Azka segera membawa Aya kedalam pelukannya, mengecup pucuk kepalanya beberapa kali dan mengusap punggung Aya dengan lembut. Aya menumpahkan segala rasa yang saat ini dia rasakan. Rasa sesak di dadanya dia tumpahkan melalui air mata. Dan inilah titik lemah seorang Kanaya, tidak bisa menutupi semua rasa yang dia rasakan dari kakaknya.
" Jangan tinggalin Aya. Hiks. Aya nggak mau pisah sama kakak lagi. Hiks. Aya takut. Hiks. Dunia ini terlalu kejam untuk Aya. Hiks!" Azka mengurai pelukan itu, kedua tangannya dia gunakan untuk menangkup wajah Aya. Di tatapnya dalam-dalam mata Aya, tersirat penderitaan dan luka yang masih basah terlihat disana.
Ikut merasakan apa yang adiknya rasakan. Aya memanglah tak sekuat Raya. Adik kesayangannya ini terlalu rapuh dan lemah. Hatinya pun terlalu lembut untuk mereka lukai. Azka menyesali perbuatannya, namun semuanya sudah terlambat. Kepalang tanggung, semuanya harus tetap berjalan seperti rencana awal.
" Kakak tidak akan pergi kemana-mana. Kakak akan selalu berada di sampingmu!"
" Kak....." Aya menatap Azka, terbit sebuah lengkungan di sudut bibirnya tersenyum haru dengan derai air mata " Aya sangat bersyukur. Hiks. Aya sangat bahagia. Hiks. Aya mengira ini semua hanya mimpi. Hiks. Tapi, ini nyata. Hiks. Aya merasa lega kak. Hiks. Aya bahagia. Hiks!" Aya kembali menangis namun Azka membiarkannya. Menurutnya Aya berhak mengekspresikan perasaanya dengan apapun dia mau. Dengan menangis, mungkin setelahnya akan membuat dia merasa lega.
" Hatiku seperti diukir dengan jarum, sangat menyakitkan saat mengetahui kakak meninggalkan Aya. Seperti tidak ada harapan, Aya bertahan hidup dari belas kasihan dan rasa iba orang lain kak. Aya mencoba untuk bertahan, Aya mencoba untuk menerimanya dan Aya mencoba untuk mengikhlaskannya tapi dia membuang Aya. Apa ini yang kakak harapkan untuk Aya? Apa kakak ingin membunuh Aya secara perlahan? Kenapa kakak meminta Aya untuk menikah dengan pria yang sudah memiliki anak? Kenapa kak?!"
Pertanyaan bertubi tubi yang Aya layangkan membuat Azka terdiam. Dia sudah menduganya jika Aya akan bertanya seperti tadi. Mata teduhnya menatap pada sang adik. Ibu jarinya menghapus sisa air mata yang masih meninggalkan jejak di pipi Aya " Maafkan Ka-,"
" Kakak tidak perlu menjawabnya. Aku yakin kakak menginginkan yang terbaik untukku." Aya memotong perkataan Azka dengan cepat membuat pria itu tersenyum tipis kearahnya " Hanya satu pintuku kak, tolong jangan tinggalkan Aya lagi."
" Kakak tidak akan meninggalkanmu lagi. Kakak akan selalu berada di sisimu. Sudah cukup kamu menderita selama ini, dan kakak tidak akan membiarkan semua itu terjadi lagi."
" Aya,"
" Hem," Jawab Aya dengan gumaman.
" Apa Raya kembali?" Aya mengangguk membenarkan " Apa kakak boleh bertemu dengannya? Ada sesuatu yang harus kakak bicarakan dengannya. Apa boleh?" Tanya Azka meminta persetujuan.
Aya menganggukkan kepala " Tolong sampaikan ucapan terimakasih dari Aya karena dia selalu ada untuk Aya. Aya yang lemah ini selalu lari dari kenyataan dan membuat dia yang harus menghadapinya."
" Akan kakak sampaikan. Lebih baik kamu tidur sekarang, sudah malam." Aya menurut dia segera membaringkan tubuhnya di bantu sang kakak untuk menyelimuti tubuh mungilnya dengan selimut sebatas dada. Aya mulai memejamkan matanya dengan Azka yang masih setia menunggu adiknya itu terlelap.
" Tunggu," Cekalan di tangannya membuat langkahnya terhenti. Wanita itu mendengus lalu menghentakkan nya secara kasar.
" Mau apalagi huh? Apa kau belum puas melihat kami frustasi seperti ini? Karena dirimu kami kehilangan Aya Caramondy. Dan sekarang kau mencurigai ku atas hilangnya Aya? Cih. Kau bukan anak kecil, bagaimana bisa wanita sepertiku mengambil Aya darimu!"
" Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Awalnya saya kira kau hanya sebatas sahabat Aya tapi ternyata bukan. Siapa sebenarnya dirimu Vallen? Kenapa kau ikut campur dalam urusan keluarga saya?"
Vallen tertawa sumbang sebelum dia menyisir anak poninya yang jatuh. Ekspresi wajahnya berubah menjadi datar dengan mata yang menatap dingin pada Ramon " Kau bertanya siapa aku? Tidak penting. Bagiku kebahagiaan Aya nomor satu. Bukan sekedar sahabat, Aya adalah keluargaku. Kami hidup bersama melewati suka dan duka bersama pula. Kebahagiaan kami, ketenangan kami hancur seketika saat kau menculik Aya dari tanganku dan Rai. Kami sudah bahagia di negeri orang kenapa kau hadir dan menghancurkannya huh?"
" Dengar ini baik-baik Ramon. Sama halnya seperti Zain dan Mian, aku dan Rai pun tidak terima saat melihat Aya menderita karena pria bajingan sepertimu. Siapa dirimu huh yang sudah berani melukai sahabatku? Meskipun Azka memintamu untuk menikahi Aya tapi tidak seperti ini perlakuanmu padanya. Dia terlalu baik untuk pria bajingan sepertimu. Lepaskan Aya dan biarkan dia hidup dengan pria pilihannya sendiri."
Rahang Ramon mengetat saat Vallen mengatakan kalimat terakhirnya. Dia paham betul siapa pria yang dimaksud oleh Vallen. Rai, pria blasteran itulah yang dimaksud olehnya. Darah Ramon seperti mendidih saat semua orang memojokkannya untuk melepaskan Aya, terutama Vallen wanita yang diam-diam sering mengirim foto kedekatan Aya dan Rai. Wanita itu memintanya untuk melepaskan Aya untuk sahabat prianya.
" Jika kau takut Rai tidak bisa membahagiakan Aya maka perkiraanmu itu salah Ramon. Aya dan Rai saling mencintai, baik dulu maupun sekarang. Perasaan itu masih ada di hati mereka dan aku yakin Aya akan lebih bahagia hidup bersama Rai. Karena dia lebih pantas dibandingkan dengan dirimu!"
"CUKUP!" Vallen memejamkan matanya erat saat tangan itu terangkat dan melayang di udara. Menanti rasa sakit namun tak kunjung juga dia rasakan. Vallen membuka mata, yang dia lihat adalah sebuah punggung besar yang membelakanginya.
" Apa dengan menamparnya bisa membuat Aya kembali?" Suara bariton itu terdengar tidak asing di telinga Vallen. Entah dari mana Kavin datang, tapi pria itu menahan lengan Ramon di udara sebelum menyentuh pipi Vallen.
" See? Kau sangat ringan tangan. Kau benar-benar tidak pantas untuk Aya!" Vallen mencibir lalu pergi sebelum Ramon kembali mencekalnya.
Tangan Ramon yang menggantung di udara berubah menjadi sebuah kepalan yang kuat. Buku kukunya memutih dengan tonjolan urat pada bagian lengannya. Matanya memicing dengan rahang yang mengetat. Sekali hentakan tangan Kavin terlepas dari pergelangan tangannya.
" Sekali lagi ku ingatkan, jangan pernah ikut campur dengan urusan keluargaku!"
" Semuanya menjadi urusanku jika itu menyangkut Zahra. Kau tidak lupa bukan? Zahra masih berstatus istriku." Ramon tidak bisa mengelak, itu memang kebenarannya " Ini karma untukmu Ramon. Andai saja dulu kau tidak merebut Zahra dariku, mungkin semuanya tidak akan seperti ini. Tidak ada Aya yang terluka, tidak ada Aya yang diasingkan oleh suaminya sendiri. Dan mungkin hubungan kita masih bisa diselamatkan!"
" Kau masih mencintai Zahra? Ambilah dia masih istrimu bukan. Ambil!" Kavin tertawa sumbang, bahkan saking nyaringnya membuat beberapa orang yang berada di parkiran menoleh kearah mereka " Kau pikir aku Kavin yang dulu? Kau salah. Jika dulu aku mengharapkan Zahra untuk kembali padaku, maka tidak dengan sekarang. Hatiku sudah mati Ramon dan itu karena kalian . Kalian berdua harus bertanggung jawab untuk semua ini?!"
" Aku memiliki kabar gembira untukmu," Kavin menepuk bahu Ramon beberapa kali seolah olah ada debu disana " Aku akan menceraikan Zahra!"
Ramon terdiam dengan penuturan Kavin, matanya melirik pelan melihat Kavin yang tersenyum kearahnya " Aku sangat baik bukan? Merelakan istriku untuk kau nikahi. Aku tahu kau juga mencintainya, dan ini saatnya kau bisa menikahi dia!" Kavin semakin melebarkan senyumnya. Dia kembali menepuk bahu Ramon sebelum dia benar benar pergi.
Ekspresi Kavin berubah enjadi murung, dia mengakuinya jika dia adalah pria yang jahat dan tidak memiliki perasaan. Karena rasa dendamnya terlalu besar, jeritan hati kecilnya dia kesampingkan " Maafkan aku Aya, aku ikut andil merusak rumah tanggamu," ucapnya penuh penyesalan " Tinggalkan Ramon dan pergilah pada Rai, dia pria yang lebih pantas untukmu Kanaya!"