Rania Putri Handono kaget saat matanya terbuka dan berada di ruangan asing dan mewah. Lebih kaget lagi, di sampingnya terbaring dengan laki-laki asing dalam kondisi masing-masing polos tak berbusana.
Tak lama, pintu kamar dibuka paksa dari luar. Mahendra, suami Rania mendekat dan menampar pipi putih hingga meninggalkan bekas kemerahan.
Kejadian yang begitu cepat membuat Rania bingung.
Apakah rumah tanggganya selamat atau hancur?
Simak aja kisah ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moena Elsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
IGD (2)
Raditya duduk sembari memikirkan sesuatu. Apa mungkin anak yang dikandung Rania adalah anakku?
Bu Marmi keluar kembali setelah menyerahkan kantung darah yang diambilkan Beno tadi.
"Apa sudah siuman bu?" tanya Raditya.
"Belum" jawab singkat bu Marmi.
Mau bertanya lebih lanjut tapi takut menyinggung, bisa jadi malah berujung curiga.
"Oh ya bu. Saya pamit duluan. Kalau ada sesuatu, bisa hubungi nomor ini" kata Raditya. Dalam hati dia berharap bu Marmi akan menghubunginya suatu saat.
"Baik tuan Raditya. Terima kasih atas pertolongannya hari ini" bu Marmi beranjak dan menyalami Raditya.
Radit membangunkan Beno yang nyenyak tidurnya. Bahkan nyamuk-nyamuk di rumah sakit itu ikut senang karena mendapat suplai makanan yang lezat dari tubuh Beno.
"Beno, ayo balik" Raditya menggoyang tubuh Beno yang bagai kerbau kalau tidur. Sangat susah dibangunin.
"Siska sayang, cium dong" kata Beno mengigau sambil mulutnya bergerak-gerak membuat Raditya jengkel.
Radit memutar kran yang ada di dekatnya. Air dia taruh di telapak tangan, dan oleh Raditya diteteskan ke muka Beno.
"Hujan....hujan...."Beno tersadar dari tidur.
"Balik nggak? Kamar hotel menunggumu tuh" hardik Raditya dan meninggalkan Beno yang belum balik nyawa sepenuhnya.
"Eh...eh...tungguin" seru Beno dan berlari menyusul Raditya menuju parkiran rumah sakit.
.
Di hotel pun Raditya tak bisa memejamkan mata, memikirkan Rania.
"Semoga dia akan baik-baik saja" harap Raditya saat ini.
Hanya itu yang bisa Raditya lakukan, mendoakan Rania baik-baik saja. Untuk bilang ke bu Marmi, kalau dia adalah laki-laki yang bersama Rania malam itu. Raditya terlalu pengecut untuk mengakui semuanya.
Belum juga mata terpejam, ponsel berdering dari nomor tak dikenal.
Raditya menggeser ikon hijau di layar. Tak mungkin orang menghubungi di pagi menjelang subuh kalau itu tak penting.
"Maaf tuan Raditya, aku bu Marmi. Saya bingung musti ngabarin siapa. Rania harus operasi, karena salah satu bayinya tidak baik-baik saja" jelasnya di ujung telpon.
"Saya ke sana bu" ucap Raditya tanpa pikir panjang langsung bersiap balik rumah sakit.
Sampai di rumah sakit, "Apa yang terjadi?" tanya Raditya ke bu Marmi.
"Maaf tuan, apa anda suami nyonya Rania? Ada hal urgent yang harus aku sampaikan" bilang orang yang sepertinya dokter jaga itu.
Raditya memandang bu Marmi, bingung musti jawab apa.
"Iya dok, Tuan Raditya ini suami nyonya Rania" bu Marmi malah yang menjawab.
"Baiklah tuan, ikut saya" bilang sang dokter.
Raditya mengikuti langkah sang dokter.
"Maaf tuan, saya akan menjelaskan kondisi pasien yang sedang tidak baik-baik saja" kata dokter memulai pembicaraan.
"Iya dok" tukas Raditya.
"Begini, kehamilan kembar nyonya Rania lumayan beresiko. Selain anemia karena kurangnya konsumsi zat besi selama hamil, juga kondisi salah satu bayi tidak baik. Maka kehamilan ini harus segera diakhiri dengan melahirkan bayinya" jelas sang dokter.
"Apa nyonya Rania jarang periksa tuan?" tanya sang dokter membuatnya tergagap, bingung lagi musti jawab apa.
"Ini kondisi nyonya Rania kita perbaiki dulu dengan memberikan transfusi darah. Dan hasil konsutasi saya dengan dokter kandungan, nyonya Rania disarankan operasi secar dengan kondisi bayi masih prematur" lanjut penjelasan dokter itu.
"Bagaimana, apa anda menyetujui?" tanya dokter jaga.
"Kalau itu memang yang terbaik buat ibu dan bayi, lakukan saja dok" ucap Raditya menyetujui.
Apa yang kulakukan ini sudah benar, aku bukan siapa-siapanya Rania. Batin Raditya.
"Tapi sebelum dilakukan tindakan, bolehkah saya menemuinya dokter?" ijin Raditya.
"Oh ya, silahkan. Kebetulan nyonya Rania sudah siuman dari pingsan" kata dokter dengan ramah.
Deg...deg...deg...detak jantung Raditya terasa lebih cepat dari biasanya saat akan mendekat ke ranjang rumah sakit yang ditempati oleh Rania.
Rania menoleh lemah ketika merasakan kehadiran seseorang di dekatnya.
Matanya memicing memastikan siapa yang datang.
Raditya semakin mendekat...
"Ka...kamu......ngapain ke sini?" Rania bersembunyi di balik selimut setelah melihat siapa yang datang. Melihat penolakannya, dia pasti masih mengenalku. Batin Raditya.
"Ra...nia..." panggil Raditya terbata.
"Apa kabar?" lanjut Raditya tetap mendekat.
"Kalau kamu ke sini ingin mengolokku enyahlah..." kata Rania ketus.
Raditya terdiam. Bahkan kehadiranku pun tak diharapkan olehnya.
"Aku ke sini hanya ingin menyampaikan apa kata dokter, dan maafkan aku telah menyetujui semua" Raditya tetap saja berkata meski muka Rania masih bersembunyi di balik selimut.
Rania membuka selimutnya, "Lantas apa kamu akan memisahkan kami, setelah putra kembar ini lahir? Seperti yang dilakukan oleh mantan suamiku, yang seenaknya memisahkan aku dengan putra semata wayangku. Yang bahkan kini masih terbaring di ICU" derai air matanya tak lagi terbendung. Suara getir menambah miris suasana pagi itu.
"Tak akan kubiarkan tuan" selanya di isak tangis.
"Namaku Raditya" katanya memperkenalkan diri.
"Owh...aku tak perlu kenal denganmu" suara Rania sangat ketus didengar oleh Raditya.
Hatinya masih tertutup luka. Sangat sulit Rania menerima kenyataan kalau laki-laki yang ikut andil dalam kehancuran hidupnya, bahkan kini ada di depan mata.
Bahkan Rania tak menanyakan bagaimana Raditya bisa ada di tempat itu.
Bu Marmi datang di antara keduanya. Bu Marmi heran dengan tatapan dingin dan tak suka Rania akan kehadiran Raditya.
"Bu, usir saja laki-laki ini" bilang Rania.
"Taa...tapi" bu Marmi ragu.
"Nggak apa-apa bu Marmi. Aku akan keluar, kalau itu membuatnya tenang" ujar Raditya.
Dokter kandungan datang tergopoh menghampiri mereka diikuti oleh perawat jaga di IGD. Rania belum dipindah ke ruangan, karena kondisi yang belum stabil.
"Selamat pagi tuan, nyonya. Saya dokter Alex, dokter kandungan yang akan menjadi dokter penanggung jawab anda selama perawatan di sini" terangnya dengan ramah.
"Saya sudah menerima laporan dari dokter jaga, maka saya akan memastikan kondisi anda dan juga janin kembar ini" ujarnya.
Rania memandang Raditya, dengan kode meminta Raditya keluar. Kakinya mulai melangkah memenuhi permintaan Rania.
Tapi kata-kata dokter Alex menghambatnya.
"Owh, jangan keluar tuan. Apa tuan tidak ingin tahu kondisi kedua putra anda?" bilangnya.
Kaki Raditya pun berhenti.
"Silahkan mendekat tuan" kata sang dokter. Mata Rania mendelik ke arah Raditya.
Dokter Alex yang melihat interaksi keduanya, malah terbahak.
"Apa selama hamil tuan selalu ditolak oleh istri anda? Sabar aja tuan. Bisa jadi itu bawaan orok yang di dalam" canda dokter Alex agar cair suasana.
Raditya pun tersenyum kecut. Rania hamil saja dia tidak tahu. Laki macam apaan.
Dokter Alex mulai menggerakkan probe USG yang sudah menyala itu. Dengan tatapan fokus lurus ke arah monitor.
Raditya yang melihat gambar hitam putih dan ada pergerakan itu pun merasakan takjub. Meski dia sendiri nggak paham sebelum dijelaskan oleh dokter kandungan itu.
🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻
To be continued
aku dulu ngidam gak gitu amat