Setelah ibundanya meninggal, sang ayah pulang membawa istri baru dan tiga orang anak.
Fania yang dulunya putri tunggal kesayangan, kini harus mengalami cobaan hidup yang pahit. Ibu dan kakak tiri yang selalu menyiksanya, membuat sang gadis kecil ketakutan.
Kabur dan bersembunyi di sebuah desa kecil bersama simbok tercinta, dan dukungan orang-orang yang menyayanginya, Fania kecil berusaha tumbuh melawan trauma dan rasa takutnya.
Kecurigaan orang-orang terhadap kematian Ibundanya, menyingkap kebenaran atas kematian Ibundanya.
Terus berguru dengan orang-orang hebat. Fania tumbuh menjadi gadis yang kuat dan berani. Ia bertekad untuk membalaskan kematian Ibundanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CloverMint, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PART 24
Sore hari di rumah megah di kawasan elite Jakarta,terlihat Rina, Rangga, Resi, dan Laura sedang berkumpul di ruang keluarga sambil nonton TV.
"Ma, malam ini kita makan apa?" tanya Resi manyun.
"Jangan nasi goreng lagi ya, Ma." ucap Rangga yang bosan karena hampir tiap malam mereka makan nasi goreng yang dimasak Laura dengan bumbu instan.
"Jangan cerewet, makan yang ada saja!" jawab Laura.
"Emang Mbok Nah nggak kembali ke rumah ini, Ma?" tanya Rangga.
"Nggak tau, entah dimana mereka. Mama sama papa sudah mencari cari tapi belum ketemu juga." ucap Laura jengkel.
"Sudah biarin aja Ma, jangan dicari anak babu itu!" ucap Resi.
"Kamu diam ya Resi, Nia harus kembali ke rumah ini kalau kalian mau tetap hidup enak." ucap Laura kesal.
"Ih. Apa hubungannya anak babu dengan hidup kita, mah! Udah biarin saja mereka minggat, ma! Kan kita bisa cari pembantu lain."
"Sudahlah, kalian diam saja. Bukannya bantu mama, malah buat mama tambah pusing!" ucap Laura.
"Ma, tambahan uang jajan untuk besok mana?" tanya Resi manja.
"Nggak ada. Sudah cukup segitu saja uang jajan kalian. Kalau sampai minggu depan Nia nggak juga kembali ke rumah ini, uang jajan juga kalian berkurang!" ucap Laura.
"Kok gitu sih ma?" tanya Rangga tidak terima.
"Sudah, sudah. Kepala mama pusing." ucap Laura berlalu masuk ke dalam kamarnya.
"Rangga, memang kamu nggak tahu kemana perginya Nia?" tanya Rina kepada Rangga.
"Mana aku tahu Kak, aku saja nggak tahu siapa teman Nia" jawab Rangga termenung.
'Kemana Nia, apa dia bisa makan diluar sana.' batin Rangga.
"Aduhh.. Ngapain sih kalian ngomingin anak babu itu! Biarin aja dia pergi dan nggak usah kembali lagi kesini, kan bagus!" ucap Resi sambil memutarkan bola matanya.
Rina menatap Resi dengan raut yang tidak bisa dijelaskan, antara kasian dan marah. Rina yang sudah berusia 14 tahun sedikit banyak mengerti keadaan di rumah ini, karena sering mendengar percakapan orang tuanya. Rina tahu, Resi berbuat seperti itu karena masih kecil dan belum tahu apa-apa. Resi memerlakukan Nia seperti babu, karena mencontoh perbuatan mamanya.
"Kak, Nia diluar sana baik-baik saja nggak, ya?" gumam Rangga.
Rangga memang tidak pernah ikut menyiksa Nia, malah kadang Rangga suka sembunyi-sembunyi membawakan Roti ke kamar Nia. Tetapi saat Nia disiksa, Rangga pun tidak berani menolong atau membantah mamanya. Dia hanya bisa diam dan menonton saat Nia diperlakukan tidak adil.
"Entahlah, aku juga nggak begitu dekat dengan Nia,semoga saja dia hidup lebih baik sekarang." ucap Rina.
Rina sendiri memang tidak menyukai mamanya, Laura. Sebelum tinggal di rumah ini dan bertemu Nia, Rina-lah yang berada di posisi Nia. Saat itu Laura memerlakukan Rina sama seperti saat dia memerlakukan Nia sekarang. Jika Rina berbuat sesuatu yang tidak disukai Laura, rotan atau makian lah yang akan dia terima. Untungnya, sikap mamanya ini mulai membaik ketika mengandung Rangga, anak Wahyu.
Rina pun tidak pernah ikutan mengusik Nia, dia tidak terlalu peduli dengan Nia. Daripada dia yang terkena amukan mamanya, dia lebih memilih untuk menutup mata.
Rina bangun dari duduknya dan naik ke lantai atas menuju kamarnya. Wahyu yangbbaru pulang kerja, masuk ke ruang keluarga dan melihat Rangga dan Resi sedang asyik menonton TV.
"Rangga, mamamu dimana?"tanya Wahyu.
"Dikamar, Pa" jawab Rangga.
"Pa, Papa bawa makanan nggak? Resi lapar belum makan malam." rengek Resi.
"Loh, mama kalian nggak masak lagi?" tanya Wahyu.
Rangga dan Resi cuma menggelengkan kepalanya.
Wahyu langsung naik ke kamarnya di lantai dua, dan mendapati sang istri malah sedang bermalas-malasan.
###
"Ma, kamu gimana sih, kok nggak menyiapkan makan malam untuk papa dan anak-anak!" bentak Wahyu.
"Apaan sih pa, pulang-pulang main bentak orang aja!" saut Laura tak kalah keras.
"Hei, kamu ini punya tiga orang anak yang harus kamu urus dan kasih makan. Kalau kamu nggak masak terus itu anak-anak itu mau makan apa? Makan batu?!" bentak Wahyu semakin marah.
Wahyu yang selalu ditekan oleh Ismail dam Indra di kantornya, selalu menanyakan keberadaan Nia, melampiaskan amarahnya terhadap istrinya.
"Sudah nggak usah ribut, tinggal pesan antar saja atau beli nasi goreng di depan kompleks saja kan bisa!" ucap Laura ketus.
"Kamu!" tuding Wahyu emosi.
"Apa tunjuk-tunjuk! Kamu pikir aku pembantu yang harus masak, mencuci, menyetrika dan melakukan pekerjaan yang bisa bikin kulit indahku ini rusak?? Sorry, bukan levelku!" Jawab Laura pong gah.
"Aku sudah bilang dari sebelum kita menikah kalau aku nggak mau mengerjakan semua pekerjaan rumah, dan kamu setuju itu!" ungkit Laura.
"Dan sekarang kamu minta aku bekerja, enak saja kamu!" maki Laura.
Wahyu menatap Laura, menyesali dirinya yang bodoh karena pernah terpikat dengan wanita ini.
"Mulai awal bulan depan, uang bulanan dari Indra sudah dihentikan. Jadi sekarang kita hidup mengandalkan gaji bulananku." ucap Wahyu sambil menatap tajam mata Laura.
"What, nggak bisa gitu dong! Gaji kamu sebulan cuma dua belas juta, buat bayar uang sekolah tiga anak saja sudah hampir lima juta! Belum lagi uang jajan dan uang makan mereka! Nggak bisa, aku nggak terima!" ucap Laura emosi.
"Terserah kamu mau bilang apa. Mulai sekarang, aku yang akan atur keuangan keluarga kita." ucap Wahyu dingin.
"Nggak bisa, pokoknya nggak bisa! Kamu harus cari akal, Wahyu! Aku nggak mau hidup susah! Kamu dulu janji kepadaku kalau kamu akan membalas semua bantuanku dan akan menyenangkan hidupku." rayu Laura.
"Aku sudah membayar bantuanmu lebih dari yang kamu berikan. Semua salahmu. Semua ini akibat perbuatanmu!" ucap Wahyu.
"Aku akui aku salah, tapi apa kamu tega liat anak kita Rangga dan Resi hidup dalam penderitaan?" tanya Laura sambil memasang wajah sedih.
"Aku nggak tahu harus bagaimana lagi.. Aku sudah keluar lima juta buat sewa orang untuk cari Nia. aku sudah nggak punya uang simpanan lagi." jawab Wahyu.
"Masih bisa. Masih ada perhiasan-perhiasan Fira, bisa kita jual setiap bulannya utk mencukupi kehidupan kita." kata Laura cepat.
"Nggak bisa. Kalau sampai Pak Ismail tahu, bisa mati aku." ucap Wahyu .
"Mereka mana tahu seberapa banyak perhiasan Fira. Kita bisa jual sedikit sedikit, pasti nggak ketahuan." rayu Laura.
"Ayolah, Pa.. Papa sayangkan sama mama dan anak-anak?" Laura mendekati Wahyu dan merebahkan kepalanya di dada Wahyu.
"Sudahlah, aku akan ambilkan satu perhiasan Fira, besok kamu jual." ucap Wahyu mengalah.
"Kenapa sih aku nggak boleh liat isi brankas Fira?" tanya Laura. Memang selama ini Wahyu tidak mengijinkan Laura melihat isi brankas milik Fira.
Wahyu tidak menjawab. Dia melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan badan dan pikirannya di sana.
###
Sehabis maghrib, Anton, Ibunda Hani, Mbok Nah, dan Nia, berencana untuk makan malam di salah satu restoran terkenal di kota. Nia juga mengajak Bu Asih dan Pak Rojak ikut makan malam dengan mereka.
Nia yang baru pertama kali makan bersama-sama di luar, merasa sangat senang. Senyum bahagia selalu menghiasi wajahnya. Nia juga mencoba semua menu yang dipesan Anton.
yang di padepokan juga namanya Abah Jauhari