:"Ya Allah, kalau Engkau tidak mengirimkan jodoh perjaka pada hamba, Duda juga nggak apa-apa ya, Allah. Asalkan dia ganteng, kaya, anak tunggal ...."
"Ngelunjak!"
Monica Pratiwi, gadis di ujung usia dua puluh tahunan merasa frustasi karena belum juga menikah. Dituntut menikah karena usianya yang menjelang expired, dan adiknya ngebet mau nikah dengan pacarnya. Keluarga yang masih percaya dengan mitos kalau kakak perempuan dilangkahi adik perempuannya, bisa jadi jomblo seumur hidup. Gara-gara itu, Monica Pratiwi terjebak dengan Duda tanpa anak yang merupakan atasannya. Monica menjalani kehidupan saling menguntungkan dengan duren sawit, alias, Duda keren sarang duit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Monica , isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22
Udara Jakarta pagi itu terasa berat, mencekam. Bayangan matahari pagi yang masih samar-samar tak mampu menembus kegelapan yang menyelimuti apartemen Adrian. Suasana tegang, dipenuhi oleh beban tanggung jawab yang tak terkatakan, memenuhi setiap sudut ruangan. Teddy berdiri tegak di depan cermin, mengenakan jaket hitam yang seolah menjadi perisai bagi keraguan yang menggerogoti hatinya. Refleksinya di cermin menampilkan seorang pria yang tegar, namun matanya menyimpan bayangan keraguan yang mendalam. Ia memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam-dalam, sebelum akhirnya berucap lirih, suaranya nyaris tak terdengar di tengah keheningan yang mencekam, "Aku harus pergi sendiri."
Monica, yang bersandar di ambang pintu, wajahnya pucat pasi dipenuhi kecemasan yang amat sangat, menanggapi dengan suara yang sedikit gemetar. "Kalau kamu pergi tanpa pengamanan, mereka bisa saja menghilangkanmu. Atau memutarbalikkan semua yang sudah kita usahakan selama ini. Semua pengorbanan Nadira, semua usaha kita, bisa menjadi sia-sia." Kekhawatirannya tergambar jelas di setiap garis wajahnya, setiap helaan napasnya.
Teddy menoleh, tatapannya bertemu dengan mata Monica, penuh dengan pengertian dan sebuah tekad yang tak tergoyahkan. "Aku tahu. Tapi kalau aku nggak ke sana, Livia akan mereka eksploitasi lebih dalam. Dia bukan cuma kunci untuk mengungkap kebenaran, Mon. Dia korban kedua dari sistem yang selama ini kita coba bongkar. Kita harus menyelamatkannya." Suaranya terdengar mantap, meskipun di baliknya tersimpan kekhawatiran yang sama besarnya.
Saat itu juga, Adrian memasuki ruangan, membawa ponselnya. "Aku dapat alamat lokasi pertemuan dari trace sinyal terakhir. Gudang kosong di Cakung. Tempat yang terpencil dan berbahaya. Tapi kita nggak bisa biarkan kamu masuk sendirian, Teddy. Ini terlalu beresiko." Wajah Adrian menunjukkan kekhawatiran yang sama, namun ia tetap berusaha untuk bersikap tenang dan memberikan dukungan.
Teddy menatap Adrian dan Monica bergantian, matanya memancarkan tekad yang kuat. "Kalian bisa bantu dari luar. Pantau situasi, siapkan jalur evakuasi. Tapi di dalam, aku sendiri. Ini urusan yang harus aku selesaikan… bukan sebagai bagian dari tim, bukan sebagai seorang pengacara, tapi sebagai manusia. Sebagai seorang dokter yang pernah bersumpah untuk melindungi nyawa manusia." Ia mengakhiri kalimatnya dengan nada yang tegas, penuh keyakinan.
Dua jam kemudian, Teddy berdiri di depan gudang tua yang tampak menyeramkan, dikelilingi pagar seng yang berkarat dan reruntuhan bangunan yang seakan menjadi saksi bisu dari berbagai kejahatan yang pernah terjadi di tempat itu. Udara terasa pengap, lembap, dan dipenuhi oleh bau tanah yang basah dan aroma logam berkarat. Di dalam gudang, cahaya redup dari lampu gantung yang nyaris padam menerangi sosok Livia—duduk di kursi tua yang usang, rambutnya kusut dan acak-acakan, matanya kosong nan hampa, namun sesekali melirik tajam ke arah Teddy. Sebuah pemandangan yang menyayat hati.
Di sisi lain ruangan, seorang pria bertubuh tegap bersandar dengan santai di dinding, senyum sinis terpatri di wajahnya. "Akhirnya datang juga, Dokter Pahlawan," ucapnya dengan nada mengejek, penuh dengan penghinaan.
Teddy melangkah perlahan, setiap langkahnya diiringi oleh debaran jantung yang semakin cepat. "Lepaskan dia," perintahnya dengan suara yang tenang namun tegas, berusaha menyembunyikan kegugupan yang mulai merasukinya.
Pria itu terkekeh, suaranya menggema di ruangan yang sunyi, "Oh, dia di sini karena dia juga ingin bicara. Bukankah begitu, Livia?" Ia menatap Livia dengan tatapan yang penuh ancaman.
Livia menggerakkan kepalanya, suaranya dingin dan datar, tanpa emosi, seperti suara robot, "Kau tinggalkan aku. Kau janji lindungi, tapi kau pergi." Nada suaranya begitu berbeda dari Livia yang Teddy kenal dulu, begitu dingin dan tanpa perasaan. Teddy menahan napas, hatinya dipenuhi oleh rasa sakit dan penyesalan.
"Livia… aku tidak pernah meninggalkanmu. Mereka… mereka yang menjauhkanmu," bantah Teddy dengan suara yang sedikit bergetar, berusaha menjelaskan.
Pria itu menyela, mengangkat ponselnya dan mulai merekam, "Silakan. Teruskan. Kamera menyala." Ia tersenyum sinis, menikmati penderitaan Teddy.
Dari mobil yang diparkir tidak jauh dari lokasi, Monica dan Adrian memantau melalui koneksi kamera kecil yang disematkan di kancing jas Teddy. Ketegangan memenuhi udara di dalam mobil.
"Ada delay tiga detik," ujar Adrian, fokus mengawasi layar monitor kecil di tangannya. "Tapi cukup untuk lihat situasi. Kita harus siap bertindak cepat."
Monica menggigit bibirnya, matanya tak lepas dari layar monitor. "Kalau dia dalam bahaya, kita masuk. Kita nggak bisa biarkan Teddy sendirian." Kecemasannya semakin meningkat.
Adrian mengangguk, tangan kirinya terus memegang pemancar sinyal darurat, siap mengirimkan sinyal SOS kapan saja. Ia bersiap untuk intervensi jika situasi di dalam gudang memburuk.
Di dalam gudang, Livia berdiri perlahan, matanya yang kosong menatap Teddy, "Mereka bilang aku bisa bebas kalau aku bilang kebenaran. Bahwa kau yang manipulasi ingatanku." Suaranya datar, tanpa emosi, seperti sebuah robot yang diprogram untuk mengatakan sesuatu.
Teddy mendekat, berusaha menenangkan Livia, "Apa mereka kasih obat padamu? Livia, ini bukan kamu. Aku kenal kamu. Aku tahu kamu bukan seperti ini." Ia berusaha untuk menjangkau Livia, berusaha untuk membantunya.
Matanya berkaca-kaca, suara Livia yang lirih terdengar, "Aku takut, Ted…"
Dan tiba-tiba—dia menjatuhkan dirinya ke lantai, mengguncang tubuh, berpura-pura kejang. Pria di sisi ruangan segera berteriak panik, mengalihkan perhatian Teddy.
Teddy berlari menghampiri Livia, berusaha untuk membantunya. Tapi dalam detik itu, Livia berbisik di telinganya, sangat cepat, hampir tak terdengar, "Kamera di bawah meja. Simpan rekamannya. Aku ingat semua."
Teddy langsung berpaling, menyadari sesuatu yang tidak beres. Pria itu mendekat dengan pistol teracung, "Waktunya habis. Kau pikir ini permainan terapi?" Ia tertawa sinis.
Teddy tidak menjawab. Tangannya bergerak cepat ke bawah meja—dan menarik sebuah hard disk kecil berperekat. Ia melompat ke belakang kursi, menjatuhkan lampu gantung hingga ruangan gelap seketika, memanfaatkan kegelapan untuk menyelamatkan diri.
Monica melihat layar menjadi hitam. "Masuk sekarang!" teriaknya.
Adrian menendang pintu mobil terbuka. Mereka berlari menuju gudang, diikuti dua orang bayaran yang tiba lebih dulu, tapi kebingungan oleh suara tembakan dan kegelapan di dalam gudang.
Saat Monica masuk ke gudang, Teddy muncul dari balik tumpukan barang, menariknya mundur. "Aku dapat rekaman. Livia pura-pura. Dia bantu kita." Ia menunjukkan hard disk kecil yang berhasil ia amankan.
Adrian memukul salah satu pria penjaga, sementara Monica menarik Teddy ke mobil. Mereka berhasil melarikan diri.
Beberapa jam kemudian, di tempat aman, mereka memutar ulang rekaman dari kamera bawah meja. Terlihat jelas: suara pria yang memaksa Livia mengaku bohong. Terlihat pula rekaman saat Livia disuntik sesuatu sebelum ‘wawancara’ direkam.
Monica menatap layar, matanya membara, "Ini… bisa menjatuhkan Raline. Ini bukti yang kita butuhkan."
Teddy menggenggam tangannya, "Dan menyelamatkan Livia." Ia tersenyum lega, meskipun ketegangan masih terasa. Perjuangan mereka masih jauh dari selesai, namun mereka telah berhasil melewati satu rintangan besar.